"Sesuatu yang tak ubahnya semalam. Seusai sepasang mata ini terpejam, kau merayap seperti ular yang akan memberikan kenikmatan khuldi?"
"Bukan itu yang akan aku persembahkan kepadamu."
"Lantas?"
"Bukankah kau bersedia aku nikahi sesudah lima tahun memujaku sebagai pematung? Bukankah kau suka patung?"
"Jadi?" Eva sejenak terdiam. "Kau akan membuatkanku patung?"
Adam mengangguk. Tertawa lepas tatkala menyaksikan istrinya yang sontak merentangkan kedua tangannya serupa sayap burung. Terbang melintasi bebunga bakung. Tidak jauh darinya.
"Wujudkan segera, Dam! Aku tak sabar. Bukankah mas kawin yang kau berikan padaku hanya layak datang dari manusia lumrah? Cincin emas pengikat jari. Kalung emas pengikat leher. Sesungguhnya aku kurang berkenan saat itu." Eva berteriak dari balik gerumbul pandan.
"Baik, sayang. Bergegaslah kemari!"
Eva berlari-lari kecil ke arah Adam. Berdiri di sampingnya. "Patung, mas kawin yang tak ternilai harganya. Bukan di depan penghulu, melainkan di hadapan Tuhan yang serasa hadir di antara kita. Sebagai saksi abadi."
"Demi kau, akan aku ciptakan satu patung lagi. Segera pejamkan matamu!"
"Seperti semalam?"