Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Wasiat Langit

19 Maret 2018   08:32 Diperbarui: 19 Maret 2018   09:23 785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ya, Kek."

"Apakah kamu masih ingin mencari bangkai-bangkai itu?"

Tak sepatah kata meluncur dari mulut Parikesit. Hanya matanya yang mengerling ke bangkai-bangkai. Jauh berserakan di sebagian kecil permukaan bumi. Parikesit tidak percaya, saat menyaksikan seekor anjing yang tengah merobek-robek bangkai bayi. Digaglaknya di dekat tumpukan sampah. "Bukankah itu Sona?"

Wajah Kakek Kresna terbakar. Sepasang matanya menyala. Menatap Sona yang ternyata masih hidup itu tengah melahap bangkai bayi. Manusia kecil yang selalu tidur damai di pangkuan ibunya di seberang jalan rumahnya dulu, sebelum petaka mengubah setiap kemapanan menjadi porak-poranda. "Dasar anjing! Meskipun di rumah dikasih sosis dan susu, tetapi di luar tetap bernafsu atas bangkai."

"Tak perlu murka, Kek! Ingat kata-kata Kakek, bahwa anjing adalah jelmaan Raja Niwata Kawaca! Penguasa berhati iblis yang selalu memangsa jantung rakyatnya sendiri. Meskipun mereka adalah para juru ladiyang selalu menyajikan sepiring sate hati domba di meja makannya setiap hari."

"Tapi, sifat iblis itu seharusnya tak dimiliki Sona!"

"Kalau Sona kita sepakti sebagai anjing. Tentu, ia adalah salah satu jelmaan Niwata Kawaca, Kek."

"Ya! Sekarang, aku bangga padamu. Sebagaimana, aku bangga pada bayi itu. manusia kecil yang rela menyerahkan bangkainya dengan wajah malaikat penghuni nirwana. Luar biasa!"

"Aku pun bangga pada Kakek yang mengajarkan padaku tentang makna hidup. Kakek seperti Plato, Sokrates, William James, Yesus, Sidarta Gautama, Rumi, Siti Jenar, atau Ranggawarsita yang mengajarkan padaku tentang jalan menuju kebajikan."

***

HARI keenam sesudah petaka. Parikesit tidak terpengaruh lagi dengan pemandangan yang menyayat-nyayat hati. Para sukarelawan yang harus diamputasi tangannya karena terinfeksi kuman mematikan sesudah menjamah bangkai-bangkai. Para pengungsi yang sebagian masih rakus dengan harta benda dari pada merawat bangkai-bangkai saudaranya sendiri. Seorang sukarelawan dengan seragam perwira tengah memerkosa perempuan hamil tiga bulan yang tengah berduka karena ditinggal mati pacarnya. Orang-orang gila yang sepanjang jalan mengutuk Tuhannya. Jiwa Parikesit tidak bergeming. Biarlah peristiwa itu mengalir seperti sampah-sampah di sungai waktu yang tengah menuju muara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun