SELURUH penonton cemas, manakala Aswatama dan Kartamarma yang telah melafalkan aji begananda itu berhasil melintasi penjaga gerbang keraton Astina. Di mana keluarga besar Pandawa tengah berkumpul di dalamnya. Sesudah seharian lelah melakukan perjalanan jauh dari Negeri Amarta.
Di bangsal pengapit, Aswatama berhasil menghunjamkan keris ligan ke dada Setyaki dan Udawa yang tengah pulas tertidur. Di taman kaputren, Aswatama menghabisi kisah hidup Subadra, Srikandi, Larasati, Utari, Drupadi, dan Arimbi yang tengah menjaga jabang bayi Parikesit.
Sesudah semua istri Pandawa itu tewas, Aswatama mengangkat keris ligan tinggi-tinggi. Dengan sekuat tenaga, keris itu dihunjamkan ke dada Parikesit. Darah putra Abimanyu yang diharapkan menjadi raja di Negeri Astina itu menyembur. "Mampuslah kamu, anak najis!"
Melihat adegan itu, seluruh penonton murka. Mencaci-maki Ki Dalang, "Dalang edan! Dalang gendheng. Anjing! Babi! Monyet!"
Ki Dalang tidak menghiraukan caci-maki dari seluruh penonton. Bahkan sensasi yang dilakukan Ki Dalang semakin menggila. Aswatama yang berhasil memasuki ruang peristirahatan keluarga Pandawa itu berhasil menghunjamkan kerisnya ke dada Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Sadewa, Nakula, Kresna, Jaya Sangasanga, Janurwenda, Jaya Sumpena, dan cucu Pandawa lainnya.
Sontak murka penonton yang menyerupai amuk bah itu tak dapat terbendung lagi. Mereka melemparkan batu, bungkusan plastik air kencing, dan puntung rokok berapi ke arah panggung. Ki Dalang tidak bergeming, meski seluruh wiyaga, wiraswara, sinden, dan Ki Bancak telah meninggalkan panggung itu untuk menyelamatkan diri.
Tanpa menghiraukan lemparan benda-benda yang menghujani kepala dan punggungnya, Ki Dalang mencabik-cabik tubuh Aswatama dan Kartamarma yang berebut tahta Astina. Karena belum puas, kayon yang melambangkan keraton Astina itu dicacah-cacahnya dengan parang di atas papan kayu.
Dengan tubuh berdarah yang membasahi blangkon dan surjannya, Ki Dalang berdiri di depan kelir. "Aku benci perdamaian yang merupakan awal petaka. Aku merindukan kehidupan tanpa perdamaian dan sekaligus petaka. Aku mendambakan kematian sempurna. Bukan akhir dari awal kehidupan."
Melihat ulah Ki Dalang yang tak dapat dinalar, seluruh penonton berhenti melempar batu, bungkusan plastik berisi air kencing, dan puntung rokok. Dalam diam, mereka pun tak mengerti. Ketika menyaksikan Ki Dalang yang menghunus keris itu sontak menancapkannya ke ulu hati. Tubuh Ki Dalang ambruk di antara dua kotak. Tak terbangun lagi.
Â
Catatan: