Bung Karno pernah berkata "untuk mengubah suatu bangsa, maka ubahlah sistem pendidikannya karena pendidikan adalah tiang untuk kekokohan suatu bangsa."
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam mewujudkan peningkatan kualitas di sektor pendidikan ditempuh melalui penerapan kebijakan zonasi untuk pemerataan agar semua bisa sekolah. Kebijakan zonasi disesuaikan dengan nawa cita Presiden, Joko Widodo dan Wakil Presiden, H. M. Jusuf Kalla sebagai kebijakan yang utuh dan terintegrasi. Zonasi dalam nawa cita ini bertujuan:
 1. membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
2. meningkatkan kualitas hidup manusia.
3. melakukan revolusi karakter bangsa.
4. meningkatkan produktivitas dan daya saing di pasar internasional.
Seharusnya Kompasianer yang hadir bisa ngobrol langsung dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy. Namun, beliau berhalangan hadir karena harus menghadap Presiden sehingga pembicara talkshow malam itu diwakili oleh Kepala Biro Hubungan Masyarakat (HuMas) KemDikBud RI, Dr. Ir. Ari Santoso.
Dalam pemaparannya, kebijakan zonasi dijalankan karena telah melalui kajian dan rekomendasi dari berbagai lembaga kredibel yang mendorong restorasi sekolah untuk pemerataan akses pada layanan dan kualitas pendidikan nasional. Jika kita lihat pada kenyataan, proses pendidikan yang ada telah diperuntukkan bagi siapa saja, tanpa mengenal diskriminasi terhadap SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Kebijakan zonasi hadir sejalan dengan sistem penyaluran pemberian subsidi melalui Program Indonesia Pintar dan Bantuan Operasional Sekolah. Jadi, sudah tak ada lagi alasan yang dapat dikemukakan orangtua untuk mengabaikan dunia pendidikan bagi generasi penerusnya karena semua bisa sekolah.
Besar tak selalu benar, yang kecil belum pasti salah. Kuantitas tak selalu pararel dengan kualitas. Gagasan alternatif tak jarang justru datang dari suara yang nyaris tak terdengar. Pemerintah menerapkan kebijakan zonasi juga disinyalir untuk menurunkan angka putus sekolah dan angka anak di luar sekolah.
Seiring dengan pemenuhan anggaran pendidikan, Indeks Pembangunan Manusia terus meningkat. Dalam jangka panjang, ekosistem pendidikan yang baik menjadi target utama penerapan kebijakan zonasi. Diperlukan kerja bersama semua pihak untuk optimalisasi dunia pendidikan  dan memajukan kebudayaan Indonesia yang sesuai dengan ajaran bapak pendidikan, Ki Hajar Dewantara.
Beliau pernah mengatakan bahwa dalam pendidikan akan terjadi proses humanisasi, pembukaan wawasan, dan cakrawala sehingga hasilnya tidak picik dan kerdil. Pendidikan akan membawa manusia keluar dari kebodohan dengan membuka tabir sifat alami kemanusiaan.
Dari pernyataan itu, kita bisa melihat bahwa kualitas pendidikan mempunyai makna sebagai suatu proses dan hasil pendidikan secara keseluruhan. Kualitas pendidikan yang menyangkut proses dan atau hasil ditetapkan sesuai dengan pendekatan serta kriteria tertentu.
Proses pendidikan merupakan suatu keseluruhan aktivitas pelaksanaan pendidikan dalam berbagai dimensi, baik internal maupun eksternal, baik kebijakan maupun operasional, baik edukatif maupun manajerial, baik pada tingkatan nasional, regional, institusional, maupun instruksional dan individual, baik pendidikan dalam jalur sekolah maupun luar sekolah. Dalam bahasan ini, proses pendidikan yang dimaksud adalah proses pendidikan berkualitas yang ditentukan oleh berbagai faktor yang saling terkait. Faktor-faktor yang menentukan kualitas proses pendidikan suatu sekolah terletak pada unsur-unsur dinamis yang ada dalam sekolah tersebut dan lingkungan sebagai suatu kesatuan sistem.
Episode panjang polemik pendidikan tak hanya berhenti dari sekedar kata 'lulus'. Potret realitas masa kini harus mempersiapkan peserta didik untuk melakukan long life education (pendidikan seumur hidup). Ketika tantangan untuk lulus telah dicapai, mereka dihadapkan dalam proses memilih sekolah lanjutan yang penuh dilema. Untuk itu, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) jalur zonasi hadir sebagai upaya pemerataan akses pada layanan dan kualitas pendidikan hingga ke daerah-daerah, serta melayani kelompok yang rentan dan terpinggirkan.
Kebijakan zonasi hadir saat penerbitan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) baru yaitu No. 14 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang menggantikan peraturan sebelumnya. Adapun yang dimaksud dengan peraturan zonasi yang tertera pada pasal 16 Permendikbud tersebut yaitu sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah paling sedikit sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima. Kemudian peraturan zonasi ini ditetapkan untuk sekolah jenjang SD, SMP dan SMA, tapi untuk SMK dibebaskan dari kebijakan ini.
PPDB 2018 memang memicu hal baru yang masih tabu. Penetapan radius zona tersebut masih diklasifikasikan sesuai dengan kondisi di daerah tersebut berdasar ketersediaan anak usia sekolah dan jumlah ketersediaan daya tampung dalam rombongan belajar pada masing-masing sekolah. Publik pun beradaptasi menjalani sistem yang konon terasa lebih objektif ini.
Beberapa orangtua masih menginginkan anaknya masuk ke sekolah unggulan melalui jalur prestasi hingga mendapat kelas akselerasi. Namun, ada pembatasan kuota pada sekolah tersebut sehingga peserta didik hanya bisa mendaftar ke sekolah yang sesuai dengan domisili pada Kartu Keluarga (KK) yang diterbitkan paling lambat 6 bulan sebelum masa PPDB.
Ada juga orangtua yang mendaftarkan anaknya melalui jalur NHUN (Nilai Hasil Ujian Nasional). Namun, standar di sekolah terdekat justru tak bisa memenuhi kualifikasi nilai dari anak yang ingin mendaftar ke sekolah itu. Polemik mencuat hingga beberapa peserta didik justru memilih pendidikan alternatif seperti home schooling sebagai kesempatan mereka untuk belajar. Semua terasa sah saja karena kebijakan baru pasti akan menimbulkan persepsi baru.
Semua keragaman dalam pendidikan akan disatukan melalui kebijakan zonasi. Bagai suatu sistem yang terus dipantau karena rekonstruksi pendidikan nasional yang berlangsung saat ini dipergunakan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada demi membangun sistem pendidikan yang kuat dan berkeadilan. Apapun nanti yang terjadi ke depan, semua harus dihadapi dengan unsur kejujuran.
"Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat". Petuah bijak ini hanya salah satu dari sekian banyak petuah yang seringkali diungkapkan oleh para orang tua kita dahulu. Kesadaran mereka akan penting nilai pendidikan dibanding dengan hal-hal lain sepatutnya kita junjung tinggi. Hal ini membutuhkan suatu proses yang berkaitan dengan dimensi realitas dan dimensi masa (waktu).
Melalui kebijakan zonasi, kita akan merasakan nuansa yang tak biasa dari pendidikan sebelumnya. Jika dahulu kita selalu bangga belajar di sekolah unggulan atau merasa prestise menjadi pelajar sekolah favorit. Dengan sistem zonasi tak ada lagi diskriminasi yang terjadi diantara kita karena perbedaan bukanlah suatu hambatan.
Jerat komersialisasi dalam manajemen pendidikan juga bisa dihindari melalui sistem zonasi. Akibat komersialisasi itu, kesenjangan begitu nyata; yang kaya semakin pintar dan dengan kepintarannya membodohi si miskin. Sementara si miskin dan masyarakat kelas menengah ke bawah pada umumnya akan terkucilkan dengan sendirinya dari dunia pendidikan. Fenomena terdahulu yang sungguh ironis.
Apalagi kasus yang sering ditemui saat kita berada pada kehidupan nyata. Para orangtua justu berlomba membuat Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) untuk disertakan sebagai prasyarat penerimaan siswa baru. Mereka beranggapan dengan menyertakan SKTM, anaknya bisa sekolah tanpa mengeluarkan biaya karena mendapat uang pertanggungan dari Pemerintah.
Jika ditelusuri lebih lanjut, prasyarat SKTM tersebut sebenarnya hanya ditujukan bagi peserta didik yang berasal dari kalangan keluarga tidak mampu. Maka, siapapun orangtua atau oknum yang menerbitkan surat ini dan menyalahgunakan fungsi dari produk hukum tersebut bisa ditindaklanjuti saat kebijakan zonasi telah diberlakukan. Bila Kompasianer menemui hal-hal yang tidak sinkron atau terjadi bentuk penyimpangan dalam dunia pendidikan, segera saja laporkan melalui layanan informasi dan pengaduan pada http://ult.kemdikbud.go.id.
Selain itu, tindak lanjut pasca PPDB 2018 melalui sistem zonasi juga akan memberlakukan:
1. evaluasi pelaksanaan PPDB 2018.
2. mengumpulkan praktik baik pelaksanaan sistem zonasi di daerah.
3. pemetaan daya tampung (sekolah/ruang kelas) dengan jumlah populasi usia sekolah.
4. pemetaan dan perencanaan bantuan sarana dan prasarana.
5. analisis perhitungan kebutuhan, distribusi, dan peningkatan kualitas guru (perencanaan guru).
Tenaga pendidik berkualitas tidak hanya berkumpul pada satu sekolah saja. Guru akan dituntut lebih inovatif dan kreatif dalam kegiatan belajar mengajar sebagai komponen penting  penentu mutu pendidikan yang lebih humanis. Dengan begitu pemerataan kualitas pendidikan akan terus meningkat.
Beberapa guru tak lagi sekadar berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga sebagai pendidik yang berfungsi ganda dalam transfer ilmu pengetahuan dan kepribadian (transfer of personality). Lama-kelamaan ekosistem pendidikan akan tertata dan terkondisi sehingga turut menumbuhkan budaya yang memacu proses pembentukan kepribadian peserta didik. Tujuan pendidikan yang dicita-citakan antar orangtua, peserta didik, dan guru bisa saling bersinergi.
Intinya, wajah kejujuran tetap harus menjadi falsafah integral dari proses pendidikan yang tak dapat ditawar. Diharapkan kerja sama yang baik dengan orang tua dan stakeholder sekolah demi rona wajah kejujuran pelaksanaan pendidikan sebagai sebuah harga diri dari sistem zonasi itu. Hal tersebut harus diwujudkan sebagai partisipasi kolaboratif dalam ekosistem pendidikan. Dedikasi dan optimisme para pendidik terhadap kesuksesan peserta didik harus tetap tercermin dalam setiap proses belajar-mengajar. Oleh karena itu, guru di Indonesia harus mampu memberikan teladan yang baik bagi anak bangsa agar di hari depan kelak mereka dapat memimpin bangsa secara dewasa dan bertanggung jawab.
Pendidikan harus mampu menumbuhkan sikap toleransi dan kedamaian dalam alam pikiran setiap peserta didik. Caranya, pendidikan harus meluaskan cakrawala peserta didik melihat sesuatu kebenaran dari berbagai perspektif. Sebab, dalam teori keilmuan, apa yang dianggap benar hari ini, besok, atau lusa, belum tentu benar karena mungkin ada teori atau pandangan baru yang menggugurkannya. Jadi, kebenaran itu bukanlah milik seseorang atau kelompok, dan kebenaran itu tidak statis sehingga tidak ada alasan bagi seseorang menganggap bahwa dirinya yang paling benar dan orang lain atau kelompok lain salah. Untuk sampai pada pemahaman seperti itu, diperlukan ekosistem pendidikan yang berkualitas dan dapat menstimulasi alam pikiran peserta didik untuk bersikap serta berperilaku damai maupun toleran terhadap perbedaan.
Semoga kebijakan pendidikan diskriminatif di masa lampau yang telah melahirkan kesenjangan sosial, marginalisasi, dan kemiskinan sebagai pangkal gerakan fundamentalisme dan radikalisme tidak akan pernah terulang dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia di masa depan. Melalui sistem zonasi, keberlangsungan pendidikan akan lebih menunjukkan harga diri bangsa Indonesia yang unggul dan bermartabat.
Sejatinya, arah kebijakan zonasi bisa segera mewujudkan:
1. menjamin pemerataan akses pendidikan.
2. mendorong kreativitas pendidik dalam kelas heterogen.
3. mendekatkan lingkungan sekolah dengan peserta didik.
4. menghilangkan eksklusivitas dan diskriminasi di sekolah negeri.
5. membantu analisis perhitungan kebutuhan dan distribusi guru.
6. meningkatkan akses layanan pendidikan pada kelompok rentan.
7. meningkatkan keragaman peserta didik di suatu sekolah.
8. membantu Pemerintah dalam memberikan bantuan yang lebih tepat sasaran.
9. mendorong Pemda dalam pemerataan kualitas pendidikan.
10. mencegah penumpukan Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas dalam suatu wilayah.
Bangsa yang cerdas, bermartabat, berdaya saing, dan berbudi pekerti luhur adalah idaman pendidikan kita. Itu bagai harga mati yang tak bisa ditawar oleh pemangku kebijakan pendidikan. Kondisi demikian juga merupakan wasiat para bapak bangsa yang harus direalisasikan oleh generasi penerus.
Maju terus pendidikan Indonesia. Perjalanan mencapai tujuan hidup tidak boleh padam. Pendidikan merupakan proses seumur hidup. Jangan sampai ada lagi situasi sulit dan membingungkan yang membuat kita dilema dalam mengenyam pendidikan. Semua bisa sekolah. Mari, optimalisasikan kebijakan zonasi karena hakikat pendidikan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H