Di ruangan tamu, Den Lara Hartati sibuk melayani tamu-tamunya yang datang untuk ber-khalal bil khalal. Kedua anak Hamidah bermain petasan lombok rawit di halaman dengan anak-anak sebayanya. Sementara Hamidah yang galau lantaran belum terkirimnya WA ke android Pras itu duduk di ruangan keluarga sembari menggendong bayinya. Sibuk dengan remote controldi depan televisi.
Hamidah serasa tersambar petir di siang bolong, manakala menyimak breaking news dari salah satu stasiun televisi: "Telah terjadi tabrakan maut BMW hitam dengan bis trans Jakarta. Kedua penumpang BMW, Nurlinda dan lelaki yang tak diketahui identitasnya tewas. Sementara, sopir melarikan diri...."
Tanpa mencermati kedua mayat korban kecelakaan yang dimasukkan ke dalam ambulans, Hamidah beranjak dari ruang keluarga. Melangkah gontai menuju ruang tamu. Di mana Den Lara Hartati yang barusan mengantarkan tamu-tamunya sampai di depan pintu itu duduk sendirian. "Aku harus segera pulang ke Jakarta, Bu. Mas Pras kecelakan."
"Apa?" Den Lara Hartati beranjak dari kursi. "Pras kecelakaan? Dari mana kamu tahu?"
"Televisi, Bu."
"Kalau begitu, kita ke Jakarta sama-sama."
Hamidah melangkah ke teras rumah untuk memanggil kedua anaknya yang masih bermain petasan dengan anak-anak sebayanya. Dalam sekejap, Hamidah serupa patung hidup. Manakala kedua matanya menangkap BMW hitam yang merangkak pelan menuju halaman rumah mertuanya itu.
Hamidah terasa terseret ke alam mimpi. Tak  percaya bila lelaki berpakaian perlente yang keluar dari BMW hitam dan diikuti kedua anaknya itu adalah Pras. Ia pun tak percaya, bila lelaki yang mencium lembut kening bayinya di gendongan itu adalah suaminya.
"Hei! Kenapa kau memandang suamimu seperti itu, Dik?" tanya Pras penuh keheranan. "Apa yang aneh dengan diriku?"
"Bukankah Mas Pras mengalami kecelakaan di Jalan Salemba bersama Nurlinda?"
"Oh, jadi itu yang menyebabkan Dik Hamidah memandangku seperti itu? Sudah! Sudah! Kita masuk ke dalam dulu! Nanti aku jelaskan semuanya."