***
HARI ketiga sesudah petaka. Bangkai-bangkai manusia yang berserakan serupa sampah itu dikuburkan tanpa doa, tabur bunga, asap dupa, keranda, dan payung. Bangkai-bangkai itu lebih hina dari para jembel yang harus dibinasakan dari pandangan mata. Lebih hina dari bangkai tikus, anjing, babi, dan ular.
***
HARI keempat sesudah petaka. Banyak orang mulai kehilangan akal warasnya. Mereka terdiam dengan mata kosong. Tertawa tanpa tahu alasannya. Bicara sendiri seperti Ki Dalang. Berjalan tanpa juntrung di antara mayat-mayat, sukarelawan, reruntuhan bangunan, serakan sampah, pasukan lalat, dan gerombolan gagak yang tengah berpesta.
 ***
HARI kelima sesudah petaka. Kakek Kresna mencegah Parikesit yang akan mencari bangkainya. Demikian pula, bangkai-bangkai yang semasa hidupnya merupakan bagian kehidupannya yang sangat ia cintai. Bangkai Kresna, bangkai Pertiwi, dan bangkai Sona. "Kakek egois!"
"Siapa yang mengajarkanmu berkata lancang seperti itu, Kesit? Kamu  yang egois. Kamu berdosa pada kodrat. Berdosa pada kodrat berarti berdosa pada Gusti Kang Murbeng Jagad. Bukankah kamu pernah bilang bahwa di dalam hidup, manusia tak kuasa atas apa atau siapa? Tak memiliki apa atau siapa? Segala harus berpulang pada muasalnya. Mengapa kita menyesailnya?"
"Karena, aku mencintai mereka."
"Aku percaya!" Kakek Kresna tersenyum. Wajahnya yag sejenak ditundukkan ke bumi ditengadahkan kembali. "Bukankah mencintai tidak sama maknanya dengan memiliki? Banyak orang bisa mencintai apa atau siapa, tapi mereka tak pernah mampu memilikinya. Apakah kamu masih ingat kata-kata yang pernah kamu pahami maknanya dari seorang Filsuf yang bukunya kamu baca sebelum petaka tiba?"
"Dari mana Kakek tahu yang tertulis di buku itu?"
"Dari judulnya yang sempat aku baca. Cinta dan Kepemilikan!" Kakek Kresna tertawa renyah. "Apakah kamu sudah paham apa yang kamu baca itu?"