Selain tempat pelacuran, saya mengunjungi Makam Raja-Raja Mataram di Kota Gede (Yogyakarta) yang pernah dikunjungi Cebolang. Sebagaimana Cebolang, saya menggelandang baik siang maupun malam di makam tersebut. Mungkin dikira gelandangan yang menyamar peziarah, saya diusir oleh juru kunci ketika tidur siang di Bangsal Kencur. Namun bukannya saya meninggalkan kawasan makam, melainkan pergi ke bangsal depan dekat beringin tua. Melanjutkan tidur.
Selain Makam Raja-Raja Mataram, saya pula mengunjungi makam-makam, seperti: Bah Depok, Makam Sewu, Imogiri, dan Wotgaleh (Yogyakarta).Â
Sebagai pengunjung baru, saya tersentak ketika mendengar cerita dari beberapa peziarah tentang praktik perselingkuhan antar para peziarah semakin merebak di makam-makam tersebut. Berangkat dari cerita tersebut, saya mengisahkan perihal perselingkuhan Cebolang dengan peziarah wanita dalam novel "Centhini: Malam Ketika Hujan yang tidak dikisahkan oleh Serat Centini.
Saya pula mengunjungi Makam Yasadipura I dan Yasadipura II di Pengging dan makam Ranggawarsita III di Palar (Jawa Tengah) ketika akan mencipta novel biografi Ranggawarsita: Jaman Gemblung (Diva Press, 2011). Ketika mengunjungi kedua makam tersebut, saya tidak ingin mengamati praktik perselingkuhan namun untuk mengetahui riwayat hidup Ranggawarsita melalui seorang juru kunci.
Sekalipun cerita dari juru kunci makam Yasadipura dan makam Ranggawarsita saya butuhkan; namun tidak mutlak saya gunakan sebagai referensi di dalam mencipta novel Jaman Gemblung. Mengingat banyak juru kunci yang menceritakan riwayat hidup tokoh-tokoh di masa silam tidak berdasarkan sumber literatur terpercaya, melainkan cerita tutur.
Mengingat terdapat beberapa nara sumber yang tidak terpercaya, saya sering menggunakan literatur sebagai referensi ketika akan mencipta novel -- terutama, fiksi sejarah. Karenanya literatur, tidak pernah terpisah dari saya ketika mencipta novel: Dharma Cinta (Laksana, 2011); Sabdapalon (Araska, 2011); Dharma Gandul: Sabda Pamungkas dari Guru Sabdajati (Araska, 2012); Ratu Kalinyamat: Tapa Wuda Asinjang Rikma (Araska, 2012); dan Centhini: Kupu-Kupu Putih di Langit Jurang Jangkung (Araska, 2012).
Pengalaman Unik dan Mistik
Sebagaimana sastrawan lain, saya sering mendapatkan pengalaman unik selama menekuni proses kreatif di bidang sastra. Karena uniknya, pengalaman tersebut sering saya ceritakan kepada beberapa kawan sastrawan ketika bertemu di suatu event atau di suatu tempat yang kondusif.
Berkaitan proses kreatif di bidang puisi, terdapat beberapa pengalaman unik yang dapat saya kisahkan. Pengalaman unik pertama yakni ketika saya melabuh ribuan puisi yang saya anggap gagal ke pantai Parangkusuma pada 1990 (1 Sura). Puisi-puisi tersebut bukannya terbawa ombak ke tengah lautan, melainkan terdampar ke hamparan pasir. Batin saya berkata, "Penguasa Laut Selatan tidak menerima puisi-puisi sampah."
Pengalaman unik kedua ketika saya menderita sakit. Seusai mencipta puisi, rasa sakit saya berkurang. Hingga pada 1997, penyakit yang saya derita sejak 1993 tersebut sembuh total. Dari sini saya mulai meyakini bahwa mencipta puisi yang disertai rasa bahagia dapat menyembuhkan penyakit. Pengetian lain, penciptaan puisi dapat dijadikan media terapi atas suatu penyakit. Â
Pengalaman unik ketiga bahwa mencipta puisi dapat dilakukan secara kolaboratif dengan penyair lain. Kolaborasi dalam penciptaan puisi pernah saya lakukan bersama Fauzi Abdul Salam pada 1999. Puisi kolaboratif terseut dikirim Fauzi ke majalah Citra Yogya asuhan Linus Suryadi AG. Tidak lama kemudian, puisi tersebut dimuat Linus dan dan saya mendapatkan bagian honor.