Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ilusi Kebebasan, "Online Shaming" dan Sakit Jiwa Pro-Kontra

29 Maret 2017   23:44 Diperbarui: 1 April 2017   06:29 844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://www.picador.com

Online Shaming dan “Sakit Jiwa” Pro-Kontra

Fenomena online shaming pasti tidak hanya terkait dengan kelakuan mengolok-olok orang lain. Ia adalah penampakan paling kasat mata ketika kebebasan diraih dengan cara menjebol tembok keterbatasan. Rasa bebas itu pada dasarnya adalah ilusi sehingga seseorang yang bebas mengolok orang lain akan melahirkan situasi destruktif—tembok keterbatasan baru yang muncul akibat asumsi kebebasan yang ilutif itu.

Akan menjadi lebih runyam ketika frame berpikir pro dan kontra menguasai kesadaran berpikir. Para anonim akan menjadi penguni alam “pro”, menyerang dan menghabisi penghuni alam “kontra”. Demikian pula pihak yang di-kontra-kan akan bergerombol di alam “pro”, menyerang dan menghabisi penghuni alam “kontra”. Jamaah “pro” melawan jamaah “kontra”—yang secara internal berpandangan mereka adalah pihak “pro” yang pasti berlawanan dengan pihak “kontra”.

Di tengah pencapaian peradaban yang diklaim paling moncer dan akan bertambah moncer lagi, alangkah sempit dan dangkal perilaku manusia.

Ilusi kebebasan, online shaming dan sakit jiwa pro-kontra itu menyeret korban. Child soldier—serdadu anak adalah korban dari sikap berpikir orang dewasa yang sempit dan dangkal. "Ketika anak diajarkan untuk membenci orang lain, memusuhi orang lain, melukai orang lain, ini disebut kekejaman karena Anda melakukan sesuatu yang bukan secara natural kaidah anak. Siapapun yang melakukan itu adalah pelaku kekejian paling luar biasa," kata Profesor Irwanto, peneliti dari Pusat Kajian Perlindungan Anak (Puskapa) Universitas Indonesia.

Tentang radikalisme dan terorisme, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat peningkatan 42% kasus anak yang terpapar terorisme dari 2015 ke 2016. Jumlahnya mencapai 180 kasus pada 2015 dan meningkat menjadi 256 kasus pada 2016.

Tidak terbayangkan, ladang jiwa anak-anak yang masih bersih dan murni itu tertanam benih-benih ujaran kebencian akibat perilaku egosentrisme orang dewasa. Bahkan ujuran kebencian itu ditularkan oleh guru di sekolah. Yang kita sedihkan bukan terutama perilakunya, tetapi harkat kemanusiaan yang digerus oleh kepicikan.[]

jagalan 29.03.17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun