Seorang pak tua bersuara lantang sambil menunjuk amir dengan telunjuk kanannya.
"Ustaz! Siapa mereka itu, dan apa keperluannya datang ke desa ini?" ujar pak tua dengan suara keras.
"Mereka kawan-kawanku dari pesantren dulu Pak Sam," jawab Amirudin.
"Apa maksud kedatangan mereka ke sini? Bahkan menginap di mesjid kita ini. Bukankah mesjid adalah tempat beribadah, bukan tempat tidur umum!" sela Mak Sutan tak kalah keras.
"Tenanglah Mak Sutan dulu, biar aku jelaskan duduk perkara ini." Amirudin berusaha meredakan emosi warga. "begini. Mereka datang ke desa ini untuk berdakwah, bukan untuk pergi bermain. Mereka ingin memberi pencerahan dan berbagi ilmu kepada kita. Mereka adalah tamatan pesantren, dan di antaranya ada yang memiliki ilmu pengetahuan yang luas. Mereka akan memberikan pencerahan kepada kita semua." Amirudin menundukkan kepala, diiringi mulutnya yang bergerak. Barangkali berdoa.
Aku menatap lekat ke arahnya. Wajah tenang Amirudin tidak mengundang pernyataan dan prasangka dalam hatiku. Aku merasakan kejujuran Amirudin. Bahwa apa yang disampaikannya itu adalah benar. Akan tetapi warga di desa ini tidak langsung bisa memahami perihal ini. Mereka dengan silih berganti menghujam pertanyaan padanya untuk menjelaskan lebih jelasnya lagi tentang tujuan mereka datang ke desa ini. Amirudin  dengan sedikit gugup menjawab pertanyaan mereka.
"Ustaz. Kau tahu tidak, banyak orang seperti itu yang menyamar. Bahwa sebenarnya mereka adalah teroris. Kau 'kan tahu, teroris itu pakaiannya macam tu. Di balik jubahnya itu terdapat ikatan bom yang kapan saja bisa ia ledakkan." Mak Sutan bersikeras dengan sikapnya.
"Astaghfirullah. Mak Sutan, istighfar. Ndak bole berpikiran seperti itu, apalagi kepada orang yang berilmu. Dalam agama kita orang yang berilmu tu ditinggikan derajatnya, bukan untuk dihina. Mereka cuma menumpang di desa kita ini, untuk berdakwah, menyampaikan kebaikan, mencegah terjadinya perbuatan dosa. Bila terjadi sesuatu yang membuat warga dirugikan, saya nanti yang bertanggung jawab."
Mak Sutan pergi meninggalkan halaman rumah Amirudin. Begitu juga dengan warga yang menyaksikan peristiwa itu. Hanya aku yang masih berdiri di sebelah kanan rumah Amirudin. Mak Sutan yang kutahu memang tak senang dengan kepulangan Amir ke desa ini. Dulu orang bertanya masalah agama pada Mak Sutan. Karena Mak Sutan-lah yang dianggap mumpuni dalam ilmu agama. Mak Sutan dulu juga pernah belajar ilmu agama di pondok pesantren di Padangpanjang. Itulah yang membuat Mak Sutan iri dengan Amir. Semenjak Amir ada, Mak Sutan kehilangan murid-murid yang belajar mengaji di rumahnya.
"Ustaz Amir!" sapaku pelan padanya. Ia menatapku.
"Ya Pak Namar. Ada apa?" ujarnya.