MATAHARI pucat menyembul dari puncak bukit. Serupa mata dewa dalam seribu duka. Tidak ada gurauan prenjak-prenjak di pohon sawo depan rumah. Sona yang semalam menggonggong, pagi itu tidak mendekam di pintu gerbang. Tidak mengantarkan lipatan Koran dari seorang loper ke ruang pendapa. Parikesit dan Kakek Kresna telah gagal menemukan Sona, sesudah mereka mencarinya sejak subuh di seluruh ruangan rumah, di kebun belakang, dan di rumah Pertiwi. Pacar Parikesit yang selalu memberikan semangkok susu dan sepiring nasi dengan sosis merah hati pada anjing itu.
Di pendapa, Parikesit dan Kakek Kresna masih minum teh. Dari wajah Kakek Kresna terbaca kegelisahan hatinya yang luar biasa. Sesekali, Kakek Kresna meningggalkan Parikesit untuk ke luar rumah. Melihat apakah Sona sudah pulang. Apakah Koran sudah datang. Kegelisahan itu menjadi sempurna. Ketika jarum panjang jam dinding di pendapa menunjukkan angka 9. Sona belum kembali. Koran pun tidak datang. Kecuali, angin bau mayat yang menggetarkan daun-daun sawo. Menyeruak ke dalam ruang pendapa.
Kakek Kresna kembali duduk di kursi kayu. Menyeruput tehnya dari cangkir porselin. Memungut sebatang sigaret menyan. Membakar ujungnya dengan geretan tua. Mengisap dalam-dalam. Menghembuskan asapnya. Mengepul hingga membentuk kumparan-kumparan di bawah langit-langit. Pecah. Menebar dihempas angin beraroma kematian. Kakek Kresna menatap Parikesit dengan pandangan setajam ujung belati. "Bawa pakaian secukupnya! Tinggalkan rumah ini segera, Kesit!"
"Mencari Sona?"
"Tidak!" Kakek Kresna menoleh ke luar. Memandang anak-anak kecil bermain di seberang jalan. Bayi tertidur damai di gendongan ibunya yang duduk di teras rumah sendirian. Karena suaminya telah meninggalkan rumah sejak pagi buta untuk bekerja. Kakek Kresna melelehkan air mata. "Cepat pergi!"
"Tidak!"
"Sejak kapan kamu berani membantah perintahku?"
"Sama sekali aku tak membantah perintah Kakek."
"Mengapa kamu tidak segera pergi?"
"Kakek tak memberikan alasan. Mengapa aku harus pergi?"
"Apakah hatimu tidak peka membaca bahasa angin?"