Dalam kepala Bapak ada pertanyaan yang seringkali ia lontarkan padaku. Bermula ketika Ibu meninggalkan kami. Sejak itu Bapak suka bertanya padaku mengapa setan-setan dalam dada manusia.
Aku belum mengerti pertanyaan Bapak. Sama halnya kepergian Ibu, aku tak tahu kenapa Ibu pergi dengan lelaki lain. Bapak bilang lelaki yang menjemput Ibu adalah saudaranya yang di rantau. Bapak juga membujukku, Ibu akan pulang jika urusannya selesai.
Selang dua minggu Ibu pergi, Bapak mengantarku ke pesantren. Mulanya aku menolak untuk menetap di pesantren itu, tapi Bapak berhasil merayuku tinggal di pesantren. Aku tak tahu kenapa Bapak ingin aku tinggal di pesantren. Bapak cuma minta satu hal padaku, untuk mencari tahu kenapa setan-setan ada dalam dada manusia. Selama aku belum menemukan jawaban, Bapak tidak mengizinkan pulang dalam bentuk apapun. "Bapak tak meminta kau harus hafal Qur'an dan hebat berdalil agama, Nak. Bapak cuma ingin kamu tahu jawaban dari pertanyaan Bapak itu. Kau belajarlah dengan serius agar kau paham!" pesan Bapak sebelum kami berpisah di pagar pesantren.
Hari-hari kujalani selama di pesanten dengan tekun. Tiap hari aku mencari tahu kenapa setan-setan dalam dada manusia. Sebagian buku agama sudah aku otak-atik di perpustakaan pesantren, juga sudah kutanyakan pada para ustaz yang mengajar di pesantren itu, semua penjelasan tak membuatku puas. Aku semakin cemas apakah setan tidak suka jika aku mengetahui rahasia mengapa ia dalam dada manusia.
Lima tahun berlalu, pertanyaan Bapak juga tidak kutemukan jawaban yang tepat. Aku khawatir bila waktunya pulang ke rumah, aku tak dapat menjawab pertanyaan Bapak. Bila pun kujelaskan, belum tentu Bapak memahaminya. Lima tahun berlalu tanpa terasa. Bapak memintaku pulang melalui sepucuk surat.
Lima tahun kutinggalkan Bapak adalah waktu yang cukup lama untuk memendam rindu padanya. Terbayang wajah Bapak yang keriput. Tulang punggung Bapak bungkuk karena sering mengangkat balok di pundaknya. Juga kaki bapak yang pincang karena  tertimpa balok di tempurung lutut ketika memindahkan balok dari truk  ke dalam gudang. Itulah pekerjaan Bapak menafkahi keluarga.
Banyak yang berubah dengan keadaan rumah. Rumah yang dulu tertata rapi, halaman yang bersih, juga tanaman memenuhi pot bunga sudah tidak seperti dulu lagi. Tidak ada yang merawatnya, tidak ada yang menjaganya. Apakah Bapak membiarkan semua itu terjadi begitu saja? Jika saja Bapak tak melarangku pulang, tentu tiap liburan aku akan pulang dan membersihkan pekarangan rumah, juga merapikan rumah seperti yang dilakukan Ibu dulu sebelum pergi.
Pintu rumah terbuka sekitar sejengkal tangan bayi. Di dalam sepi, tak ada suara menyahut ucapan salamku. Tak terdengar suara Bapak yang dulu suka menyenandungkan surah Arrahman. Kubuka pintu, sebelah enselnya sudah terlepas dari kayu, berdecik cukup keras. Rumah yang dulu tertata rapi kini tampak penuh, banyak kertas-kertas berserakan di lantai, juga album foto keluarga yang kernyut.
Aku memungut kertas-kertas berserakan itu satu persatu kemudian menaruhnya di atas meja di sebelah lemari. Buku-buku agama yang  lepas sampulnya tidak tersusun di raknya. Hanya foto aku mengenakan seragam merah putih yang masih terpajang utuh di dinding tengah rumah.
Aku menuju bilik Bapak. Di atas ranjang itu tubuh Bapak kaku. Matanya terbuka. Ia terkulai. Selimut tebal melingkari tubunnya. Ia menatapku seraya mengulur senyum. Aku hampiri Bapak dan mengusap kening Bapak. "Kau sudah pulang, Nak?" sapa Bapak lembut. Aku menganguk dan mencium kening Bapak. Aku tatap wajahnya. Ada kesedihan yang terpancar dalam wajah bapak. Lima tahun lamanya Bapak sendiri.
***
Dulu aku berpikir sangat sederhana. Ibu pergi bersama saudaranya, meninggalkan aku dan Bapak. Bapak merelakan kepergian Ibu. Walau sesekali aku melihat Bapak memeluk foto Ibu ketika Bapak tidur.
Aku berpikiran kalau Ibu akan pulang dan mengobati kerinduan Bapak atau sekadar mengenakan seragam sekolah buatku di pagi hari kemudian menggandeng tanganku menuju sekolah. Setiap kali kutanyakan itu pada Bapak, Bapak mengusap kepalaku dan mengatakan hal yang sama yang berulangkali terngiang di kepalaku, "Ibu akan pulang".
Sudah sekian tahun, dan kini setelah menamatkan pendidikan di pesantren pun Ibu tak pulang. Selama di pesantren, aku pernah belajar fikih tentang munakahat. Dalam salah satu pembahasan materi pelajaran, aku mendapatkan pengetahuan bahwa, jika suami-istri memisahkan diri sekian lamanya maka mereka sudah dinyatakan cerai. Kemudian aku berpikir sadar bahwa Bapak dan Ibu telah bercerai. Orang yang sudah cerai tidak boleh serumah kecuali telah dilakukan rujuk.
Meskipun begitu, aku tak tahu sebab mengapa Bapak dan Ibu bercerai. Setahuku dulu Ibu dan Bapak terlihat akur, sering bergurau, bahkan sering bermesraan di ruang tengah rumah. Hanya saja ketika Bapak cidera tempurung lututnya, Bapak tak kuat bekerja seperti biasanya. Ibu yang menjadi tulang punggung keluarga. Ibu bekerja seharian, terkadang sampai larut malam. Bila Ibu pulang larut, ia diantar lelaki sampai halaman rumah.
Aku masih kecil untuk memahami keadaan keluargaku. Bagiku Bapak adalah lelaki terbaik yang menjagaku selama ini. Begitu juga Ibu adalah perempuan yang menyayangiku. Aku suka berpikir hal sederhana tentang hubungan orangtuaku. Aku anggap dengan diamnya Ibu sepulang kerja adalah karena Ibu capek seharian bekerja. Bapak tentu tidak akan memaksa Ibu yang letih itu. Tapi lama kelamaan sikap Ibu berubah padaku. Ibu sudah tak mengurusiku lagi. Ibu sudah mengabaikan tanggung jawabnya sebagai orangtua.
Suatu pagi di hari libur, Ibu dijemput lelaki yang biasanya mengantar Ibu pulang. Ia membunyikan klakson mobilnya. Dari dalam rumah Ibu keluar dengan menjinjing tas besar. Ibu melangkah menuju mobil tersebut dan memasukkan barang bawaan dalam jok mobil. Bapak pura-pura tak melihat Ibu. Bapak menekuni koran yang ada di atas meja. Aku berlari mengejar Ibu dan memeluknya. Hari itu Ibu mengecup keningku dan memberiku beberapa lembar uang kertas.
Ibu pergi. Tapi Bapak selalu bilang, Ibu akan kembali setelah urusannya selesai.
***
Sudah tiga hari Bapak  terbaring di ranjang. Tubuhnya kian kurus. Mata Bapak sayu, bibirnya kering. Aku mengajak Bapak untuk dirawat di rumah sakit, tapi Bapak menolak. Bapak lebih suka di rumah.
"Bapak di sini saja, Nak, Bapak akan kuat di ranjang ini."
"Tapi Bapak harus berobat. Bapak harus dirawat."
"Untuk apa Bapak dirawat, kalau di ranjang ini ada Ibumu yang merawat Bapak."
"Ibu sudah pergi Pak, ntah kapan Ibu pulang."
"Ibumu akan segera pulang. Bapak merawat kenangan dengan Ibumu di ranjang ini."
Aku gagal paham mendengar ocehan Bapak. Dan aku juga gagal untuk mengajak Bapak ke rumah sakit. Meskipun aku sudah berupaya membelikan Bapak obat ke apotek setelah diperiksa dokter.
"Nak, apakah kau sudah tahu jawaban pertanyaan Bapak waktu itu?"
Aku pura-pura tak mendengar sembari merapikan ujung seprei. Yang aku pikirkan adalah bagaimana Bapak cepat sembuh.
"Apa kau sudah menemukan jawabannya? tanya Bapak kembali.
"Sudah Pak!" jawabku datar.
"Kenapa setan dalam dada manusia?"
"Karena begitulah sunnatullah-nya Pak. Semua atas kehendak Dia. Maka terjadilah apa yang harus terjadi."
Bapak tersenyum mendengar jawabanku. Tak kusangka aku bisa mengeluarkan jawaban itu. Dulu sulit sekali aku menyimpulkan pertanyaan Bapak, tapi tiba-tiba seakan ringan saja atau karena kesal kenapa itu yang masih terpikirkan olehnya.
"Kau betul Nak. Semua adalah karena kehedak Allah. Kita hanya menerima takdir itu dan berusaha mengatasinya." balas Bapak.
"Maksud Bapak gimana? Apakah Bapak sudah tahu jawabannya sebelum kuberitahu?" tanyaku heran.
"Bapak hanya mencoba menyimpulkan kejadian demi kejadian Nak, maka itulah yang bisa Bapak simpulkan dari pertanyaan itu."
"Memangnya kenapa Bapak bertanya itu?"
Bapak diam sembari menatap langit kamar. Dua ekor cicak berrkeliaran di langit-langit kamar. Seeokar yang gemuk baru saja melahap nyamuk yang menepel di sudut loteng. Tatapan Bapak kosong. Raut mukanya kian menua dari biasanya. Bapak melamunkan sesuatu yang barangkali ada kaitannya dengan pertanyaanku tadi.
"Bapak ingin menceritakan suatu hal padammu, Wal. Sudah waktunya Bapak ceritakan ini semua. Sekarang kau sudah dewasa dan bisa berpikir dan memahami keadaan."
Aku mengangguk dan meminta Bapak cerita.
***
Waktu ibumu pergi, kau masih kecil sekali, belum tahu apa-apa. Kau belum paham keadaan dan belum mengenal masalah. Karena itulah Bapak tidak ingin kau tahu kenapa Ibu pergi dan kenapa Bapak tak melarang Ibumu pergi.
Ibu orang baik, Nak, hanya saja setan dalam dada Ibumu lebih hebat dari keyakinan dalam diri Ibumu. Setan menjadikan Ibumu mengkhianati Bapak. Begitu juga setan yang ada dalam dada lelaki yang membawa Ibumu.
Sewaktu Ibumu pergi, Bapak sempat tak terima. Setan dalam dada Bapak juga bergejolak. Berulangkali setan itu berusaha melemahkan Bapak. Hingga pernah terpikir untuk bunuh diri. Tapi Bapak dapat mengatasi hasutan setan itu.
Kemudian Bapak mengantarkanmu ke pesantren untuk menimba ilmu di sana. Di kampung ini banyak setan-setan yang akan bersarang dalam dadamu, maka Bapak tidak ingin kau terhasut oleh tipudaya setan itu.
Orang-orang di kampung ini sudah tahu kebiasaan buruk Ibumu. Mereka menggunjing ibumu dengan tuduhan yang menyakitkan telinga Bapak. Karena kian hari gunjingan itu makin deras, Ibumu memilih pergi dan kemudian Bapak mengantarkanmu ke pesantren, agar ketika kau tahu cerita itu nanti, kau dapat menguasai setan dalam dadamu sendiri.
Kebenarannya telah kusampaikan padamu, kelak jika Bapak sudah tak ada, dan Ibumu pulang, kau titipkan salam Bapak padanya. Katakan padanya, semua adalah karena setan bersarang dalam dada Ibu. Maafkan Bapak tidak dapat menjadi suami yang baik untuknya.
Air mataku meleleh. Mata Bapak terpejam. Bapak berpulang!
Ampang Kuranji, 30/3/17Â -- Terbit di Koran Singgalan April 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H