Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ki Dalang

6 Maret 2018   09:32 Diperbarui: 6 Maret 2018   15:34 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
keindahanponorogo.blogspot.com

SERI Bharatayuda tuntas dibabar Ki Dalang selama tujuh malam di Gedung Serbaguna Kalurahan Ngudi Budaya. Namun saat fajar hari seusai menggelar lakon Rubuhan, Ki Dalang tidak beranjak dari depan kelir. Ki Dalang merasakan kematian keangkara-murkaan Korawa  yang memberi harapan kedamaian jagad raya itu hanya malapetaka baginya. Kekosongan kelir yang teramat mengerikan.

Menyaksikan perilaku Ki Dalang yang nyeleneh itu, Ki Bancak mendekatinya perlahan-lahan. "Maaf, Ki! Seluruh wiyaga, wiraswara, dan waranggana telah pulang. Mengapa sampeyan masih duduk di sini? Ki Dalang harus pulang untuk istirahat yang cukup. Lakon Pandawa Boyong dan Jumenengan Parikesit sudah menunggu giliran.

"Pulanglah dulu, Cak! Aku masih ingin di sini."

"Tampaknya Ki Dalang tengah memikirkan sesuatu yang sangat penting. Apa yang tengah sampeyan pikirkan?"

"Tugasmu hanya melayaniku. Kumpulkan seluruh wayang yang telah gugur di Padang Kurusetra itu di halaman Gedung Serbaguna!"

Tanpa sepatah kata, Ki Bancak melaksanakan perintah Ki Dalang. Memasukkan wayang-wayang ke dalam kotak. Membawanya ke halaman Gedung Serbaguna, "Tugas telah aku laksanakan, Ki."

"Ambilkan aku bensin!"

"Untuk apa?"

"Tugasmu hanya melayaniku."

"Baik, Ki." Ki Bancak meninggalkan halaman Gedung Serbaguna. Beberapa saat kemudian, Ki Bancak telah kembali dengan membawa sedrigen bensin. "Tugas telah aku laksanakan, Ki."

"Letakkan sedrigen bensin itu di samping kotak!"

"Baik, Ki."

Ki Dalang mendekati kotak kayu. Mengambil drigen berisi yang berisi bensin. Menyiramkan bensin ke kotak. Menyentikkan sebatang korek api yang telah dinyalakan. Sontak kotak itu terbakar. Asap membumbung pekat ke angkasa. Seluruh pegawai kalurahan keluar dari ruang kerjanya. Menyaksikan ulah Ki Dalang yang semakin nyeleneh.

***

BERITA tentang Ki Dalang yang membakar wayang di halaman Gedung Serbaguna Kalurahan Ngudi Budaya tersiar luas ke seluruh penjuru desa. Tidak heran, kalau malam pergelaran wayang lakon Pandawa Boyong mampu menyedot lebih banyak penonton ketimbang lakon-lakon sebelumnya. Semenjak dimulainya pergelaran wayang oleh Ki Dalang hingga adegan Aswatama yang memburu Banowati, seluruh mata penonton tertuju ke kelir.

"Dasar buaya!" Kontet mengumpat dengan lantang. "Siapakah Aswatama itu, Krik? Perilakunya menyamai jago wareng milik tetanggaku."

"Ia anak semata wayang Pendeta Durna yang lahir dari rahim Wilutama." Cakrik menghela napas panjang. "Bidadari yang pernah dikutuk Dewata menjadi kuda sembrani."

"Lantas siapakah perempuan bunting yang diburu-buru Aswatama itu?"

"Banowati. Permaisuri Doryudana yang memiliki PIL Raden Arjuna. Ia lahir dari rahim wanita setia kepada guru lakinya. Setyawati."

"Lihat Krik! Banowati berhasil digagahi Aswatama."

Cakrik meludah. Baginya, Ki Dalang telah melanggar pakem pakeliran. Tuntunan dan tatanan di dalam pertunjukan wayang yang seharusnya dijaga dengan sepenuh daya. Bukan diobrak-abrik demi kepuasan diri sendiri. Cakrik kembali meluncurkan ludahnya ke tanah.

***

SELURUH penonton cemas, manakala Aswatama dan Kartamarma yang telah melafalkan aji begananda itu berhasil melintasi penjaga gerbang keraton Astina. Di mana keluarga besar Pandawa tengah berkumpul di dalamnya. Sesudah seharian lelah melakukan perjalanan jauh dari Negeri Amarta.

Di bangsal pengapit, Aswatama berhasil menghunjamkan keris ligan ke dada Setyaki dan Udawa yang tengah pulas tertidur. Di taman kaputren, Aswatama menghabisi kisah hidup Subadra, Srikandi, Larasati, Utari, Drupadi, dan Arimbi yang tengah menjaga jabang bayi Parikesit.

Sesudah semua istri Pandawa itu tewas, Aswatama mengangkat keris ligan tinggi-tinggi. Dengan sekuat tenaga, keris itu dihunjamkan ke dada Parikesit. Darah putra Abimanyu yang diharapkan menjadi raja di Negeri Astina itu menyembur. "Mampuslah kamu, anak najis!"

Melihat adegan itu, seluruh penonton murka. Mencaci-maki Ki Dalang, "Dalang edan! Dalang gendheng. Anjing! Babi! Monyet!"

Ki Dalang tidak menghiraukan caci-maki dari seluruh penonton. Bahkan sensasi yang dilakukan Ki Dalang semakin menggila. Aswatama yang berhasil memasuki ruang peristirahatan keluarga Pandawa itu berhasil menghunjamkan kerisnya ke dada Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Sadewa, Nakula, Kresna, Jaya Sangasanga, Janurwenda, Jaya Sumpena, dan cucu Pandawa lainnya.

Sontak murka penonton yang menyerupai amuk bah itu tak dapat terbendung lagi. Mereka melemparkan batu, bungkusan plastik air kencing, dan puntung rokok berapi ke arah panggung. Ki Dalang tidak bergeming, meski seluruh wiyaga, wiraswara, sinden, dan Ki Bancak telah meninggalkan panggung itu untuk menyelamatkan diri.

Tanpa menghiraukan lemparan benda-benda yang menghujani kepala dan punggungnya, Ki Dalang mencabik-cabik tubuh Aswatama dan Kartamarma yang berebut tahta Astina. Karena belum puas, kayon yang melambangkan keraton Astina itu dicacah-cacahnya dengan parang di atas papan kayu.

Dengan tubuh berdarah yang membasahi blangkon dan surjannya, Ki Dalang berdiri di depan kelir. "Aku benci perdamaian yang merupakan awal petaka. Aku merindukan kehidupan tanpa perdamaian dan sekaligus petaka. Aku mendambakan kematian sempurna. Bukan akhir dari awal kehidupan."

Melihat ulah Ki Dalang yang tak dapat dinalar, seluruh penonton berhenti melempar batu, bungkusan plastik berisi air kencing, dan puntung rokok. Dalam diam, mereka pun tak mengerti. Ketika menyaksikan Ki Dalang yang menghunus keris itu sontak menancapkannya ke ulu hati. Tubuh Ki Dalang ambruk di antara dua kotak. Tak terbangun lagi.

 

Catatan:

Nyeleneh: aneh.

Sampeyan: andika, anda, tuan.

Jago wareng: Ayam jantan yang tak bernyali bertarung. Nyalinya hanya merayu babon (ayam betina yang telah mengalami bertelur) dan dhere (ayam betina yang belum pernah mengalami bertelur dan masih berusia muda).

Keris ligan: Keris tanpa kerangkanya.

Gendheng: Gila

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun