/1/
Akulah anak samudra yang terlahir berkat benih matahari. Diasuh gelombang, dibesarkan badai. Terdampar di pantai dipungut sepasang nelayan sebagai buah hati dari benih mereka sendiri.
Akulah kembang desa Teluk Cikal, yang selalu menitipkan salam kesturi ke seluruh penjuru negeri Pati. Sekalipun siang-malam hanya berhelat dengan amis ikan.
/2/
"Rara Mendut." Rama-biyung menamaiku. Akulah perawan sahaja berparas Supraba. Gadis lugu berjiwa Srikandi dari Magada.Dipuja setiap perjaka perkasa. Diburu lelaki bermata jala
"Ni Gendra!" Perempuan-perempuan mencaciku. Akulah perawan seksi yang bikin nadi lelaki mendadak kencang berdenyut. Akulah gadis semolek penari lengger yang bikin geger pada setiap pria berbini.
/3/
Lantaran kejora bintang di keningku yang tak padam di malam berawan di terik siang, sebongkah karang di jiwa lelaki serasa sesobek kapas. Dalam kuasa jari-jari tanganku yang lentik dan selembut kipas berbulu merak.
Karena setangkup bibirku yang mawar tak bergincu, banyak lelaki termabuk-kepayang bak seusai menenggak ciu. Banyak perjaka bersabung nyawa atas nama cinta. Banyak pejabat Pati datang membawa harta-benda. Namun cintaku hanya seorang, Kakang Pranacitra.
/4/
Kepada Kakang Pranacitra, pemuda bersahaja yang selalu menghamparkan jiwanya, sebiru air pelabuhan di fajar hariku. Aku tambatkan perahu cinta. Aku lengkungkan ujung bukit ke dasar samudra.
"Adik Rara," ucap Kakang Pranacitra, menyelasak di tengah gedebur ombak pantai Teluk Cikal. "Apakah cintamu kepadaku sedalam Laut Jawa?"
"Tidak, Kakang!" Terdiam aku sejenak sambil mengerling bunga bakung terbuai angin. "Cintaku serupa laut yang selalu menyampaikan salam manis ke pantai lewat keriap gelombang."
Kakang Pranacitra tercenung. Sementara, aku hanya bisa tundukkan kepala dengan jiwa menggelora seperti lautan pasang. Di naungan sinar mata yang purnama, cinta kian bersemi dalam putaran yin-yang.
/5/
Hari-hari hanyalah mimpi indahku yang tak berujung rentang pendakian cinta di puncak pelaminan. Namun sebelum tarub agung digelar di pelataran, langit serasa runtuh. Manakala empatpuluh prajurit menghadapkanku dengan paksa pada Tuan Pragola: harimau Pati yang selalu dahaga darah rusa muda.
Tak lebih jahanam, keputren Pati yang dihiasi taman dengan seribu satu bunga dan kolam penuh ikan. Ketika cintaku dirampas dari rengkuhan Kakang Pranacitra. Ketika hutang budiku pada Rama-Biyung belum lunas terbayar. Hatiku tercabik-cabik, ketika Tuan Pragola memaksaku untuk menjadi guling bersarung sutranya di ranjang asmara.
Sebagai anak samudra, pantang aku menitikkan air mata. Sebagaimana Shinta yang disekap Rahwana di taman Asoka, aku menyusun siasat cerdik dengan kata-kata selicin belut yang dikaruniakan Tuhan kepada setiap Hawa. "Sebagai penguasa Pati yang bijaksana, Tuan Pragola menghendaki raga atau jiwa hamba?"
"Apa makna di balik pertanyanmu?" tanya Tuan Pragola sembari memperjelas garis-garis di keningnya. "Katakan padaku dengan bahasa lugas!"
"Bila menghendaki raga, Tuan Pragola tak akan mendapatkan jiwa. Bila menghendaki jiwa, Tuan akan menguasai raga tanpa harus menaklukkan dengan cara singa. Hanya demi sekerat daging rusa."
Sesaat Tuan Pragola mencerna kata-kataku, suasana sesenyap larut malam. Namun kesenyapan itu pecah, ketika Tuan Pragola membuka suara dari mulutnya yang bau naga. "Aku menghendaki jiwamu, Kembang Desa Teluk Cikal."
"Jika demikian, izinkan hamba untujk menenangkan diri! Dengan jiwa sehening telaga, hamba dapat belajar menerima cinta dari Tuan Pragola. Seikhlas, ruangan tamu atas sejambangan bunga."
Tuan Pragola menghela napas hingga dadanya terangkat, sebelum meninggalkan taman keputren tanpa sepatah kata. Sebelum meninggalkanku yang senasib bunga sedap malam di naung bayangan bulan retak saat terampas Kala dari balik awan. Dalam bidikan burung hantu yang bertengger di dahan pohon sawo
/6/
Malam merayap senyap tak seberisik serangga di luar. Namun jiwaku terus berkecamuk sibuk mencari jawab. Akankah melacurkan raga sebagai guling asmara Tuan Pragolas sambil menjaga cinta sebagai selimut Kakang Pranacitra? "Tidak!" Batinku bergolak bak samudra direbus seribu matahari. Aku bukan Banowati yang menghambakan raga di kaki Doryudana, namun tetap menyelingkuhkan jiwa di dada Arjuna.
/7/
Malam melata lengang hingga pagi menjelang. Pagi yang membangunkan Pati dengan dentingan pedang. Pasukan Mataram mengharu-biru di dalam benteng. Serupa segerombolan banteng terluka di bawah perintah panglima perang Wiraguna.
Kabar aku terima dari Genduk Duku dan Ni Semangka. "Ribuan prajurit rucah telah menjadi tumbal perang saudara. Jasad-jasad yang berkaparan bersimbah darah tanpa kepala. Lambung-lambung yang bedah dengan usus menjuntai keluar. Sukma-sukma yang berterbangan serupa kapas-kapas terhempas angin."
/8/
Ambang senja, aku tangkap jerit bersahutan dari keputren. Permaisuri dan seluruh selir dalam perkabungan. Bukan karena putra mahkota menjadi tumbal perang, melainkan Tuan Pragola yang tewas di tangan Wiraguna. Senapati andalan Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Tak sebagaimana permaisuri dan seluruh selir yang wajahnya bak bendera putih kematian di ujung gang. Batinku berkibar seperti panji-panji kemenangan atas kematian Tuan Pragola di palagan.
Selagi dadaku serasa longgar bernapas, terdengar keributan prajurit-prajurit Mataram yang memasuki istana untuk menjarah harta-benda. Menangakap permaisuri dan seluruh selir. Demikian pula aku, sebagai putri boyongan.
Batinku meronta dalam kegaguan suara. Hingga tak ada yang terbersit dalam benak kepala, selain dongeng ambang tidur dari rama biyungku. Tentang rusa muda yang terlepas dari mulut singa, jatuh ke mulut buaya: raja rawa paling licik dan kejam.
/9/
Layaknya serombongan pesakitan di tanduan, aku dan seluruh putri boyongan diarak sebagai simbol kemenangan. Di antara panji-panji berkibaran. Di tengah sorak-sorai orang-orang di sepanjang jalan.
Selepas Pati hingga Semarang, aku dielu-elukan sebagai putri rampasan. Dari Rawapening hingga Desa Taji, orang-orang meneriakiku sebagai daging siap saji. "Duh! Betapa brengsek cara mereka memandang wanita."
 /10/
Di balairung Mataram yang dihadiri para punggawa, aku dihadapkan pada Prabu Pandhita Hanyakrakusuma. Raja agung yang menjadi kiblat raja-raja tanah Jawa. Raja agung yang diliputi kewibawaan Brahma, kearifan Wisnu, keperkasaan Siwa.
Di naungan kekuasaan raja besar Mataram.Tak ada seucap kata tak ada seusik raga. Semuanya serupa anjing tanah yang terinjak kaki manusia. Tak ada yang menolak manakala sang brahmana-raja bersabda "Wiraguna! Jadikan Mendut sebagai bunga di puri katumenggungan!"
Dalam diam, jiwaku bergolak. Ingatanku kembali pada dongeng Rama dan Biyung
tentang rusa muda yang terlepas dari mulut singa, jatuh di mulut buaya Wiraguna, yang tersohor sebagai penakluk musuh dan hati wanita.
/11/
Di mataku, Wiraguna adalah pria sempurna yan menguasai lima perkara di dunia: Wisma, turangga, curiga, kukila, dan wanita. Lima wanita setia mendampinginya siang malam, sebagai batu asahan atas pisau hampir karatan. Puluhan gundik yang tersebar di pelosok desa, siaga sebagai tujuan wisata asmara.
Di mataku, Wiraguna terkesan sebagai pejantan perkasa. Nelayan yang mampu melintasi tujuh pulau dalam semalam hanya dengan perahu tua dan dayung seadanya. Namun, keperkasaannya tak akan dapat menaklukkan bukit karangku. Di mana puncaknya telah berkibar bendera kasih Kakang Pranacitra. Belahan jiwa yang tak akan terpisahkan dengan kemilaunya permata. Belahan hati yang tak akan terceraikan dengan ujung belati.
/12/
Betapa girang Nyai Ageng, Arimbi, dan Sengsemwulan; manakala mendengar sumpahku di hadapan Wiraguna. "Lebih baik lampus bila terjamah si bandot tua!"
Betapa riang aku menerima kebijakan Wiraguna. "Mendut! Menolak kehendak asmaraku, tak soal. Asal kau serahkan pajak harian padaku tiga real."
Betapa hidup jiwa kancilku di jebakan mulut buaya untuk membuka kisah baru sebagai penjual rokok lintingan. Tak perduli orang-orang mengecapku si lacur murahan.
/13/
Di ruang belakang puri katumenggungan dekat gedhogan yang sempit, pengap, lembab, senyap, dan berdebu. Aku dipisahkan dari istri utama dan selir-selir Wiraguna.
Hanya Arumardi, putri dari lereng Gunung Merapi yang melapangkan dadaku seluas bentang angkasa. Menghangatkan jiwaku dari belenggu musim dingin. Menopangku seperti tongkat, menunjukkan jalan seperti cahaya.
Bersama Arumardi, aku menjalani pekerjaan baru sebagai penjual rokok lintingan di pasar dekat kotapraja. Rokok kenikmatan bagi setiap lelaki kesepian.
/14/
Fajar membentangkan layar jingga kemerahan lebar-lebar dengan matahari serupa spotlightyang memendarkan cahaya. Isyarat kehidupan baru kembali untuk dimaknai dengan peluh dan terkadang air mata.
Di Pasar Gede dekat kotapraja Mataram telah seriuh-gaduh rumah lebah selepas subuh. Di mana penjual dan pembeli saling tawar untuk menggapai kesepakatan harga terendah.
Di sudut luar Pasar Gede, banyak lelaki berkerumun. Mereka bermain dadu dan rolet dengan hadiah sarung dan jarik. Mereka bersabung jago dengan taruhan segepok real. Mereka: orang-orang yang menganggap hidup sebagai arena judi.
/15/
Di samping pintu masuk utama Pasar Gede, aku menggelar dagangan rokok lintingan. Rokok dengan perekat ludah pemikat. Lebih dahsyat dari jampi-jampi dukun terhebat. Lebih manjur dari aji pengasihan yang tersurat di Primbon Betaljemur.
"Rokoknya, Mas. Rokoknya. Rokok ternikmat buatan Mbok Rara Mendut. Rokok beraroma bunga nirwana yang akan mengantarkan Anda ke negeri awang. Tempat singgah sembilan bidadari berselendang pelangi," Demikian Arumardi menawarkan dengan berbusa-busa
Serupa laron-laron yang terpikat cahaya lentera, banyak pria berdatangan mengerumuniku. Â Berebut tuk membeli tunai rokok paling puntung.Rokok isapan terakhir dari setangkup bibirku yang akan membuat mereka mabuk kepayang. Lupa anak lupa istri tersayang.
/16/
Dalam sekejap, dagangan laris manis terjual. Sebelum pasar senyap, aku pulang dengan sekantong real. Berbuncah-buncah hatiku, demikian Arumardi. Si molek dari lereng Merapi yang sedikit nakal.
Berbunga-bunga hatiku setiba di puri katumenggungan. Bukan karena keuntungan dari jualan rokok lintingan, melainkan kabar gembira dari Mawarwungu tentang pekathik muda berparas Indra. Dialah Kakang Pranacitra si belahan jiwa.
Lantaran rindu serasa batu menyumbat dada, nekad aku menemui Kakang Pranacita saat tengah malam. Menyamar sebagai lelaki serupa putra istana.
/17/
Sesudah melewati prajurit jaga yang dilengkapi senjata. Langkahku menuju gedhogan di samping kiri istana. Di mana Kakang Pranacitra bekerja sebagai perawat kuda.
"He! Siapakah gerangan?" gertak Kakang Pranacitra dari keremangan ."Langkah dan gerak-gerikmu benar-benar mencurigakan. Apa kau ingin mencuri titihan Kangjeng Sultan?"
Tak ada sepatah kata terucap dari mulutku yang membeku bukan lantaran dinginnya malam, melainkan terbelenggu oleh perasaan cinta dari lubuk jiwa.
"He! Jawab pertanyaanku!" bentak Kakang Pranacitra lantang. Apakah kau Tuan Pangeran? Atau punggawa Mataram yang belum aku kenal namanya?"
"Aku bukan Pangeran," jawabku terbata-bata. "Aku juga bukan punggawa Mataram. Aku seorang pewarta yang dilindungi tujuh dewa."
"Warta apa yang kau bawa padaku?" tanya Kakang Pranacitra."Katakan sebelum prajurit menconangi dan menjebloskanmu ke dalam kerangkeng besi yang dijaga pasukan bertaring singa."
"Datanglah esok pagi di arena sabung ayam. Di luar Pasar Gede tak jauh dari kotapraja Mataram! Di sana kau akan menemukan kembali bunga cintamu."
Bintang-bintang di angkasa mendadak tak berpijar, manakala Kakang Pranacitra menahan napas di dada. Manakala aku harus pulang ke puri katumenggungan. Dengan langkah gundah .
/18/
Pasar Gede digegerkan keributan dari arena sabung jago. Botoh-botoh berkelahi dengan taruhan nyawa. Tiga di antara mereka terkapar di tanah. Dada tertebas pedang hingga bersimbah darah.
Di tengah kebingungan tuk menyelamatkan barang dagangan. Seorang bercadar menyambarku segesit burung sikatan. Membawaku ke arah tlatah Gandu. Desa perawan yang lugu.
/19/
Jantungku serasa kehilangan detak, ketika si cadar hitam menyingkap jati dirinya. Dialah Kakang Pranacitra yang seperkasa Rama Wijaya. Sesudah membebaskan Shinta dari cengkeraman Rahwana.
Tanganku merentang di hadapan Kakang Pranacitra yang akan mendekapku tuk menumpahkan rindu. Namun sebelum menyentuh tubuhku yang terbuka, warastra
melesat menancap di punggung hingga tembus dadanya.
Darahku mendidih di depan Wiraguna. "Hutang nyawa disahur nyawa. Sebagai anak laut yang dinikahi matahari, aku akan membela cinta sampai mati."
"Redamlah api amarahmu, Mendut!" Wiraguna berlagak arif di balik kerdil jiwanya."Lebih baik pulanglah ke puri katumenggungan. Melengkapi bunga-bunga di jambangan!"
Mendengar rayu Wiraguna, kian jijik aku melihatnya. Karenanya serupa Srikandi yang muak pada wajah Dorna, aku terjang sang manggalayuda dengan warastraberdarah yang aku cabut dari jasad Kakang Pranacitra.
Serupa kera sakti, Wiraguna berkelit ke kanan ke kiri. Menghindari warastra sambil sesekali mencolek pantatku. Lantaran bertarung sambil memanjakan hasrat asmara, ujung panahku sempat mencolek jidat sang manggalayuda.
Berang bukan kepalang, Wiraguna serupa banteng terluka. Menyerang hingga menerkamku dengan keris ligan. Manakala matahari berwajah muram di pusar langit, aku terkapar di tanah dengan lambung menyemburkan darah
/20/
Ambang ajal, aku tangkap bayang-bayang sepasang merpati. Terbang ke puncak awang disambut seribu satu bidadari yang menaburkan melati sambil melafalkan pujian, "Damailah cinta yang disempurnakan oleh kematian!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H