Di sudut luar Pasar Gede, banyak lelaki berkerumun. Mereka bermain dadu dan rolet dengan hadiah sarung dan jarik. Mereka bersabung jago dengan taruhan segepok real. Mereka: orang-orang yang menganggap hidup sebagai arena judi.
/15/
Di samping pintu masuk utama Pasar Gede, aku menggelar dagangan rokok lintingan. Rokok dengan perekat ludah pemikat. Lebih dahsyat dari jampi-jampi dukun terhebat. Lebih manjur dari aji pengasihan yang tersurat di Primbon Betaljemur.
"Rokoknya, Mas. Rokoknya. Rokok ternikmat buatan Mbok Rara Mendut. Rokok beraroma bunga nirwana yang akan mengantarkan Anda ke negeri awang. Tempat singgah sembilan bidadari berselendang pelangi," Demikian Arumardi menawarkan dengan berbusa-busa
Serupa laron-laron yang terpikat cahaya lentera, banyak pria berdatangan mengerumuniku. Â Berebut tuk membeli tunai rokok paling puntung.Rokok isapan terakhir dari setangkup bibirku yang akan membuat mereka mabuk kepayang. Lupa anak lupa istri tersayang.
/16/
Dalam sekejap, dagangan laris manis terjual. Sebelum pasar senyap, aku pulang dengan sekantong real. Berbuncah-buncah hatiku, demikian Arumardi. Si molek dari lereng Merapi yang sedikit nakal.
Berbunga-bunga hatiku setiba di puri katumenggungan. Bukan karena keuntungan dari jualan rokok lintingan, melainkan kabar gembira dari Mawarwungu tentang pekathik muda berparas Indra. Dialah Kakang Pranacitra si belahan jiwa.
Lantaran rindu serasa batu menyumbat dada, nekad aku menemui Kakang Pranacita saat tengah malam. Menyamar sebagai lelaki serupa putra istana.
/17/
Sesudah melewati prajurit jaga yang dilengkapi senjata. Langkahku menuju gedhogan di samping kiri istana. Di mana Kakang Pranacitra bekerja sebagai perawat kuda.