Mohon tunggu...
Cak Bangau
Cak Bangau Mohon Tunggu... Guru - Pencinta

lelaki yang datang dari masa lalu. Melamun dan menulis adalah kemauannya. Bisa mengunjungi blog nya di : http://cakbangau.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kunang-kunang yang Tidak Lagi Bercahaya

4 September 2023   12:53 Diperbarui: 7 September 2023   12:58 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sabtu malam di Juni yang hangat. Bau aroma laut tercium di hidung. Suara debur ombak yang kadang pelan dan kadang kencang juga menghiasi telinga. Dan desir angin yang pelan-pelan mengusap pori-pori manusia di tempat itu tidak mau ketinggalan untuk ikut campur dalam hiruk pikuk puluhan manusia.

            Orang-orang menamakan tempat itu dengan sebutan bukit Mati, entah mengapa orang-orang menamakan tempat itu demikian. Namun konon, di tempat itu dulu sekali adalah tempat dimana orang-orang mengakhiri hidupnya karena lelah dengan kehidupan dunia. Tempatnya cukup tinggi dari lautan yang percis berada dihadapan bukit itu, namun cukup rendah dari gunung-gunung yang menjulang tinggi ditempat itu. Ada pohon randu, ada pohon Cemara, ada Pohon-pohon jati, ada juga pohon-pohon mati yang belum genap satu minggu di babad habis oleh orang-orang hidup. 

Saat musim kemarau, tempat itu akan menjadi ramai oleh orang-orang yang ingin menyaksikan tenggelamnya matahari, atau sekedar menikmati gemerlap bintang yang menghiasi langit. Atau jika waktunya pas, kita bisa menyaksikan ratusan kunang-kunang yang terbang berwarna kuning kehijau-hijauan, atau hijau ke kuning-kuningan dimalam hari. Konon, itu adalah jelmaan dari kuku-kuku orang mati di tempat itu. 

Meski begitu, orang-orang banyak mengunjungi tempat itu. Tidak ada rasa takut akan gossip-gosip tentang hantu gentayangan orang-orang mati di tempat itu. Seperti malam itu, beberapa pasang manusia baik pasangan kekasih atau pasangan suami istri memadati tempat itu. Setelah tadi sore menyaksikan upacara perpisahan matahari dengan bumi, mereka tidak lantas pulang. Meski beberapa pasang memilih untuk pulang namun tidak semuanya melakukan hal yang sama. Mereka akan terus menyaksikan pertunjukan bulan atau gemerlap cahaya bintang. Ada juga yang berniat untuk menyaksikan ratusan kunang-kunang yang berterbangan.

            Apa yang dilakukan orang-orang pun dilakukan oleh Sukar. Ia tergesa-gesa menaiki tangga yang disediakan pengelola untuk sampai di bukit itu. Tidak seperti kebanyakan orang. Sukar datang sendirian ke tempat itu. Banyak mata tertuju pada Sukar yang datang sendirian. 

Mesik tidak semua melakukan hal yang sama. Bagi Sukar, itu bukan sebuah maslah yang menjadi masalah adalah ia takut terlambat untuk datang menyaksikan kunang-kunang yang terbang. Beruntung, pertunjukan belum dimulai. Sukar mengambil nafas lega. Ia segera menuju tempat yang lebih tinggi. Menjauhi tatapan beberapa pasang manusia yang mengaggapnya aneh, atau menjauhi beberapa bunyi cekrek  kamera yang digunakan untuk mengabadikan kegiatan mereka. Sukar sampai ditempat yang paling sering dia kunjungi. Dibawah pohon Randu dengan ilalang-ilalang yang cukup tinggi yang sebagian nya sudah ditumbuhi bunga-bunga berbulu berwarna putih.

            Orang-orang memanggilnya Sukar. Tapi, entah siapa nama aslinya.  Dia adalah penduduk baru di tempat itu. Dia datang ketempat itu sejak umur belasan tahun. Tidak ada yang tahu persis darimana asalnya, namun beberapa orang pernah bercerita kalau Sukar adalah anak buangan dari kampung sebelah yang ibunya mati tertusuk oleh pisau tajam saat pulang kerja diwaktu malam menjelang subuh. Ada yang bilang, ayahnya adalah seorang pensiunan Tentara yang mati di racun oleh istri pertamanya. 

Ada juga yang bilang bahwa ayahnya adalah supir truk gandeng yang selalu datang kerumah ibunya. Dan ada sebagian orang yang berkata bahwa Sukar adalah anak dari majikan ibunya waktu ibunya bekerja sebagai asisten rumah tangga. Siapapun ayahnya, Sukar tidak terlalu memperdulikan itu. Jikapun dia tidak memiliki ayah sama sekali, itu bukan sebuah masalah.

            Sudah setengah jam Sukar duduk di tempat itu. Pertunjukan kunang-kunang masih juga belum dimulai. Sebenarnya selain dia menunggu pertunjukan kunang-kunang, ia juga menunggu kekasihnya yang sudah berjanji akan datang ke tempat itu untuk melihat kunang-kunang. Namun Sukar bisa memaklumi jika dia terlambat, dia tahu kekasihnya pasti bekerja lembur hari itu. Malam minggu memang banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Pukul Sepuluh lebih dua puluh menit. Akhirnya Kekasihnya datang. Tepat dengan pertunjukan Kunang-kunang yang baru saja dimulai. Dua hal yang ditunggu-tunggu oleh Sukar akhirnya tiba.

Aroma parfum wanita semerbak menusuk-nusuk hidung Sukar. Bercampur keringat yang menghiasi pelipis dan pipi kekasihnya. "Sudah lama menunggu?" Kekasihnya bertanya disamping Sukar.

"Tidak ada waktu yang cukup lama untuk membuatku menunggu kamu." Ucap Sukar disambut senyum kekasihnya yang merebahkan kepalanya di pundak Sukar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun