/9/
Layaknya serombongan pesakitan di tanduan, aku dan seluruh putri boyongan diarak sebagai simbol kemenangan. Di antara panji-panji berkibaran. Di tengah sorak-sorai orang-orang di sepanjang jalan.
Selepas Pati hingga Semarang, aku dielu-elukan sebagai putri rampasan. Dari Rawapening hingga Desa Taji, orang-orang meneriakiku sebagai daging siap saji. "Duh! Betapa brengsek cara mereka memandang wanita."
 /10/
Di balairung Mataram yang dihadiri para punggawa, aku dihadapkan pada Prabu Pandhita Hanyakrakusuma. Raja agung yang menjadi kiblat raja-raja tanah Jawa. Raja agung yang diliputi kewibawaan Brahma, kearifan Wisnu, keperkasaan Siwa.
Di naungan kekuasaan raja besar Mataram.Tak ada seucap kata tak ada seusik raga. Semuanya serupa anjing tanah yang terinjak kaki manusia. Tak ada yang menolak manakala sang brahmana-raja bersabda "Wiraguna! Jadikan Mendut sebagai bunga di puri katumenggungan!"
Dalam diam, jiwaku bergolak. Ingatanku kembali pada dongeng Rama dan Biyung
tentang rusa muda yang terlepas dari mulut singa, jatuh di mulut buaya Wiraguna, yang tersohor sebagai penakluk musuh dan hati wanita.
/11/
Di mataku, Wiraguna adalah pria sempurna yan menguasai lima perkara di dunia: Wisma, turangga, curiga, kukila, dan wanita. Lima wanita setia mendampinginya siang malam, sebagai batu asahan atas pisau hampir karatan. Puluhan gundik yang tersebar di pelosok desa, siaga sebagai tujuan wisata asmara.
Di mataku, Wiraguna terkesan sebagai pejantan perkasa. Nelayan yang mampu melintasi tujuh pulau dalam semalam hanya dengan perahu tua dan dayung seadanya. Namun, keperkasaannya tak akan dapat menaklukkan bukit karangku. Di mana puncaknya telah berkibar bendera kasih Kakang Pranacitra. Belahan jiwa yang tak akan terpisahkan dengan kemilaunya permata. Belahan hati yang tak akan terceraikan dengan ujung belati.