Mohon tunggu...
Acet Asrival
Acet Asrival Mohon Tunggu... Guru - Guru

www.berandaedukasi.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Perihal Orang-orang Berjubah

30 Agustus 2018   10:38 Diperbarui: 30 Agustus 2018   10:42 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salatnya lama, zikirnya panjang. Ia senang baca Kitab Risalah Kenabian. Kesehariannya banyak digunakan untuk beribadah, berbuat kebaikan, memperkuat silaturrahim dengan tetangga, kerabat dekat. Meskipun ia sering mendapat cemoohan dari orang lain. Orang-orang berasumsi ia membawa ajaran baru yang tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat. Dengan lantang orang-orang mengatakan apa yang dilakukannya adalah Bid'ah. Menurutku, itu adalah anggapan orang-orang awam, egoistis.

Amirudin hanya tersenyum. Sesekali memejamkan mata. Mukanya tampak tenang dan bersahaja. Tidak ada raut kekesalan yang terukir di wajahnya itu. Itulah Amirudin. Seorang anak muda tamatan pesantren di Jawa Timur. 

Kabarnya pesantren itu memiliki ribuan santri, dengan berbagai program belajar yang berbeda pula. Amirudin--- menurut cerita orang-orang mendalami ilmu 'Alim. Menguasai bidang ilmu keagamaan seperti Hadis, Ushul Piqih, Piqih, Kitab Kuning, Bahasa Arab, dan masih banyak lagi ilmu keagamaan yang ia pelajari di pesantren itu. Amir itu juga seorang hafizh Quran.*

Wajahnya tenang. Selain perawakannya yang tampan, Amir juga baik hatinya. Ia memiliki kesopanan yang jarang sekali dimiliki oleh kebanyakan pemuda di desa kami. Bila berbicara, ia akan melihat lawan bicaranya. Bagaimana berbicara dengan orang tua, teman sebaya, dan anak-anak. Begitu juga dengan masyarakat awam dan berpendidikan. Semua orang tahu kalaulah Amir adalah anak yang pintar dan saleh.

Orang-orang banyak bertanya masalah agama padanya. Banyak anak-anak yang diantarkan orang tuanya ke tempat pengajian Ustaz Amir---panggilan Amirudin saat ini- juga tak jarang orang tua berbondong-bondong mendengarkan ceramahnya di mesjid tempat ia bermuhala.

Amir akan hadir di tengah-tengah masyarakat dengan suka rela. Ia tidak mengharapkan imbalan. Dengan ikhlas ia akan membantu setiap orang yang ia rasa pantas untuk ditolong. Begitu juga dengan pengajaran yang ia berikan. Dengan ketulusan menyampaikan ilmu yang ia miliki itu tanpa meminta pungutan biaya sebagai dalih telah memberikan ilmu pada orang-orang. 

Seperti saat sekarang, orang berilmu akan mengharapkan imbalan yang besar. Ustaz zaman now senang sekali bila dapat undangan untuk mengisi pengajian sana-sini dengan harapan ada amplop yang terselip ketika selesai memberikan ceramahan kepada masyarakat. Bahkan guru-guru sekarang tidak lagi mengamalkan semboyan guru pahlawan tanpa tanda jasa. Bila mengajar sering lalai dan ingin cepat selesai. Dan bila gaji tidak dinaikkan, ada juga yang mengajukan komplen.

Amir tidak seperti itu. Ia benar-benar tulus ingin membagikan ilmunya kepada orang-orang. Aku pernah mengujinya untuk datang ke rumahku sekitar pukul 9 malam untuk mengajariku memperbaiki bacaan Quran. Ia datang tepat pukul sembilan tidak terlalaikan barang semenit pun. Aku sangat salut padanya. Ketika ia hendak pulang, aku memberikan beberapa lembaran uang puluhan ribu sebagai balas kesediaannya telah rela meluangkan waktu istirahatnya demi mengajariku baca Quran. Tetapi Amir menolak dengan halus, dan tersenyum ia menjabat tanganku lalu pergi meninggalkan rumah kediamaanku.

Orang-orang sangat senang bergaul dengannya. Bahkan sangat menghargai keberadaanya di desa kami. Bila ada wirid pengajian ibu-ibu ia selalu diminta untuk memberikan pencerahan melalui tausyiah yang disampaikannya. Bila ada duduk ninik-mamak ketika membahas masalah adat dan keagamaan, ia selalu diminta untuk berpendapat. Bahkan tahun ini ia akan dinobatkan sebagai kepala desa di desa kami. Tetapi ia menolak. "Untuk menjabat sebagai kepala desa, saya belum siap dan belum berpengalaman. Tetapi saya siap membantu bila dibutuhkan," terang Amirudin suatu ketika.

Hingga suatu hari, desa kami digemparkan oleh sesuatu peristiwa. Desa kami kedatangan sekelompok orang yang cara berpakaiannya sama dengan Amirudin. Mereka mengenakan jubah, berpeci, bahkan ada yang memakai serban di kepalanya. Itu juga sering dipakai Amir ketika memberikan ceramah kepada kami. Mereka berjumlah tidak genap sepuluh orang. Kalau tidak salah, sekitar tujuh orang. Mulanya mereka mendatangi rumah Amir dan setelah itu mereka langsung menuju mesjid di desa kami. Yang lebih mengherankan, mereka meminta izin melalui Amir untuk menetap di desa kami beberapa hari.

Penduduk desa kami gempar dengan peristiwa langka itu. Warga desa berdatangan ke tempat kediaman Amir. Mereka bertanya kepadanya tentang maksud dan tujuan orang-orang itu singgah dan menetap di desa kami. Hari itu rumah Amir dikelilingi warga desa. Amir diintrogasi habis-habisan. Aku juga ikut menyaksikan introgasi itu.

Seorang pak tua bersuara lantang sambil menunjuk amir dengan telunjuk kanannya.

"Ustaz! Siapa mereka itu, dan apa keperluannya datang ke desa ini?" ujar pak tua dengan suara keras.

"Mereka kawan-kawanku dari pesantren dulu Pak Sam," jawab Amirudin.

"Apa maksud kedatangan mereka ke sini? Bahkan menginap di mesjid kita ini. Bukankah mesjid adalah tempat beribadah, bukan tempat tidur umum!" sela Mak Sutan tak kalah keras.

"Tenanglah Mak Sutan dulu, biar aku jelaskan duduk perkara ini." Amirudin berusaha meredakan emosi warga. "begini. Mereka datang ke desa ini untuk berdakwah, bukan untuk pergi bermain. Mereka ingin memberi pencerahan dan berbagi ilmu kepada kita. Mereka adalah tamatan pesantren, dan di antaranya ada yang memiliki ilmu pengetahuan yang luas. Mereka akan memberikan pencerahan kepada kita semua." Amirudin menundukkan kepala, diiringi mulutnya yang bergerak. Barangkali berdoa.

Aku menatap lekat ke arahnya. Wajah tenang Amirudin tidak mengundang pernyataan dan prasangka dalam hatiku. Aku merasakan kejujuran Amirudin. Bahwa apa yang disampaikannya itu adalah benar. Akan tetapi warga di desa ini tidak langsung bisa memahami perihal ini. Mereka dengan silih berganti menghujam pertanyaan padanya untuk menjelaskan lebih jelasnya lagi tentang tujuan mereka datang ke desa ini. Amirudin  dengan sedikit gugup menjawab pertanyaan mereka.

"Ustaz. Kau tahu tidak, banyak orang seperti itu yang menyamar. Bahwa sebenarnya mereka adalah teroris. Kau 'kan tahu, teroris itu pakaiannya macam tu. Di balik jubahnya itu terdapat ikatan bom yang kapan saja bisa ia ledakkan." Mak Sutan bersikeras dengan sikapnya.

"Astaghfirullah. Mak Sutan, istighfar. Ndak bole berpikiran seperti itu, apalagi kepada orang yang berilmu. Dalam agama kita orang yang berilmu tu ditinggikan derajatnya, bukan untuk dihina. Mereka cuma menumpang di desa kita ini, untuk berdakwah, menyampaikan kebaikan, mencegah terjadinya perbuatan dosa. Bila terjadi sesuatu yang membuat warga dirugikan, saya nanti yang bertanggung jawab."

Mak Sutan pergi meninggalkan halaman rumah Amirudin. Begitu juga dengan warga yang menyaksikan peristiwa itu. Hanya aku yang masih berdiri di sebelah kanan rumah Amirudin. Mak Sutan yang kutahu memang tak senang dengan kepulangan Amir ke desa ini. Dulu orang bertanya masalah agama pada Mak Sutan. Karena Mak Sutan-lah yang dianggap mumpuni dalam ilmu agama. Mak Sutan dulu juga pernah belajar ilmu agama di pondok pesantren di Padangpanjang. Itulah yang membuat Mak Sutan iri dengan Amir. Semenjak Amir ada, Mak Sutan kehilangan murid-murid yang belajar mengaji di rumahnya.

"Ustaz Amir!" sapaku pelan padanya. Ia menatapku.

"Ya Pak Namar. Ada apa?" ujarnya.

"Ndak ada apa-apa ustaz, cuma ingin bertanya saja."

"Tentang apa Pak? Apa mengenai orang-orang di mesjid itu?" jawab Amir kurang semangat.

"Aku cuma heran saja. Kenapa mereka memilih desa kita ini untuk berdakwah. Bukankah desa kita ini sudah banyak yang salat ke mesjid, juga pengajian banyak yang kita buat. Apalagi semenjak ustaz pulang dari belajar agama. Rasanya kelakuan warga desa kita baik-baik saja." aku berusaha tenang dengan pernyataan yang kulontarkan padanya.

"Betul yang Pak Namar katakan. Hanya saja mereka ingin bersilaturrahim di desa kita ini. Kan mereka teman-teman saya sewaktu di pesantren dulu."

"Ooo, gitu ya Ustaz! Baiklah. Aku pamit dulu Ustaz. Assalamu'alaikum!" Seraya mengulurkan tanganku padanya. Ia tersenyum dan menjabat tanganku.

"Waalaikumsalam warahmatullah."

***

Perihal orang-orang berjubah-surban itu datang ke desa kami, menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Ada yang tidak setuju dengan kehadiran mereka, ada yang melarang keras, ada yang mendiamkan saja, dan ada juga yang membela mereka. Sedangkan aku. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Bila orang-orang meminta pendapat dariku-selaku Kepala Jorong di desa ini, aku akan menjawab seperti apa penilaian si penanya. Jika orang yang bertanya menyukai, maka aku akan menyukai. Dan bila yang bertanya memaki-maki maka aku akan diam dan mengangguk kepala saja.

Secara emosional, aku tidak menjadikan kedatangan mereka itu sebagai bala ataupun membawa masalah di desa kami. Tetapi selaku Kepala Jorong yang bersikap bijaksana, aku tidak menampakkan tanda setuju terhadap kedatangan mereka. Tentunya aku juga harus memikirkan masalah yang akan datang kemudian hari.

Toh mereka juga sudah pergi dari desa ini. Mereka cuma menginap beberapa hari di desa ini. Setelah mereka pergi, orang-orang sering membincangkan mengenai 'jamaah'-seperti yang dikatakan Amir, mereka itu adalah jamaah dakwah. Datang dari jauh-jauh untuk mengajak orang kembali kejalan-Nya

Bulan berikutnya, datang lagi sekolompok jamaah, jumlahnya lebih banyak dari yang datang waktu itu. Orang-orangnya juga berbeda, hanya ada satu dan dua orang saja yang aku kenal dan aku rasa pernah datang ke desa ini sebelumnya.

Mereka disambut Amir di halaman rumahnya. Dengan saling rangkul, Amir kembali mengajak mereka menuju mesjid. Tetapi sebelum sampai di mesjid, sebagian warga sudah berkumpul di halaman mesjid. Mereka tidak suka dengan kedatangan para jemaah itu. Aku menyimak di balik punggung warga.

"Ada apa ini Mak Sutan? Kenapa semua berkumpul di halaman mesjid ini?" tanya Amir pada Mak Sutan selaku pemimpin aksi itu.

"Sudahlah Amir. Kau tak usah belagu. Kau 'kan tahu kami tidak senang dengan kedatangan mereka. Kenapa masih saja kau ajak mereka ke desa ini." terang Mak Sutan dengan nada tinggi.

"Memangnya kenapa Mak Sutan? Apa ada yang salah dengan kedatangan mereka ini? Kan saya sudah bilang kalau mereka datang ke sini untuk berdakwah. Mengajak kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran?"

"Ooo.. Jadi kau pikir desa kita ini tidak ada orang yang berbuat baik, atau di desa kita ini banyak orang yang berbuat kejahatan? Kau salah, sebelum kau kembali dari pesantren, desa ini sudah aman, dan kami sudah banyak berbuat kebajikan."

"Bukan begitu maksud saya. Mereka hanya ingin bersilaturrahim."

"Alah.. Itu lagi alasanmu. Silaturrahim. Silaturrahim. Apakah desa kita ini sudah tidak ada lagi yang menyambung tali kekerabatan dan persaudaraan. Apakah desa kita ini saling bermusuhan? Kau terlalu muda untuk mengenal desa ini. Sedari kecil kau merantau untuk menuntut ilmu. Sedangkan kami, kami sangat tahu dengan kondisi di desa ini."

"Mak Sutan mengertilah!"

"Apa pula yang harus kumengerti? Apakah kami akan membiarkan orang-orang ini menetap dan berkembang di desa ini? Cukuplah kau di desa ini yang seperti mereka. Kami tidak perlu  dan tidak ada urusan dengan mereka."

"Tapi Mak Sutan, kumohon izinkanlah mereka disini, sehari ini saja." Amir menunduk tanpa memandang Mak Sutan.

"Ingat hanya sehari ini saja. Bila esok hari mereka tidak juga beranjak dari desa ini, kami terpaksa mengusir mereka dengan kasar." Mak Sutan mengancam Amir.

Amir diam menundukkan kepala. Jamaah itu barangkali tidak mengerti dengan bahasa kami, tetapi mereka akan paham dengan intonasi dan mimik muka Mak Sutan yang tidak setuju. Sedangkan aku, aku hanya memandang ke arah jamaah itu. Mereka semuanya terlihat tenang, dengan wajah tersenyum. Lalu kami pergi meninggalkan mereka yang termangu di halaman mesjid. Masjid kembali sepi. 

Hanya kalimat takbir yang diteriakan Amiruddin di tengah kegoncangan batin yang dialaminya. Aku menghampiri dan merangkulnya. Kubisikkan sesuatu di telinganya. "Sabarlah Ustaz! Semua akan berlalu. Ini hanyalah persoalan keyakinan. Dan yakinlah jika kalian di jalan yang benar, kebenaran itu akan membantu keselamatan dan perjuangan dakwah kalian." Aku melepas rangkulan itu dan menyongsong warga agar keyakinanku tidak dianggap berbeda dari mereka.

Akura- 2015

Mengenang suatu peristiwa di desa saya Akura

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun