Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Karena Hidup adalah Menghampiri Cakrawala "La'allakum..."

27 April 2020   02:59 Diperbarui: 29 April 2020   04:05 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pedagang yang menunggu pembeli| Foto: Kompas.id/P Raditya Mahendra Yasa

Kadang kita perlu bersikap jujur. Kita merindukan Ramadan tidak terutama karena selama satu bulan penuh Tuhan membuka pintu ampunan, melainkan karena suasana romantisme budaya yang tidak kita jumpai di luar bulan puasa.

Jujur, aslinya tidak ada manusia yang tidak suka makan dan minum. Tidak diwajibkan pun makan dan minum selalu mengisi aktivitas kita selama 24 jam. Bahkan, teknologi dan budaya kuliner menjelang dan selama bulan puasa menawarkan selera yang bikin ngiler.

Kreativitas manusia mengolah bahan pangan berkembang pesat seiring perkembangan teknologi dan informasi. Mulai dari aneka jenis minuman sirup hingga suplemen dan multivitamin menjadi menu yang wajib dikonsumsi selama menjalankan ibadah puasa.

Tidak aneh, selama bulan Ramadan budget pengeluaran membengkak justru untuk belanja makanan dan minuman. Belum lagi pengeluaran membeli baju baru, handphone baru, motor baru, mobil baru. Ramadan menjadi bulan yang konsumtif di antara sebelas bulan yang lain.

Sementara di sisi fakta yang lain, kita begitu semangat menyambut bulan Ramadan. Ucapan dan spanduk, "Marhaban ya Ramadan", "Selamat Datang Bulan Penuh Ampunan", "Ramadan, Bulan Sedekah", memenuhi halaman media sosial dan sudut-sudut jalan perkotaan.

Ucapan memohon maaf menjelang bulan puasa pun bertebaran di grup-grup Whatsapp. Ada ucapan maaf yang copy paste. Ada yang mengulang "logika" komunikasi tahun sebelumnya. Ada pula yang ingin menunjukkan kreativitas ucapan maaf namun rasanya "garing".

Mengenang Sastra Surau

Terlepas dari inkonsistensi antara ucapan dan perilaku, kita masih menemukan tradisi yang turun-temurun menjelang bulan puasa. Sebut saja megengan, weweh, ater-ater, kenduren. Tradisi ini dijalani warga masyarakat, terutama di pedesaan dengan guyub dan rukun.

Malam pertama mengerjakan shalat tarawih disambut penuh suka cita. Ketika bedug maghrib terdengar anak-anak berlari ke mushola. Sarung dililitkan di leher. Berebut ambil air wudu. Di teras mushola berjejer jajanan ampem, tumpeng, setandan pisang, minuman teh dan kopi. 

Saat itu, ada getar bahagia menyelusup: besok kita berpuasa.

Saya sering merindukan suasana ketika bulan Ramadan disambut penuh suka cita. Suasana magis dan khusyuk itu tidak mudah diungkapkan.

Zaman dahulu, langgar, surau, mushola atau masjid menjadi salah satu pusat pendidikan. Anak-anak belajar mengaji, cara wudu dan shalat, serta perilaku andhap asor ya dari pendidikan di surau.

Apalagi pada malam hari selama bulan Ramadan anak-anak tidur di mushola atau surau. Belum ada Pesantren Kilat yang diselenggarakan sekolah. Di surau anak-anak belajar tentang bekal hidup: ilmu dan perilaku menjadi manusia.

Jam sepuluh malam. Lampu mushola dipadamkan. Gelap gulita. Hanya suara jangkrik yang terdengar. Sepi dan syahdu. Seorang anak yang sudah senior mulai mendongeng. Tidak ada yang berkomentar atau clometan.

Dongeng Kasan Kusen, Tongkat Nabi Musa, Perahu Nabi Nuh, Dramatisasi Munculnya Dajjal, atau kisah misteri dan horor, seperti Kuntilanak, Ndas Glundhung, Sundel Bolong, Jari Jempolan dan Pocong mengisi malam-malam menjelang tidur di mushola.

Imajinasi terasah. Kepekaan bahasa terbentuk. Empati terhadap tokoh cerita meresap dalam batin. Bangunan moral terbangun. Dan kelak, semua software kesadaran itu masih cukup aktual sebagai pemandu nilai di zaman yang katanya serba digital ini.

Kini, sastra surau diambil alih oleh televisi dan media sosial. Di waktu prime time anak-anak tidak lagi berkumpul di surau, melainkan duduk manis di depan televisi. Sebagian yang lain "khusyuk" menatap layar HP.

Selalu Ada Harapan, La'allakum...

Zaman sudah berubah. Namun, kerinduan terhadap suasana bulan Ramadan yang polos, magis dan syahdu masih saja menusuk-nusuk dinding kenangan.

Apa boleh buat. Memutar mundur jarum jam menuju dua puluh tahun silam juga tidak mungkin. Yang bisa kita kerjakan saat ini adalah mengendapkan setiap pengalaman agar tersaring nilai-nilai kebijaksanaan. Apa itu?

Tidak ada yang pasti dalam hidup ini kecuali kematian. Apalagi di tengah wabah Covid-19 kematian hadir begitu dekat. Padahal, ada wabah atau tidak, sakit atau sehat, kaya atau miskin, kematian tidak memandang bulu dan tidak memilih orang.

Namun putus asa juga bukan sikap yang tepat. Selalu ada harapan, doa, cita-cita. Kepada orang yang berpuasa Tuhan membentangkan harapan: la'allakum tattaquun. Semoga kamu menjadi orang yang bertakwa. Ya, semoga, atau bahasa Arabnya la'alla.

Selain kematian sebagai keniscayaan, kita dibekali harapan. Seorang penjual bakso bersama gerobaknya menyusuri jalanan karena didorong oleh harapan dan keyakinan bakal bertemu pembeli. Tukang tambal ban di tepi jalan punya harapan ada orang datang bersama ban sepeda motornya yang bocor.

Pagi hari seekor burung pun terbang meninggalkan sarang lalu kembali ke sarangnya sore hari karena ada "harapan" akan mendapat makanan.

Hidup bergerak dan siklus kehidupan berjalan karena ada harapan, semoga, cita-cita, asa, atau la'aallakum.

Demikian juga penghambaan kita kepada-Nya tidak mengenal garis finis. Kita berada pada posisi la'alla atau semoga. Kualitas muslim yang dimiliki seseorang pada dasarnya berposisi "semoga". Muslim, mukmin, orang bertakwa bukan pencapaian final. Ia bersifat dinamis.

"Semoga kita menjadi seorang muslim dan mukmin," demikian ungkapan verbalnya. Pada kata "semoga" terkandung dinamika perjuangan sekaligus aktualisasi yang dikerjakan secara terus menerus untuk tiba di cakrawala kualitas muslim dan mukmin.

Kata "semoga" juga merupakan sikap rendah hati bahwa kita belum seratus persen baik dan sempurna di mata Tuhan.

Memang Enak Tidak Puasa, Tapi...

Itulah sebabnya di awal tulisan ini saya berusaha jujur dan terbuka bahwa romantisme budaya selama bulan Ramadan lebih kuat mengisi kenangan saya. Bahkan kalau disuruh memilih enak mana puasa dan tidak puasa, pilihan saya jatuh pada enak tidak puasa.

Namun, hidup tidak hanya berurusan dengan enak dan tidak enak atau suka dan tidak suka. Terdapat dimensi kesadaran kualitatif selain enak dan tidak enak, yakni baik dan tidak baik, benar dan tidak benar, indah dan tidak indah.

Kalau berhenti pada enak dan tidak enak, kita akan terkurung pada kedewasaan yang semu, karena anak kecil pun memiliki pertimbangan itu. Kedewasaan dan kebijaksanaan seseorang ditentukan oleh kesungguhannya menjalani laku yang tidak disukainya hingga tiba di batas kesadaran apa yang tidak disukainya ternyata memberinya manfaat.

Jangan-jangan apa yang engkau senangi itu sesuatu yang buruk bagimu. Sebaliknya, apa yang engkau benci, justru itu baik bagimu.

Semoga puasa di bulan Ramadan menjadikan kita lebih dewasa, lebih arif, lebih bijaksana.[]

Jagalan 270420

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun