Online Shaming dan “Sakit Jiwa” Pro-Kontra
Fenomena online shaming pasti tidak hanya terkait dengan kelakuan mengolok-olok orang lain. Ia adalah penampakan paling kasat mata ketika kebebasan diraih dengan cara menjebol tembok keterbatasan. Rasa bebas itu pada dasarnya adalah ilusi sehingga seseorang yang bebas mengolok orang lain akan melahirkan situasi destruktif—tembok keterbatasan baru yang muncul akibat asumsi kebebasan yang ilutif itu.
Akan menjadi lebih runyam ketika frame berpikir pro dan kontra menguasai kesadaran berpikir. Para anonim akan menjadi penguni alam “pro”, menyerang dan menghabisi penghuni alam “kontra”. Demikian pula pihak yang di-kontra-kan akan bergerombol di alam “pro”, menyerang dan menghabisi penghuni alam “kontra”. Jamaah “pro” melawan jamaah “kontra”—yang secara internal berpandangan mereka adalah pihak “pro” yang pasti berlawanan dengan pihak “kontra”.
Di tengah pencapaian peradaban yang diklaim paling moncer dan akan bertambah moncer lagi, alangkah sempit dan dangkal perilaku manusia.
Ilusi kebebasan, online shaming dan sakit jiwa pro-kontra itu menyeret korban. Child soldier—serdadu anak adalah korban dari sikap berpikir orang dewasa yang sempit dan dangkal. "Ketika anak diajarkan untuk membenci orang lain, memusuhi orang lain, melukai orang lain, ini disebut kekejaman karena Anda melakukan sesuatu yang bukan secara natural kaidah anak. Siapapun yang melakukan itu adalah pelaku kekejian paling luar biasa," kata Profesor Irwanto, peneliti dari Pusat Kajian Perlindungan Anak (Puskapa) Universitas Indonesia.
Tentang radikalisme dan terorisme, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat peningkatan 42% kasus anak yang terpapar terorisme dari 2015 ke 2016. Jumlahnya mencapai 180 kasus pada 2015 dan meningkat menjadi 256 kasus pada 2016.
Tidak terbayangkan, ladang jiwa anak-anak yang masih bersih dan murni itu tertanam benih-benih ujaran kebencian akibat perilaku egosentrisme orang dewasa. Bahkan ujuran kebencian itu ditularkan oleh guru di sekolah. Yang kita sedihkan bukan terutama perilakunya, tetapi harkat kemanusiaan yang digerus oleh kepicikan.[]
jagalan 29.03.17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H