Aku mau bebas dari segala / Merdeka / Juga dari Ida / Pernah / Aku percaya pada sumpah dan cinta / menjadi sumsum dan darah / seharian kukunyah-kumamah. Penggalan puisi “Merdeka” karya Chairil Anwar ini benar-benar telanjang menghadirkan keinginan untuk merdeka, bebas dari segala. Laku hidup Chairil sendiri menunjukkan bahwa dirinya memang sosok anti aturan—Chairil bebas mencipta, bebas menerjang aturan-aturan.
Namun, sebebas-bebasnya manusia akan “terhambat” oleh ketidakbebasan. Kebebasan itu menemukan bentuk aktualisasinya dalam kurungan ketidakbebasan. Sedangkan batasan-batasan ketidakbebasan menerbangkan manusia ke langit luas kebebasan. Bebas dalam keterbatasan, terbatas dalam kebebasan.
Ilusi Kebebasan Merdeka dari Segala
Kebebasan dan keterbatasan adalah ilusi dalam kenyataan, sekaligus kenyataan dalam ilusi. Manusia memang diciptakan untuk merangkum dan mengalami dua kenyataan yang saling berpasangan—siang dan malam, hitam dan putih, tinggi dan rendah, panas dan dingin, dan seterusnya.
Yang patut dicermati adalah jebakan cara berpikir dan sikap berpikir yang dipanglimai oleh pro dan kontra, saling menjadikan lawan, sehingga siang adalah lawan malam, hitam lawan putih, tinggi lawan rendah, dan sebaliknya.
Kenyataan yang saling berlawanan itu pasti dibenarkan oleh sains—namun perlu juga diingat, malam disebut malam dan ia menjadi malam karena ada siang. Kita menyebut “pendek” karena memiliki perbandingan terhadap “tinggi”. Pasangan yang “bertentangan” itu sejatinya saling melengkapi, saling mendukung eksitensi masing-masing, bahkan saling bersahabat dalam satuan ruang dan waktu—bukan saling menegasikan atau membunuh satu sama lain.
Barangkali kesadaran itu belum dimiliki atau mungkin juga sedang lalai sehingga tidak sedikit pengguna media sosial menyembunyikan identitas diri mereka di balik topeng Sang Anonim. Tujuan memakai topeng anonim itu pun cukup pragmatis: bebas melakukan apa saja di jagad maya media sosial.
Bisa jadi para anonim itu adalah pengamal sejati puisi “Merdeka” Chairil Anwar: Aku mau bebas dari segala. Merdeka. Polarisasi cara berpikir tak terhindarkan lagi. Kebebasan adalah lawan keterbatasan. Asumsi yang dibangun selanjutnya adalah dunia maya menawarkan kebebasan yang bebas sebebas-bebasnya—situasi yang tidak dijumpai di dunia nyata.
Kata “ dunia maya” dan “dunia nyata” sebenarnya agak mengganjal hati saya. Pada kadar, ruang lingkup dan muatan kesadaran tertentu “dunia nyata” adalah “dunia maya”—dunia yang sama-sama tidak bisa menghindar dari skala relativitas dan kenisbian.
Bebas dalam keterbatasan atau terbatas dalam kebebasan itu pada akhirnya selalu nisbi—dan berakhir di dalam kurungan skala relativitas. Pemakai anonim di media sosial akan menjumpai “nasib” yang sama. Mereka dihadang oleh ketidakbebasan—semakin diberontak dan dijebol dindingnya, beton-beton ketidakbebasan itu akan semakin berdiri kokoh.
Maka, langkah paling gampang meraih kebebasan adalah menyadari keterbatasan, sebab di dalam kebebasan terkadung keterbatasan dan sebaliknya.
Online Shaming dan “Sakit Jiwa” Pro-Kontra
Fenomena online shaming pasti tidak hanya terkait dengan kelakuan mengolok-olok orang lain. Ia adalah penampakan paling kasat mata ketika kebebasan diraih dengan cara menjebol tembok keterbatasan. Rasa bebas itu pada dasarnya adalah ilusi sehingga seseorang yang bebas mengolok orang lain akan melahirkan situasi destruktif—tembok keterbatasan baru yang muncul akibat asumsi kebebasan yang ilutif itu.
Akan menjadi lebih runyam ketika frame berpikir pro dan kontra menguasai kesadaran berpikir. Para anonim akan menjadi penguni alam “pro”, menyerang dan menghabisi penghuni alam “kontra”. Demikian pula pihak yang di-kontra-kan akan bergerombol di alam “pro”, menyerang dan menghabisi penghuni alam “kontra”. Jamaah “pro” melawan jamaah “kontra”—yang secara internal berpandangan mereka adalah pihak “pro” yang pasti berlawanan dengan pihak “kontra”.
Di tengah pencapaian peradaban yang diklaim paling moncer dan akan bertambah moncer lagi, alangkah sempit dan dangkal perilaku manusia.
Ilusi kebebasan, online shaming dan sakit jiwa pro-kontra itu menyeret korban. Child soldier—serdadu anak adalah korban dari sikap berpikir orang dewasa yang sempit dan dangkal. "Ketika anak diajarkan untuk membenci orang lain, memusuhi orang lain, melukai orang lain, ini disebut kekejaman karena Anda melakukan sesuatu yang bukan secara natural kaidah anak. Siapapun yang melakukan itu adalah pelaku kekejian paling luar biasa," kata Profesor Irwanto, peneliti dari Pusat Kajian Perlindungan Anak (Puskapa) Universitas Indonesia.
Tentang radikalisme dan terorisme, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat peningkatan 42% kasus anak yang terpapar terorisme dari 2015 ke 2016. Jumlahnya mencapai 180 kasus pada 2015 dan meningkat menjadi 256 kasus pada 2016.
Tidak terbayangkan, ladang jiwa anak-anak yang masih bersih dan murni itu tertanam benih-benih ujaran kebencian akibat perilaku egosentrisme orang dewasa. Bahkan ujuran kebencian itu ditularkan oleh guru di sekolah. Yang kita sedihkan bukan terutama perilakunya, tetapi harkat kemanusiaan yang digerus oleh kepicikan.[]
jagalan 29.03.17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H