Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ilusi Kebebasan, "Online Shaming" dan Sakit Jiwa Pro-Kontra

29 Maret 2017   23:44 Diperbarui: 1 April 2017   06:29 844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mau bebas dari segala / Merdeka / Juga dari Ida / Pernah / Aku percaya pada sumpah dan cinta / menjadi sumsum dan darah / seharian kukunyah-kumamah. Penggalan puisi “Merdeka” karya Chairil Anwar ini benar-benar telanjang menghadirkan keinginan untuk merdeka, bebas dari segala.  Laku hidup Chairil sendiri menunjukkan bahwa dirinya memang sosok anti aturan—Chairil bebas mencipta, bebas menerjang aturan-aturan.

Namun, sebebas-bebasnya manusia akan “terhambat” oleh ketidakbebasan. Kebebasan itu menemukan bentuk aktualisasinya dalam kurungan ketidakbebasan. Sedangkan batasan-batasan ketidakbebasan menerbangkan manusia ke langit luas kebebasan. Bebas dalam keterbatasan, terbatas dalam kebebasan.

Ilusi Kebebasan Merdeka dari Segala

Kebebasan dan keterbatasan adalah ilusi dalam kenyataan, sekaligus kenyataan dalam ilusi. Manusia memang diciptakan untuk merangkum dan mengalami dua kenyataan yang saling berpasangan—siang dan malam, hitam dan putih, tinggi dan rendah, panas dan dingin, dan seterusnya.

Yang patut dicermati adalah jebakan cara berpikir dan sikap berpikir yang dipanglimai oleh pro dan kontra, saling menjadikan lawan, sehingga siang adalah lawan malam, hitam lawan putih, tinggi lawan rendah, dan sebaliknya.

Kenyataan yang saling berlawanan itu pasti dibenarkan oleh sains—namun perlu juga diingat, malam disebut malam dan ia menjadi malam karena ada siang. Kita menyebut “pendek” karena memiliki perbandingan terhadap “tinggi”. Pasangan yang “bertentangan” itu sejatinya saling melengkapi, saling mendukung eksitensi masing-masing, bahkan saling bersahabat dalam satuan ruang dan waktu—bukan saling menegasikan atau membunuh satu sama lain.

Barangkali kesadaran itu belum dimiliki atau mungkin juga sedang lalai sehingga tidak sedikit pengguna media sosial menyembunyikan identitas diri mereka di balik topeng Sang Anonim. Tujuan memakai topeng anonim itu pun cukup pragmatis: bebas melakukan apa saja di jagad maya media sosial.

Bisa jadi para anonim itu adalah pengamal sejati puisi “Merdeka” Chairil Anwar: Aku mau bebas dari segala. Merdeka. Polarisasi cara berpikir tak terhindarkan lagi. Kebebasan adalah lawan keterbatasan. Asumsi yang dibangun selanjutnya adalah dunia maya menawarkan kebebasan yang bebas sebebas-bebasnya—situasi yang tidak dijumpai di dunia nyata.

Kata “ dunia maya” dan “dunia nyata” sebenarnya agak mengganjal hati saya. Pada kadar, ruang lingkup dan muatan kesadaran tertentu “dunia nyata” adalah “dunia maya”—dunia yang sama-sama tidak bisa menghindar dari skala relativitas dan kenisbian.

Bebas dalam keterbatasan atau terbatas dalam kebebasan itu pada akhirnya selalu nisbi—dan berakhir di dalam kurungan skala relativitas. Pemakai anonim di media sosial akan menjumpai “nasib” yang sama. Mereka dihadang oleh ketidakbebasan—semakin diberontak dan dijebol dindingnya, beton-beton ketidakbebasan itu akan semakin berdiri kokoh.

Maka, langkah paling gampang meraih kebebasan adalah menyadari keterbatasan, sebab di dalam kebebasan terkadung keterbatasan dan sebaliknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun