"Baik, Ki."
Ki Dalang mendekati kotak kayu. Mengambil drigen berisi yang berisi bensin. Menyiramkan bensin ke kotak. Menyentikkan sebatang korek api yang telah dinyalakan. Sontak kotak itu terbakar. Asap membumbung pekat ke angkasa. Seluruh pegawai kalurahan keluar dari ruang kerjanya. Menyaksikan ulah Ki Dalang yang semakin nyeleneh.
***
BERITA tentang Ki Dalang yang membakar wayang di halaman Gedung Serbaguna Kalurahan Ngudi Budaya tersiar luas ke seluruh penjuru desa. Tidak heran, kalau malam pergelaran wayang lakon Pandawa Boyong mampu menyedot lebih banyak penonton ketimbang lakon-lakon sebelumnya. Semenjak dimulainya pergelaran wayang oleh Ki Dalang hingga adegan Aswatama yang memburu Banowati, seluruh mata penonton tertuju ke kelir.
"Dasar buaya!" Kontet mengumpat dengan lantang. "Siapakah Aswatama itu, Krik? Perilakunya menyamai jago wareng milik tetanggaku."
"Ia anak semata wayang Pendeta Durna yang lahir dari rahim Wilutama." Cakrik menghela napas panjang. "Bidadari yang pernah dikutuk Dewata menjadi kuda sembrani."
"Lantas siapakah perempuan bunting yang diburu-buru Aswatama itu?"
"Banowati. Permaisuri Doryudana yang memiliki PIL Raden Arjuna. Ia lahir dari rahim wanita setia kepada guru lakinya. Setyawati."
"Lihat Krik! Banowati berhasil digagahi Aswatama."
Cakrik meludah. Baginya, Ki Dalang telah melanggar pakem pakeliran. Tuntunan dan tatanan di dalam pertunjukan wayang yang seharusnya dijaga dengan sepenuh daya. Bukan diobrak-abrik demi kepuasan diri sendiri. Cakrik kembali meluncurkan ludahnya ke tanah.
***