Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Matahari Biru di Langit Lebaran

28 Maret 2018   17:09 Diperbarui: 29 Maret 2018   23:47 4781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.theodysseyonline.com

BAGAIKAN piringan emas, matahari mengambang di atas bentang bukit timur. Langit yang serupa atap kubah biru tak tergores awan. Sepasang burung prenjak berkicauan di dahan pohon jambu yang tumbuh di halaman sudut rumah. Semilir angin serasa mengabarkan kalau puasa telah menginjak hari terakhir. Hari di mana Den Lara Hartati sibuk bekerja dengan pembantunya. Memersiapkan hidangan istimewa bagi Pras. Anak semata wayangnya yang akan mudik beserta istri dan ketiga anaknya dari Jakarta.

Selagi meracik bumbu opor ayam di dapur, android Den Lara Hartati yang tergeletak di ranjang di dalam kamarnya berdering. Sontak wanita berdarah biru berstatus janda itu berlari ke kamarnya. Menerima calling dari menantunya, Hamidah. "Sampai di mana perjalanan kalian?"

"Bandara, Bu."         

"Bukankah Pras bilang, kalian akan datang dengan mobil pribadi?"

"Rencana semula begitu. Karena Mas Pras masih sibuk dengan pekerjaannya, terpaksa kami datang duluan dengan pesawat."

"Ya, sudah. Kalian tak perlu naik taksi! Biar Jono menjemput kalian di situ." Den Lara Hartati menutup calling dengan Hamidah. Seusai meletakkan ponsel di ranjang, ia melangkah keluar ke halaman. Di mana, Jono -- sopir pribadinya -- tengah mengecat pagar besi. "Jon! Tolong jemput Hamidah dan anak-anaknya di bandara!"

"Bukankah Den Ayu Hamidah akan datang bersama Den Bagus Pras dengan mobil pribadi, Den Lara?"

"Pras masih sibuk dengan pekerjaannya. Jadi, Hamidah dan anak-anaknya datang duluan dengan pesawat. Segeralah kamu jemput mereka di bandara!"

Jono meletakkan kaleng cat dan kuasnya di teras rumah. Melangkah terburu menuju garasi. Dengan sedan Nissan perak, lelaki lajang itu menuju bandara. Hanya dalam waktu setengah jam, Nissan perak itu telah berada di antara deretan mobil-mobil di halaman parkir Bandara Adisucipta, Yogya.

Menyaksikan Hamidah dan ketiga anaknya yang tengah berdiri di antara tukang-tukang becak dan sopir-sopir taksi, Jono keluar dari dalam mobil. Melangkah terburu menuju tempat, di mana menantu Den Lara Hartati itu berdiri sembari menggendong anak bungsunya. Bayinya yang masih berusia tujuh bulanan. "Maaf, Den Ayu! Jemputnya agak terlambat."

"Tak apa, Jon."

"Mari Den Ayu, segera masuk ke mobil! Kasihan anak-anak."

"Ya, Jon."

Disertai Hamidah dan anak-anaknya, Jono melangkahkan kakinya menuju mobil. Sesudah memasukkan seluruh perbekalan Hamidah di dalam bagasi, ia masuk ke dalam mobil. Duduk di jok kemudi di samping Hamidah yang tubuhnya menyerbakkan parfum beraroma melati. Tak seberapa lama, mobil itu bergerak meninggalkan halaman parkir bandara.

***

"Allahu akbar. Allahu akbar. Allahu akbar. La ilaha illallah wallahu akbar. Allahu akbar. Wa lillahilhamd."

Suara takbir menggema dari masjid dan langgar. Sepulang menyaksikan takbiran keliling; Den Lara Hartati, Hamidah, dan anak-anaknya berkumpul di ruang tamu. Menikmati opor ayam dan minuman orson rasa anggur. Melepas kangen dengan bersendau gurau.

Waktu melarutkan malam. Den Lara Hartati dan kedua cucunya tertidur pulas di kamarnya. Sementara Hamidah masih terjaga sembari menunggui bayinya. Kedua matanya teramat sulit dipejamkan. Hatinya galau. Lantaran WA ucapan lebaran yang dikirimkan ke ketiga android Pras belum bercentrang biru.

Dengan gerakan kasar, Hamidah beranjak dari ranjang. Meninggalkan bayinya. Keluar dari dalam kamarnya yang terasa pengap. Duduk di salah satu kursi kayu jati berukir di ruangan tamu. Berulangkali menengok ponselnya. Hatinya kian galau. Manakala menjelang subuh, WA ucapan lebarannya pada Pras itu belum juga terbaca.

Hamidah bertanya-tanya dalam hati. Mungkinkah Pras yang tak mudik bersamanya dengan alasan sibuk dengan pekerjaannya itu hanya cara untuk dapat berselingkuh dengan Nurlinda. Bendaharanya yang pernah mengirim WA jorok ke android Pras?  Mungkin. Ya, mungkin.

Berulang kali, Hamidah menghela napas panjang untuk melonggarkan dadanya yang terasa tersumpal sebongkah batu. Sekalipun demikian, prasangka buruknya pada Pras yang kian mengganggu pikirannya itu memicunya untuk berteriak lantang, "Dasar lelaki brengsek!"

Den Lara Hartati yang terbangun lantaran dikejutkan dengan teriakan Hamidah itu melangkah menuju ruang tamu. Duduk di kursi di samping menantunya. "Ada apa denganmu, Ndhuk?  Siapa lelaki yang kau umpat dengan kalimat sekasar itu? Apakah Pras?"

Hamidah menjatuhkan wajahnya ke pangkuan Den Lara Hartati. "Maaf, Bu! Aku khilaf."

"Sabar ya, Ndhuk! Kalau Pras belum dapat datang hari ini, mungkin masih sibuk dengan pekerjaannya."

"Bukan karena itu, Bu," jawab Hamidah sembari mengangkat wajahnya yang basah air mata.

"Lantas, karena apa?"

"Ketiga android Mas Prass dimatikan."

"Karenanya, kau berpikir kalau Pras melakukan perbuatan yang menyimpang dari ajaran agama? Percayalah, Ndhuk! Pras itu, tipe lelaki setia pada seorang istri. Bertanggung jawab pada keluarganya. Sebagaimana rama-nya. Swargi Kangmas Sudibya."

"Tapi...."

"Sudahlah! Sekarang, ambillah air wudlu! Bersembahyanglah subuh! Sesudah mandi dan sarapan, kita pergi ke alun-alun. Berjamaah sholat 'id."

Selepas Hamidah, Den Lara Hartati meninggalkan ruang tamu. Memasuki ruang tidur menantunya. Menggendong cucu bungsunya yang telah terbangun dengan selendang kawung. Membawanya ke teras rumah. Mengembannya sembari menyenandungkan lagu Lela-Lela Ledhung.

***

Alun-alun yang penuh serakan sampah koran itu kembali lengang. Orang-orang berpakaian serba baru yang semenjak fajar berjajar membentuk sap-sap untuk berjamaah sholat 'id itu telah pulang ke rumahnya masing-masing. Demikian pula dengan Den Lara Hartati, Hamidah, dan ketiga anaknya.

Di ruangan tamu, Den Lara Hartati sibuk melayani tamu-tamunya yang datang untuk ber-khalal bil khalal. Kedua anak Hamidah bermain petasan lombok rawit di halaman dengan anak-anak sebayanya. Sementara Hamidah yang galau lantaran belum terkirimnya WA ke android Pras itu duduk di ruangan keluarga sembari menggendong bayinya. Sibuk dengan remote controldi depan televisi.

Hamidah serasa tersambar petir di siang bolong, manakala menyimak breaking news dari salah satu stasiun televisi: "Telah terjadi tabrakan maut BMW hitam dengan bis trans Jakarta. Kedua penumpang BMW, Nurlinda dan lelaki yang tak diketahui identitasnya tewas. Sementara, sopir melarikan diri...."

Tanpa mencermati kedua mayat korban kecelakaan yang dimasukkan ke dalam ambulans, Hamidah beranjak dari ruang keluarga. Melangkah gontai menuju ruang tamu. Di mana Den Lara Hartati yang barusan mengantarkan tamu-tamunya sampai di depan pintu itu duduk sendirian. "Aku harus segera pulang ke Jakarta, Bu. Mas Pras kecelakan."

"Apa?" Den Lara Hartati beranjak dari kursi. "Pras kecelakaan? Dari mana kamu tahu?"

"Televisi, Bu."

"Kalau begitu, kita ke Jakarta sama-sama."

Hamidah melangkah ke teras rumah untuk memanggil kedua anaknya yang masih bermain petasan dengan anak-anak sebayanya. Dalam sekejap, Hamidah serupa patung hidup. Manakala kedua matanya menangkap BMW hitam yang merangkak pelan menuju halaman rumah mertuanya itu.

Hamidah terasa terseret ke alam mimpi. Tak  percaya bila lelaki berpakaian perlente yang keluar dari BMW hitam dan diikuti kedua anaknya itu adalah Pras. Ia pun tak percaya, bila lelaki yang mencium lembut kening bayinya di gendongan itu adalah suaminya.

"Hei! Kenapa kau memandang suamimu seperti itu, Dik?" tanya Pras penuh keheranan. "Apa yang aneh dengan diriku?"

"Bukankah Mas Pras mengalami kecelakaan di Jalan Salemba bersama Nurlinda?"

"Oh, jadi itu yang menyebabkan Dik Hamidah memandangku seperti itu? Sudah! Sudah! Kita masuk ke dalam dulu! Nanti aku jelaskan semuanya."

Disertai kedua anaknya, Hamidah mengikuti langkah Pras ke dalam ruangan tamu. Sesudah sungkem pada Den Lara Hartati, Pras menjelaskan segala permasalahannya di Jakarta. "Siang kemarin, aku mengadakan rapat dengan Nurlinda dan Pramono stafku itu di kantor perusahaan. Dalam rapat itu, aku meminta Nurlinda agar mengembalikan uang perusahaan yang dihutangnya buat membayar THR pada seluruh karyawan. Karena Nurlinda belum sanggup mengembalikan uang pinjaman yang disalahgunakan untuk kredit BMW dan bersenang-senang dengan Pramono, terpaksa aku mengambil tabungan dan melepaskan tiga androidku untuk membayar THR. Sesudah persoalan itu beres, aku putuskan untuk mudik. Setiba di perbatasan Yogja-Purworeja, aku mengetahui bahwa Nurlinda dan Pramono mengalamai kecelakaan hingga tewas lewat televisi mobil itu."

Seusai penjelasan Pras, Hamidah merasakan dadanya terbebas dari sebongkah batu yang menyumpalnya. Merasakan bahwa Tuhan sang penabur keadilan di ladang kehidupan telah hadir di ruang tamu di hari fitri itu. Kehadiran-Nya yang sejauh mata batin Hamidah memandang itu serupa matahari biru di langit lebaran.

-Sri Wintala Achmad-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun