Belum sempat terlelap, Baya membuka matanya yang telah mengantuk. Berang, ketika melihat petromaknya dijatuhi seekor kucing hitam yang tengah memburu tikus. Melihat petromaknya berantakan, Baya memburu kucing hitam. Menembak kepalanya dengan senapan ketupai. Di dapur dekat rak piring, kucing hitam itu berkelojotan. Tak bernapas lagi.
Dengan senapan ketupai di pinggang, Baya berlagak seperti pahlawan menang perang. Membawa bangkai kucing hitam ke sungai yang mengalir kecoklatan di belakang rumah. Melemparkan bangkai keparat itu ke sungai. Terbawa arus hingga lenyap dari pandangan matanya yang nanar.
Sepulang dari sungai, Baya menemui Menik yang tengah mengamati ceceran darah di lantai ubin dapur dekat rak piring. "Apa yang kamu lakukan di situ, Nik? Segeralah memasak. Aku mau makan yang banyak sesudah tidur siangku nanti."
"Kang, ini darah apa?"
"Si Hitam."
"Mengapa kamu membunuhnya?"
"Kucing itu yang menghancurkan petromak warisan ayahku. Petromak yang memertemukan kita. Cinta kita."
"Tapi, kamu lupa Kang. Karena si Hitam, rezeki kita mengalir seperti sungai di belakang rumah."
"Masa bodoh dengan rezeki."
"Masa bodoh dengan cinta?"
"Masa bodoh semuanya! Yang penting sekarang, kamu masak enak untukku. Aka mau tidur dulu untuk melupakan petromak dan si Hitam."