***
HARI ketujuh sesudah petaka. Cahaya melintas biru di depan pandangan mata. Cahaya itu menuju pintu bumi. Menjelma sesosok perempuan. Rambutnya bergerai panjang sampai ke pinggang. Parasanya tampak seperti purnama. Benar, bahwa ia adalah Pertiwi yang tengah melambai-lambaikan tangannya pada Parikesit. Tersenyum semekar mawar merekah.
"Lihat, Kek! Benarkah itu Pertiwi?"
"Benar, Kesit. Memang sudah saatnya, kamu tinggalkan Kakek di sini. Datanglah kepadanya!"
"Lantas, bagaimana dengan Kakek?"
"Sudah waktunya, aku harus menyinggahi rumah keabadian." Kakek Kresna tersenyum. "Berbahagialah kamu yang masih diberi kesempatan untuk belajar pada kehidupan. Melakukan darma pada sesama yang belum selesai. Semoga, Pertiwi akan menjadi pendamping hidupmu yang baik. Sebagaimana, Drupadi bagi Yudistira. Subadra bagi Arjuna. Shinta bagi Rama."
"Selamat jalan, Kek." Â Â Â Â Â
"Ya. Aku tunggu kamu di gerbang surga." Kakek Kresna membentangkan sayap. Terbang ke langit paling puncak. Tidak tertangkap lagi bayangannya, selain makna pesan terakhirnya pada Parikesit. Di mana Pertiwi yang telah menunggunya di pintu bumi serupa matahari baru. Bola emas yang bakal muntah dari rahim bukit sesudah mengelupaskan kabut pekatnya. Dialah harapan akan kebirujingaan senja. Meskipun Parikesit merasakan, bahwa kenyatan itu masih ditangguhkan.
-Sri Wintala Achmad-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H