DENGAN petromak warisan mendiang ayahnya, Baya masih dapat bernapas. Meskipun zaman berubah cepat seperti disulap seorang pesihir sakti. Setiap malam, Baya selalu menyusuri pematang sawah. Menyuluh belut buat dijual keliling menjelang matahari lahir dari rahim malam.
Sepulang menjual hasil kerja, Baya selalu menyempatkan minum secangkir kopi dan mengisap sigaret yang disiapkan istrinya. Menik yang telah menggunakan separuh rumah Baya di dekat terminal kecil pinggiran kota Ayodyakarta sebagai warung pelacuran.
"Penghasilanmu hari ini lumayan, Kang?"
"Berkat doamu, penghasilan yang kudapat lebih dari cukup." Baya menyeruput kopi yang masih mengepulkan asap. Sigaret diisapnya kuat-kuat. Seperti bos besar, Baya menghempaskan asap sigaret dari mulutnya. Di kursi panjang ruang tamu, Baya mengecup kening Menik dengan mesra. "Bagaimana dengan penghasilanmu semalam, Nik?"
"Sial! Selepas Kang Baya meninggakan rumah, Jarkisah yang kedatangan tamu bulanannya mendadak pulang ke kos. Sri Koplak keluar dengan kenalan barunya. Zainab teler berat karena baru terserimpung persoalan dengan suaminya. Tinggal Rulyati, Yanti, Minuk, dan Kasimah. Dagangan peyot yang tak laku di pasaran.
"Jangan marah, Nik!" Baya mengusap-usap rambut istrinya yang lurus panjang sampai ke pinggang. "Rezeki memang gampang-gampang susah dicari. Pakailah yang duaratus ribu buat kebutuhan kita hari ini. Aku gunakan yang seratus ribu ini saja."
"Buat mabuk dengan Kang Togok. Tobil, dan Macan? Awas!"
"Buat isi dompet. Segeralah ke pasar! Hari berangkat siang."
Menik tersenyum. Mengambil empat lembar limapuluh ribuan di atas meja. Mencubit lengan kekar Baya yang ketiaknya menyeruakkan bau tak sedap. "Tidak usah ngluyur! Tidur saja! Wajahmu tampak pucat."
Baya mengangguk patuh seperti budak dengan nyonya besarnya. Bersama istrinya yang tengah bergegas pergi ke pasar. Baya beranjak dari kursi. Menuju kamar tidur dengan membawa petromaknya. Sebelum merebahkan tubuh, Baya meletakkan petromak di atas almari kayu.
Dalam keletihan, mata Baya yang belum mau dipejamkan itu menatap petromak di atas almari. Petromak itu mengingatkan Menik. Mantan pelacur yang ditemuinya setahun silam sewaktu tergeletak pingsan di gubuk tengah hamparan sawah seusai diperkosa tujuh preman terminal. Baya selalu meneteskan air mata bila teringat pertemuan pertamanya dengan Menik. Karenanya, Baya semakin menyayangi petromak yang telah berjasa besar dalam kehidupannya.
Belum sempat terlelap, Baya membuka matanya yang telah mengantuk. Berang, ketika melihat petromaknya dijatuhi seekor kucing hitam yang tengah memburu tikus. Melihat petromaknya berantakan, Baya memburu kucing hitam. Menembak kepalanya dengan senapan ketupai. Di dapur dekat rak piring, kucing hitam itu berkelojotan. Tak bernapas lagi.
Dengan senapan ketupai di pinggang, Baya berlagak seperti pahlawan menang perang. Membawa bangkai kucing hitam ke sungai yang mengalir kecoklatan di belakang rumah. Melemparkan bangkai keparat itu ke sungai. Terbawa arus hingga lenyap dari pandangan matanya yang nanar.
Sepulang dari sungai, Baya menemui Menik yang tengah mengamati ceceran darah di lantai ubin dapur dekat rak piring. "Apa yang kamu lakukan di situ, Nik? Segeralah memasak. Aku mau makan yang banyak sesudah tidur siangku nanti."
"Kang, ini darah apa?"
"Si Hitam."
"Mengapa kamu membunuhnya?"
"Kucing itu yang menghancurkan petromak warisan ayahku. Petromak yang memertemukan kita. Cinta kita."
"Tapi, kamu lupa Kang. Karena si Hitam, rezeki kita mengalir seperti sungai di belakang rumah."
"Masa bodoh dengan rezeki."
"Masa bodoh dengan cinta?"
"Masa bodoh semuanya! Yang penting sekarang, kamu masak enak untukku. Aka mau tidur dulu untuk melupakan petromak dan si Hitam."
Melihat kecongkakan Baya yang bergegas menuju kamar tidurnya, darah dendam mengalir ke seluruh tubuh Menik. Karena kematian si Hitam telah menghancurkan kenangan terindah Menik dengan Rostawa. Mendiang pacarnya yang memberikan kado kucing hitam itu sewaktu berulang tahun.
***
Selepas dluhur, Baya terbangun dari tidur. Dengan perut keroncongan, Baya menuju ruang makan. Melahap makanan yang terhidang di atas meja. Sesudah kenyang, Baya beranjak dari kursi. Namun sebelum meninggalkan ruang makan, Menik sudah berdiri di depan Baya dengan senapan ketupai. Tanpa sepatah kata, Menik menghujani butiran-butiran peluru ke kepala Baya. Tidak sampai hitungan menit, Baya terjatuh dengan darah mengalir dari kepalanya yang botak.
Melihat Baya yang terkapar di lantai ruang makan itu tidak bernapas lagi, Menik bergegas meninggalkan rumah dengan membawa senapan ketupai. Dengan menumpang angkutan kota, Menik menuju kantor polisi. Menyerahkan diri dan senapan ketupai sebagai tanda bukti.
***
Malam sesudah pertiwa berdarah, rumah Baya yang menjadi tempat kerja Menik sebagai germo itu mendadak senyap. Baya telah membujur di liang lahat. Menik meringkuk kedinginan di dalam tahanan. Jarkisah, Sri Koplak, Rulyati, Yanti dan Kasimah tidak tampak duduk di teras rumah itu untuk menunggu tamu.
Rumah Baya telah menyerupai cungkup kematian. Tidak ada cinta yang memancar seperti lampu petromak. Tidak ada rezeki yang dijaga kucing hitam atas serbuan tikus-tikus keparat. Tiga hari kemudian, rumah itu hancur ketika gempa bumi mengguncang dengan sangat dahsyat!
-Sri Wintala Achmad-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H