Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Merambah Rimba Sastra, dari Puisi, Cerpen, hingga Novel

30 Oktober 2018   11:53 Diperbarui: 30 Oktober 2018   11:59 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SEMASIH bocah, saya tidak pernah bercita-cita menjadi penyair, cerpenis, novelis, atau penulis. Sejak kelas 1 hingga 5 Sekolah Dasar (SD), saya tidak tertarik dengan sastra; melainkan matematika dan khususnya bahasa Inggris yang waktu itu belum diajarkan oleh seorang guru.

Sewaktu duduk di bangku SD, saya pun benci dengan sejarah. Amat bencinya, saya mengekspresikan perasaan saya itu dengan puisi yang saya tulis pada halaman kosong di balik sampul buku sejarah. Bila puisi itu dibaca ulang, pasti penilaian saya seperti para kritikus sastra, "Itu bukan puisi, Nak! Kalau kau anggap puisi, itu karya terburuk di dunia."

Terlepas penilaian apakah yang saya tulis berupa puisi atau bukan, tetapi itu karya pertama saya. Sejak itu, saya tidak lagi menulis puisi sampai terdaftar sebagai siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Namun ketika mengikuti ekstra kurikuler teater dari Heru Siswanto, saya dikenalkan dengan puisi. Pengenalan puisi itu tidak ditujukan untuk belajar mencipta, melainkan belajar membaca (memanggungkan) puisi.

Sewaktu studi di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) II Yogyakarta (1983-1986), saya mengikuti pelatihan teater asuhan Poel Syaibani dan Tertib Suratmo. Sesudah memelajari cara memanggungkan puisi berbekal ilmu teater, sekolah selalu memercayakan saya sebagai wakil ketika ada lomba baca puisi yang diselenggarakan oleh sekolah lain atau kampus.

Sejak suka memanggungkan puisi, saya mulai menciptanya (1984). Karena ingin memahami bagaimana puisi yang berstandar kualitatif, saya sering mengunjungi perpustakaan. Antologi puisi karya Linus Suryadi AG, Gunawan Mohammad, Sapardi Djoko Damono, Chairil Anwar, Leon Agusta, dll; saya baca, amati, dan pelajari. Saya juga membeli buku kiat mencipta puisi di Shopping Center, Yogyakarta. Dari situ, saya mulai serius belajar mencipta puisi.

Satu demi satu puisi saya cipta. Hasilnya saya kirim ke beberapa koran di Yogyakarta. Sayangnya setiap puisi saya kirim tidak pernah dimuatnya. Namun, saya tetap berusaha untuk memublikasikan puisi. Bukan melalui media cetak, melainkan melalui media radio di Yogyakarta, semisal: Angkatan Muda, Retjo Buntung, Arma Sebelas, dan Rasia Lima. Usaha saya itu menuai hasil.

Tidak puas ketika puisi dibaca penyiarnya, saya datang ke Retjo Buntung dan Rasia Lima untuk membacakannya sendiri. Hasilnya selain puisi tersiarkan lewat radio, saya bisa mengoreksi kemampuan saya dalam baca puisi. Berkat loyalitas, saya dipercaya oleh Rasia Lima untuk mengasuh acara Cakrawala Puisi dan Apresiasi bersama Bambang Sareh Atmaja sejak 1987-1988.

Pada tahun 1987 itulah, saya kembali mengirim puisi yang saya cipta dengan mesin tik di Balai Desa Balecatur ketika malam hari itu ke beberapa koran di Yogyakarta. Hampir saya putus asa sesudah setahun mengirim puisi, namun tidak satu pun berhasil ditayangkan.

Baru pada medio 1988, tiga puisi saya dimuat di Masa Kini asuhan Indra Tranggono. Tidak lama kemudian, Berita Nasional (Bernas), Jogja Pos, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Surabaya Pos, Solo Pos, dll memuat puisi saya. Sejak itu, saya mulai beralih memublikasikan puisi dari media radio ke media koran baik terbitan daerah maupun pusat.

Dari Cerpen hingga Panduan Menulis Kreatif

Merasa ditantang oleh Suryanto Sastroatmodjo dan Kuswahyo SS Rahardjo (penyair tiga bahasa), saya tidak hanya mencipta puisi namun pula geguritan dan poem sejak 1995. Berbeda saat mengirim puisi, geguritan yang saya kirim ke beberapa majalah seperti Jaka Lodang, Jaya Baya, dan Penyebar Semangat, Sempulur, dan Pagagan berhasil tayang tanpa perjuangan yang berat. Sementara, poem yang saya ciptakan terpublikasikan di Australia-Indonesian Arts Alliance (AIAA), Aksara International Journal of Indonesian Literatur, dan blog pribadi: https://indonesianromanticpoetry.blogspot.com.

Pada tahun 1999, saya mulai merambah pada penciptaan cerita pendek (cerpen) dan esai yang bukan sekadar menggunakan bahasa Indonesia namun pula bahasa Jawa. Sebelas tahun kemudian (2010), saya mencipta novel dan fiksi sejarah. Belakangan saya pula menulis buku bertema sejarah dan filsafat Jawa yang diterbitkan oleh beberapa penerbit mayor di Yogyakarta.

Sungguhpun intens menulis buku non-sastra, namun saya tetap mencipta puisi, cerpen, dan novel. Karena intensitas saya di dalam mencipta karya sastra itu, salah satu penerbit di Yogyakarta memberi kepercayaan kepada saya untuk menulis buku Panduan Praktis Menjadi Penulis Andal: Karya Ilmiah, Artikel, Resensi, Apresiasi & Kritik Seni, Naskah Lakon, Puisi, Cerpen, dan Novel (Araska, 2015) dan Menulis Kreatif itu Gampang (Araska, 2016). Tentu dalam penulisan kedua buku itu berdasarkan pengetahuan dan pengalaman saya selama berporses kreatif di bidang sastra sejak 1984.

Berbekal pengetahuan dan pengalaman, saya pun tidak keberatan ketika Balai Bahasa Jawa Tengah (BBJT) meminta saya untuk menuliskan proses kreatif saya yang berkaitan dengan karya sastra baik puisi, cerpen, maupun novel. Namun proses kreatif yang saya tempuh tidak murni melalui jalur akademis, melainkan jalur otodidak. Sebagaimana para 'sastrawan' jalanan yang mencipta karya sastra tidak sepenuhnya mengacu teori akademis atau pendapat kritikus sastra.

Proses Kreatif dalam Puisi

Latar belakang pendidikan saya bukan sastra, namun filsafat. Karenanya saya mencipta puisi tidak terdorong untuk menjadi penyair, melainkan ingin berfilsafat melalui salah satu genre sastra yakni puisi. Dari tujuan yang sangat mendasar ini, saya tidak pernah memedulikan teori sastra ketika mencipta puisi. Sungguhpun pada tahun 1987, saya mengikuti workshop penciptaan puisi dari Kuntowijoyo yang cenderung menggunakan teori sastra.

Sejak 1984 hingga sekarang, saya tetap berpedoman pada teori Six Steps (Enam Tahap) dalam proses penciptaan puisi. Keenam tahap tersebut, yakni: pengamatan, penyerapan, metabolisme (pengendapan), penuangan (penulisan), revisi (peninjauan beserta editing dan koreksi aksara), dan penyempurnaan. Karenanya untuk mencipta puisi yang sempurna tidak bisa saya lakukan dalam sehari, namun bisa tiga hari hingga seminggu.

Tahap pertama dalam penciptaan puisi adalah pengamatan. Pada tahap ini, saya mengamati dengan seksama terhadap suatu peristiwa yang unik, spesifik, tidak lazim, imajinatif, dan sekaligus inspiratif. Karena sudah bersifat inspiratif, peristiwa tersebut otomatis akan memunculkan beberapa gagasan untuk dituang ke dalam karya puisi.

Tahap kedua yakni pencerapan. Pada tahap ini, saya memilah dan memilih salah satu dari beberapa gagasan yang menjadi konsep pemikiran dalam puisi. Sesudah konsep pemikiran terbentuk, tahap selanjutnya memetabolismekannya. Hasil metabolisme adalah matangnya suatu konsep pemikiran yang siap dituang ke dalam karya puisi.

Ketika menuangkan konsep pemikiran ke dalam karya puisi, saya tidak pernah menulis judul terlebih dahulu, namun larik atau bait awal yang semenarik mungkin. Kenapa demikian? Sebab larik atau bait awal sangat menentukan pembaca untuk berhenti atau terus membaca puisi tersebut hingga tuntas.

Pada bait terakhir puisi, saya selalu menyisipkan pemikiran filosofis yang memberikan nilai plus suatu puisi. Sungguhpun demikian, saya tetap menjaga agar puisi memberi ruang imajinasi dan kontemplasi bagi pembaca atas pemikiran filosofis tersebut tanpa menggurui.

Paska penuangan konsep pemikiran adalah revisi. Ketika merevisi puisi, pertama kali yang saya lakukan adalah berulangkali membacanya guna mengetahui kepaduan (keutuhan) seluruh bait. Bila belum, saya berusaha memadukannya. Bila sudah, saya mengeditnya dengan mencoret kata-kata tidak perlu. Saya pula mengganti kata-kata kurang pas dengan yang lebih tepat. Pada tahap ini, saya mengoreksi aksara per kata. Bila ada kata yang salah ketik (saltik), saya membenahinya.

Tahap terakhir dalam penciptaan puisi adalah penyempurnaan. Puisi dikatakan sempurna sebagai karya sastra bila dibubuhi judul dan titi mangsa. Agar mencapai ketepatan, judul harus mengambarkan sifat (karakter) dan kerangka pemikiran puisi. Untuk memilih judul puisi yang tepat, saya memerlukan waktu sehari atau dua hari. Ketika judul sudah didapat dan dituliskan, saya membubuhkan titi mangsa yang lengkap dengan tempat di mana saya mencipta puisi tersebut.  Dengan demikian, selesailah sudah saya menggubah satu puisi.

Proses Kreatif dalam Cerpen

Terdapat kesamaan namun juga perbedaan dalam proses ketika saya mencipta puisi dengan ketika mencipta cerpen. Kesamaannya ketika mencipta cerpen, saya pula menerapkan teori Six Steps. Perbedaannya terletak pada cara mendapatkan dan menuangkan gagasan ke dalam karya puisi atau cerpen.

Mendapatkan gagasan untuk dituang ke dalam karya cerpen, saya cenderung mendengar orang-orang bercerita atau berdialog di suatu tempat semisal lokasi ziarah. Berdasar pengalaman saya, lokasi ziarah dikunjungi banyak orang bermasalah. 

Dari cerita atau dialog mereka, saya bisa memeroleh tema yang menarik, seperti: penipuan, perselingkuhan, dan persoalan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat akar rumput. 

Melalui cerita atau dialog mereka, saya dapat memahami berbagai karakter manusia yang sangat bermanfaat sebagai referensi ketika saya menentukan karakterisasi tokoh-tokoh dalam cerpen.

Sesudah mendapat gagasan, saya menentukan terlebih dahulu bentuk cerpen yang akan saya cipta. Apakah gagasan itu layak dituang ke dalam bentuk cerpen yang mengolaborasikan narasi dan dialog, narasi semata, atau dialog semata. 

Bila cerpen dicipta dengan mengolaborasikan narasi dan dialog, saya tidak berpatron pada penulisan cerpen gaya lama. Saya sangat menghindari dialog antar tokoh yang cenderung menjelaskan yang sudah jelas, misal: "Dari mana?" tanya Fulan; "Makan!" pinta Suta; "Kau cantik, Sum!" puji Naya; dll.

Ketika saya menuangkan gagasan ke dalam karya cerpen, terdapat lima faktor yang mendapat perhatian ekstra. Pertama, paragraf pertama harus semenarik mungkin dan merangsang pembaca untuk membaca cerpen hingga tuntas. 

Hal ini saya lakukan karena cerpen tidak akan dibaca tuntas bila paragraf pertama tidak menarik dan tidak menimbulkan penasaran bagi pembaca.

Kedua, menjaga alur tetap dinamis dan membangun konflik antar tokoh yang rumit namun logis. Selain itu, konflik harus mampu memainkan emosi pembaca sehingga hanyut ketika membaca cerpen tersebut. 

Pembaca pula harus diyakinkan bahwa cerpen yang merupakan kisah fiktif tersebut sebagai cerita faktual. Di sinilah keberhasilan suatu cerpen yang mengindikasikan bahwa cerpenis adalah seorang pembohong profesional.

Ketiga, mengakhiri cerpen dengan memberi kejutan logis pada pembaca. Sehingga ending yang ditebak pembaca pada awal membaca cerpen berbanding terbalik. Misal, pembaca menebak cerpen akan berakhir happy ending, namun berakhir sad ending; pembaca memastikan tokoh A yang mengalami kecelakaan lalu lintas meninggal, namun dapat diselamatkan; dll. 

Selain itu, saya selalu mengakhiri cerpen dengan ending menggantung serta menyisipkan pesan moral yang tidak menggurui. Hal ini dimaksudkan, agar pembaca selalu mengenang cerpen saya.

Pada tahap revisi dan penyempurnaan ketika saya mencipta cerpen sama ketika saya mencipta puisi. Maka, saya tidak perlu lagi menjelaskan secara panjang lebar mengenai kedua tahap terakhir dalam penciptaan cerpen tersebut. Bukankah sesuatu yang  sudah jelas akan memuakkan bila dijelaskan lagi?

Proses Kreatif dalam Novel

Teori Six Steps yang saya terapkan ketika mencipta puisi atau cerpen, pula saya gunakan ketika mencipta novel. Perbedaannya terletak pada cara di dalam mendapatkan gagasan. 

Di mana, cara untuk mendapatkan gagasan yang akan dituang ke dalam novel tidak sesederhana ketika memburu gagasan untuk puisi atau cerpen. Karena selain pengamatan dan mendengar orang-orang yang bercerita atau berdialog; saya harus melakukan penelitian, membaca buku, dan kelayapan ke suatu tempat yang akan menjadi setting dalam novel tersebut.

Selain lebih kompleks, cara mendapatkan gagasan untuk novel dibilang lebih berat. Dikatakan demikian, ketika gagasan tersebut harus saya dapatkan dengan ngelayap ke lokalisasi pelacuran atau makam angker. Sungguhpun begitu, saya terpaksa melakukannya demi lahirnya novel yang berdasarkan data valid. Bukan karya yang lahir dari imajinasi atau karangan murni.

Ketika saya akan mencipta novel pengembaraan Cebolang dalam "Centhini: Malam Ketika Hujan (Diva Press Yogyakarta, 2011), saya melakukan kelayapan di beberapa lokalisasi pelacuran. Di lokasi pelacuran tersebut, saya ingin mendapatkan informasi mengenai penyakit sipilis yang pernah diderita tokoh Cebolang dalam Serat Centhini.

Menurut informasi yang saya peroleh dari beberapa Pekerja Seks Komersial (PSK), bahwa penyakit kelamin tersebut cenderung disebarkan seorang lelaki hidung belang. Mengingat para PSK selalu mendapat perawatan rutin dari tim kesehatan. 

Dari sini, saya memerkirakan bahwa PSK pada era Cebolang belum mendapatkan perawatan kesehatan. Sehingga Cebolang yang melakukan seks bebas ketika Mataram di bawah kendali Sultan Agung tersebut tertular penyakit sipilis.

Selain tempat pelacuran, saya mengunjungi Makam Raja-Raja Mataram di Kota Gede (Yogyakarta) yang pernah dikunjungi Cebolang. Sebagaimana Cebolang, saya menggelandang baik siang maupun malam di makam tersebut. Mungkin dikira gelandangan yang menyamar peziarah, saya diusir oleh juru kunci ketika tidur siang di Bangsal Kencur. Namun bukannya saya meninggalkan kawasan makam, melainkan pergi ke bangsal depan dekat beringin tua. Melanjutkan tidur.

Selain Makam Raja-Raja Mataram, saya pula mengunjungi makam-makam, seperti: Bah Depok, Makam Sewu, Imogiri, dan Wotgaleh (Yogyakarta). 

Sebagai pengunjung baru, saya tersentak ketika mendengar cerita dari beberapa peziarah tentang praktik perselingkuhan antar para peziarah semakin merebak di makam-makam tersebut. Berangkat dari cerita tersebut, saya mengisahkan perihal perselingkuhan Cebolang dengan peziarah wanita dalam novel "Centhini: Malam Ketika Hujan yang tidak dikisahkan oleh Serat Centini.

Saya pula mengunjungi Makam Yasadipura I dan Yasadipura II di Pengging dan makam Ranggawarsita III di Palar (Jawa Tengah) ketika akan mencipta novel biografi Ranggawarsita: Jaman Gemblung (Diva Press, 2011). Ketika mengunjungi kedua makam tersebut, saya tidak ingin mengamati praktik perselingkuhan namun untuk mengetahui riwayat hidup Ranggawarsita melalui seorang juru kunci.

Sekalipun cerita dari juru kunci makam Yasadipura dan makam Ranggawarsita saya butuhkan; namun tidak mutlak saya gunakan sebagai referensi di dalam mencipta novel Jaman Gemblung. Mengingat banyak juru kunci yang menceritakan riwayat hidup tokoh-tokoh di masa silam tidak berdasarkan sumber literatur terpercaya, melainkan cerita tutur.

Mengingat terdapat beberapa nara sumber yang tidak terpercaya, saya sering menggunakan literatur sebagai referensi ketika akan mencipta novel -- terutama, fiksi sejarah. Karenanya literatur, tidak pernah terpisah dari saya ketika mencipta novel: Dharma Cinta (Laksana, 2011); Sabdapalon (Araska, 2011); Dharma Gandul: Sabda Pamungkas dari Guru Sabdajati (Araska, 2012); Ratu Kalinyamat: Tapa Wuda Asinjang Rikma (Araska, 2012); dan Centhini: Kupu-Kupu Putih di Langit Jurang Jangkung (Araska, 2012).

Pengalaman Unik dan Mistik

Sebagaimana sastrawan lain, saya sering mendapatkan pengalaman unik selama menekuni proses kreatif di bidang sastra. Karena uniknya, pengalaman tersebut sering saya ceritakan kepada beberapa kawan sastrawan ketika bertemu di suatu event atau di suatu tempat yang kondusif.

Berkaitan proses kreatif di bidang puisi, terdapat beberapa pengalaman unik yang dapat saya kisahkan. Pengalaman unik pertama yakni ketika saya melabuh ribuan puisi yang saya anggap gagal ke pantai Parangkusuma pada 1990 (1 Sura). Puisi-puisi tersebut bukannya terbawa ombak ke tengah lautan, melainkan terdampar ke hamparan pasir. Batin saya berkata, "Penguasa Laut Selatan tidak menerima puisi-puisi sampah."

Pengalaman unik kedua ketika saya menderita sakit. Seusai mencipta puisi, rasa sakit saya berkurang. Hingga pada 1997, penyakit yang saya derita sejak 1993 tersebut sembuh total. Dari sini saya mulai meyakini bahwa mencipta puisi yang disertai rasa bahagia dapat menyembuhkan penyakit. Pengetian lain, penciptaan puisi dapat dijadikan media terapi atas suatu penyakit.  

Pengalaman unik ketiga bahwa mencipta puisi dapat dilakukan secara kolaboratif dengan penyair lain. Kolaborasi dalam penciptaan puisi pernah saya lakukan bersama Fauzi Abdul Salam pada 1999. Puisi kolaboratif terseut dikirim Fauzi ke majalah Citra Yogya asuhan Linus Suryadi AG. Tidak lama kemudian, puisi tersebut dimuat Linus dan dan saya mendapatkan bagian honor.

Pengalaman unik keempat bahwa mencipta puisi hingga diakui sebagai penyair, menurut Gentong HSA, membutuhkan waktu 10-15 tahun. Awal mula saya tidak memercayai pendapat tersebut. Tetapi ketika saya mulai disebut oleh Suwarno Pragolapati dan Suminto A. Sayuti sebagai penyair sesudah berproses kreatif selama 13 tahun (1984-1997), barulah saya meyakini kebenaran pendapat Gentong. Sejak itu, saya menyebut Gentong sebagai guru.           

Pengalaman unik kelima dalam penciptaan puisi. Semula diungkapkan bahwa awal saya mencipta puisi karena benci dengan buku sejarah. Tetapi faktanya sekarang, buku sejarah yang mencukupi kebutuhan ekonomi saya dan bukan puisi. Bahkan melalui buku sejarah, saya dapat melangsungkan proses kreatif saya di bidang puisi sampai kini. Mengingat untuk membeayai kreativitas dan produktivitas karya puisi, saya menggunakan sebagian honorarium (royalti) dari penulisan buku sejarah.

Dalam proses kreatif di bidang cerpen, saya pula memiliki pengalaman unik. Semasa Minggu Pagi diasuh redaktur Hadjid Hamzah, beberapa cerpen saya tidak dimuatnya. Menurut Hadjid, bukan lantaran cerpen-cerpen tersebut buruk, namun sedikit berbau pornografis. Karena teguran pembaca itulah, Hadjid akan memuat cerpen saya selama tidak berbau pornografis. Sungguhpun waktu itu belum terbit Undang-Undang Pornografi yang berkaitan dengan sastra.

Lain ketika berproses kreatif di bidang puisi atau cerpen, lain pula ketika berproses kreatif di bidang novel. Ketika menyelesaikan novel Jaman Gemblung pada bagian kematian Ranggawarsita, saya mencium aroma kemenyan Jawa yang bersumber dari luar rumah. Namun sesudah saya keluar rumah, aroma kemenyan Jawa itu lenyap serupa tersapu angin.

Begitulah pengalaman-pengalaman unik dan mistik yang saya alami selama merambah rimba sastra. Karena keunikan dan kemistikannya, beberapa pengalaman tersebut tidak bisa saya lupakan. Di samping, beberapa pengalaman tersebut menjadi bagian dari proses kreatif saya yang sesungguhnya juga unik.

Pesan bagi Calon Sastrawan 

Sebagai calon sastrawan yang ingin berhasil dalam merintis karirnya sebagai sastrawan harus berbekal kedisiplinan. Setiap hari, calon sastrawan harus meluangkan waktu untuk mencipta karya. Artinya, calon sastrawan tidak menunggu mood, melainkan harus mencipta karya sastra dengan waktu terjadwal.

Hendaklah di dalam menjadwal waktu mencipta karya sastra tidak berbenturan dengan waktu melakukan aktivitas penting lainnya. Misal, bila kita menggunakan waktu siang untuk kuliah atau sekolah, maka gunakan waktu sore atau malam untuk mencipta karya sastra.

Dengan menjaga intensias dalam penciptaan bukan hanya akan melahirkan banyak karya sastra, melainkan pula dapat melahirkan karya sastra berkualitas. Bukankah pisau yang tumpul akan menjadi tajam bila terus diasah? Bukankah mata air akan didapat bila terus menggali lubang tanah?

Karenanya untuk dapat melahirkan karya sastra berkualitas, calon sastrawan bukan semata mengandalkan bakat, melainkan pula kesetiaan terhadap proses kreatif. Hanya dengan kesetiaan dan kedisiplinan, calon sastrawan akan mampu menciptakan karya berstandar kualitatif.

Agar karya dikenal dan dibaca publik, calon sastrawaan harus memublikasikannya baik ke media cetak maupun media sosial. Dengan demikian, calon sastrawan kelak tidak hanya dikukuhkan eksistensinya sebagai sastrawan, melainkan pula akan mendapat honorarium dan popularitas. Namun untuk mendapatkan semua itu tidak mudah. Karenanya, jangan menyerah sebelum berhasil memublikasikan karya. Jangan pula berhenti mencipta karya sastra. Karena, karya sastra akan menjadi warisan abadi yang tidak ternilai harganya sesudah penciptanya mati. [ ]

- Sri Wintala Achmad- 

Catatan: 

Proses kreatif Sri Wintala Achmad ini bersumber dari buku Proses Kreatif Sastrawan Jawa Tengah "Menepis Sunyi Menyibak Batas", Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018, hal; 257-268.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun