Pada tahun 1999, saya mulai merambah pada penciptaan cerita pendek (cerpen) dan esai yang bukan sekadar menggunakan bahasa Indonesia namun pula bahasa Jawa. Sebelas tahun kemudian (2010), saya mencipta novel dan fiksi sejarah. Belakangan saya pula menulis buku bertema sejarah dan filsafat Jawa yang diterbitkan oleh beberapa penerbit mayor di Yogyakarta.
Sungguhpun intens menulis buku non-sastra, namun saya tetap mencipta puisi, cerpen, dan novel. Karena intensitas saya di dalam mencipta karya sastra itu, salah satu penerbit di Yogyakarta memberi kepercayaan kepada saya untuk menulis buku Panduan Praktis Menjadi Penulis Andal: Karya Ilmiah, Artikel, Resensi, Apresiasi & Kritik Seni, Naskah Lakon, Puisi, Cerpen, dan Novel (Araska, 2015) dan Menulis Kreatif itu Gampang (Araska, 2016). Tentu dalam penulisan kedua buku itu berdasarkan pengetahuan dan pengalaman saya selama berporses kreatif di bidang sastra sejak 1984.
Berbekal pengetahuan dan pengalaman, saya pun tidak keberatan ketika Balai Bahasa Jawa Tengah (BBJT) meminta saya untuk menuliskan proses kreatif saya yang berkaitan dengan karya sastra baik puisi, cerpen, maupun novel. Namun proses kreatif yang saya tempuh tidak murni melalui jalur akademis, melainkan jalur otodidak. Sebagaimana para 'sastrawan' jalanan yang mencipta karya sastra tidak sepenuhnya mengacu teori akademis atau pendapat kritikus sastra.
Proses Kreatif dalam Puisi
Latar belakang pendidikan saya bukan sastra, namun filsafat. Karenanya saya mencipta puisi tidak terdorong untuk menjadi penyair, melainkan ingin berfilsafat melalui salah satu genre sastra yakni puisi. Dari tujuan yang sangat mendasar ini, saya tidak pernah memedulikan teori sastra ketika mencipta puisi. Sungguhpun pada tahun 1987, saya mengikuti workshop penciptaan puisi dari Kuntowijoyo yang cenderung menggunakan teori sastra.
Sejak 1984 hingga sekarang, saya tetap berpedoman pada teori Six Steps (Enam Tahap) dalam proses penciptaan puisi. Keenam tahap tersebut, yakni: pengamatan, penyerapan, metabolisme (pengendapan), penuangan (penulisan), revisi (peninjauan beserta editing dan koreksi aksara), dan penyempurnaan. Karenanya untuk mencipta puisi yang sempurna tidak bisa saya lakukan dalam sehari, namun bisa tiga hari hingga seminggu.
Tahap pertama dalam penciptaan puisi adalah pengamatan. Pada tahap ini, saya mengamati dengan seksama terhadap suatu peristiwa yang unik, spesifik, tidak lazim, imajinatif, dan sekaligus inspiratif. Karena sudah bersifat inspiratif, peristiwa tersebut otomatis akan memunculkan beberapa gagasan untuk dituang ke dalam karya puisi.
Tahap kedua yakni pencerapan. Pada tahap ini, saya memilah dan memilih salah satu dari beberapa gagasan yang menjadi konsep pemikiran dalam puisi. Sesudah konsep pemikiran terbentuk, tahap selanjutnya memetabolismekannya. Hasil metabolisme adalah matangnya suatu konsep pemikiran yang siap dituang ke dalam karya puisi.
Ketika menuangkan konsep pemikiran ke dalam karya puisi, saya tidak pernah menulis judul terlebih dahulu, namun larik atau bait awal yang semenarik mungkin. Kenapa demikian? Sebab larik atau bait awal sangat menentukan pembaca untuk berhenti atau terus membaca puisi tersebut hingga tuntas.
Pada bait terakhir puisi, saya selalu menyisipkan pemikiran filosofis yang memberikan nilai plus suatu puisi. Sungguhpun demikian, saya tetap menjaga agar puisi memberi ruang imajinasi dan kontemplasi bagi pembaca atas pemikiran filosofis tersebut tanpa menggurui.
Paska penuangan konsep pemikiran adalah revisi. Ketika merevisi puisi, pertama kali yang saya lakukan adalah berulangkali membacanya guna mengetahui kepaduan (keutuhan) seluruh bait. Bila belum, saya berusaha memadukannya. Bila sudah, saya mengeditnya dengan mencoret kata-kata tidak perlu. Saya pula mengganti kata-kata kurang pas dengan yang lebih tepat. Pada tahap ini, saya mengoreksi aksara per kata. Bila ada kata yang salah ketik (saltik), saya membenahinya.