Mereka disambut Amir di halaman rumahnya. Dengan saling rangkul, Amir kembali mengajak mereka menuju mesjid. Tetapi sebelum sampai di mesjid, sebagian warga sudah berkumpul di halaman mesjid. Mereka tidak suka dengan kedatangan para jemaah itu. Aku menyimak di balik punggung warga.
"Ada apa ini Mak Sutan? Kenapa semua berkumpul di halaman mesjid ini?" tanya Amir pada Mak Sutan selaku pemimpin aksi itu.
"Sudahlah Amir. Kau tak usah belagu. Kau 'kan tahu kami tidak senang dengan kedatangan mereka. Kenapa masih saja kau ajak mereka ke desa ini." terang Mak Sutan dengan nada tinggi.
"Memangnya kenapa Mak Sutan? Apa ada yang salah dengan kedatangan mereka ini? Kan saya sudah bilang kalau mereka datang ke sini untuk berdakwah. Mengajak kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran?"
"Ooo.. Jadi kau pikir desa kita ini tidak ada orang yang berbuat baik, atau di desa kita ini banyak orang yang berbuat kejahatan? Kau salah, sebelum kau kembali dari pesantren, desa ini sudah aman, dan kami sudah banyak berbuat kebajikan."
"Bukan begitu maksud saya. Mereka hanya ingin bersilaturrahim."
"Alah.. Itu lagi alasanmu. Silaturrahim. Silaturrahim. Apakah desa kita ini sudah tidak ada lagi yang menyambung tali kekerabatan dan persaudaraan. Apakah desa kita ini saling bermusuhan? Kau terlalu muda untuk mengenal desa ini. Sedari kecil kau merantau untuk menuntut ilmu. Sedangkan kami, kami sangat tahu dengan kondisi di desa ini."
"Mak Sutan mengertilah!"
"Apa pula yang harus kumengerti? Apakah kami akan membiarkan orang-orang ini menetap dan berkembang di desa ini? Cukuplah kau di desa ini yang seperti mereka. Kami tidak perlu  dan tidak ada urusan dengan mereka."
"Tapi Mak Sutan, kumohon izinkanlah mereka disini, sehari ini saja." Amir menunduk tanpa memandang Mak Sutan.
"Ingat hanya sehari ini saja. Bila esok hari mereka tidak juga beranjak dari desa ini, kami terpaksa mengusir mereka dengan kasar." Mak Sutan mengancam Amir.