Mohon tunggu...
Acep budi
Acep budi Mohon Tunggu... Buruh - Mahasiswa Unpam

Calon Orang Sukses

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Sistem Politik dan Pemerintahan Indonesia Setelah Reformasi

7 September 2024   20:37 Diperbarui: 7 September 2024   20:38 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pendahuluan 

Berbicara mengenai Sistem Politik dan dijaman ini pemerintahan Indonesia yaitu setelah adanya reformasi tahun 1998, sesungguhnya merupakan kelanjutan pencarian format atau model sistem politik ideal Indonesia. Model atau format sistem politik ideal seperti apa yang sesungguhnya diinginkan ? Yang utama yaitu model maupun format bisa dijadikan jaminan adanya system politik demokratis.

 Menurut pendapat para ilmuwan politik di mana setiap orang atau kelompok memiliki kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam proses politik, mengambil bagian dalam merumuskan kebijakan publik, dan berperan serta dalam memilih pejabat-pejabat publik (baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, Kedua adalah model atau format politik yang demokratis tersebut memiliki stabilitas jangka panjang. 

Stabilitas yang dibutuhkan di sini berdurasi lama untuk menjaga agar pencapaianpencapaian di segala aspek dapat dipertahankan serta tidak setiap saat mengalami pasang surut jika terjadi perubahan -perubahan politik. Ketiga, sistem yang demokratis dan stabil dalam jangka panjang itu idealnya membuat kehidupan ekonomi mengalami kemajuan atau berkembang secara baik. Hal yang kontradiktif. Seperti yang dialami banyaknya negara menunjukkan bahwa demokrasi tidak selalu compatible dengan kemajuan ekonomi. Sejarah politik kita menunjukkan bahwa perubahan-perubahan politik dimasa lampau yang sangat besar bisa menegaskan bahwa ketiga hal tersebut tidak dapat dicapai sekaligus atau berjalan seiring.


Metode 

Tentu dari macam-macam definisi
mengenai politik itu mengandung konotasi kebijakan, kekuasaan, negara, konflik, pembagian, dan keadilan. Sedang pendefinisian dilihat dari aspek ciri hakikinya : metode pembahasanya, aspek kemungkinan yang ada dan secara ilmiah dapat dipertanggugjawabkan. melihat definisi politik dari dua aspek yaitu: dari struktur dan kelembagaan, politik dapat diartikan sebagai berikut: (1) segala sesuatu yangada relasinya dengan pemerintahan (peraturan, tindakan pemerintah, undang undang, hukum, kebijakan (policy), beleid dan lain-lain; (2) pengaturan dan penguasaan oleh negara; (3) cara memerintah suatu toritorium tertentu; (4) organisasi,. Ilmu Negara juga memiliki aliran dan metode dalam kajiannya. Aliran dan metode Ilmu Negara digunakan untuk menyelidiki atau mencari kebenaran dari hasil penyelidikan tentang objek Ilmu Negara, yaitu Negara.


Hasil dan Pembahasan 

Pelajaran Dari Politik Yang Hiruk pikuk Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, segera saja negara yang masih baru inimengalami berbagai hal : pergolakan politik, kerusuhan-kerusuhan, kesulitan ekonomi, agresi dari Belanda dan pemerintahan yang melemah, Tekanan internal dan eksternal selama kurang lebih 4 (empat) tahun membuat pemerintah Republik Indonesia dapat dikatakan tidak berdaya untuk membenahi semua aspek kehidupan masyarakat. Hingga tercapainya Konferensi Meja Bundar di Negara Belanda tepatnya di Den Haag, pada 24 Agustus 1949. Draf akhir konferensi itu menyatakan bahwa Indonesia harus menanggung beban utang sebanyak 5,6 M gulden Hindia-Belanda. serta menambahkan kata serikat pada namanya menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). 

Negara hasil KMB ini yang memiliki banyak keterbatasan dan ketergantungan pada Kerajaan Belanda, tanggal satu per satu dan akhirnya pada 16 Agustus 1950 Presiden Ir. Soekarno mengatakan dirubahnya Republik Indonesia serikat sama halnya mengatakan Indonesia akan menjadi negara kesatuan dengan UUDS tahun 1950 ditetapkannya bentuk pemerintahan berdasarkan Demokrasi sejak itu pemerintah silih berganti, Perdana Mentri ada yang datang juga pergi. 

Sampai 7 kabinet mengalami perubahan selama kurun waktu tahun 1950 sampai 1959. Pergantian kabinet pada jangka waktu pendek ini akibat dari kondisi perpolitikan yang hiruk pikuk. Parlemen setelah pemilu pertama tahun 1955, diisi oleh beberapa partai politik yang memiliki ideology yang berbeda agar berbagai macam perubahan konstelasi koalisi pada parlemen cepat mengakhiri legitimasi kabinet sampai seterusnya. Tingkah polah partai yang membuat kabinet tidak berdaya tersebut sama-sama tidak disukai oleh 3 pihak seperti Militer, Soekarno dan Hatta. 

Pada pidato perpisahannya, sebagai wapres Hatta mengecam perilaku partai-partai yang didasarkan atas kepentingan pribadi dan kelompok yang sempit. Soekarno malah punya gagasan untuk membubarkan saja partai-partai politik itu dan menggantinya pada golongan fungsional. Berkaitan dengan militer, Ulf Sundhausen mengemukakan pendapat bahwa kesalahan para politikus sipil saat mengelola negaralah yang membuat militer keluar dari barak dan masuk arena politik. Sarjana lain yang berpendapat serupa adalah Harold Crouch yang menyatakan bahwa salah satu faktor penting penyebab militer turun ke politik yaitu tidak mampunya otoritas sipil dalam memerintah yang efektif, Harold Crouch, 1985, hal 294 dari 14.
Pelajaran Dari Politik Yang Bungkam
Stigma negatif demokrasi parlementer menjadikan penguasa rezim Orde Baru berusaha mengendalikan atau dalam bahasa politik melakukan kooptasi pada banyaknya kekuatan politik maupun partai-partai politik. Setelah Masyumi, PSI dan Murba dibubarkan pada masa tahun 1959-1964, giliran PKI dibubarkan pada tahun 1965, praktis kericuhan politik yang diwarnai oleh perbedaan tajam ideologi mengalami penurunan. ABRI sebagai kekuatan utama saat itu disokong oleh birokrasi menjadi pilar rezim baru tersebut. 

Melalui Golongan Karya (Golkar), sebuah wadah politik untuk menghimpun di masa lalu, sehingga muncul slogan saat itu "ekonomi adalah panglima" menggantikan slogan lama "politik adalah panglima". Kebijakan politik domestik adalah tercapainya efektivitas dan stabilitas pemerintahan, kebijakan ekonomi merupakan suatau pertumbuhan ekonomi kemudian pemerataan hasil-hasil pembangunan. 

Keikutsertaan militer dalam Hankam dan kemudian juga dalam bidang lain seperti sosial politik dilandasi oleh pemikiran bahwa ABRI adalah juga bagian integral bangsa Indonesia, oleh karena itu ABRI mempunyai hak untuk ikut serta dalam proses politik apabila eksistensi negara dan bangsa terancam. Konsep ini yang menjadi pedoman dari pimpinan ABRI yaitu Jenderal A.H. Nasution atau Jenderal Soeharto sebagai hasil dari Seminar Angkatan Darat II tahun 1966.

Namun terdapat perbedaan kelompok-kelompok fungsional, maka ABRI dan Birokrasi "mengendalikan" kehidupan politik. Tahun 1971 pada saat diadakan Pemilu kedua, Golkar meraup 63% suara dari total 100% suara sah. Program-program Perbaikan dan Pembangunan Ekonomi diluncurkan, Pemerintah juga mengundang investasi dan bantuan asing, suatu hal yang tidak terjadi mendasar antara keduanya. Nasution berpendapat ABRI turun tangan hanya bila eksistensi negara dan bangsa terancam, apabila kondisi eksistensi tidak mengalami ancaman maka ABRI atau militer secara bertahap harus kembali ke barak. 

Soeharto melalui para perwira think tanknya seperti Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani berpendapat bahwa ABRI harus tetap di luar barak, karena ABRI dibutuhkan untuk menjadi pelopor utama untuk pembangunan dalam mengejar tertinggalnya Indonesia terhadapa negara-negara maju (R.Eep Saefulloh Fatah, 1993 hal 131). Kendali kekuasaan yang besar ini menjadi semakin besar dan hampir -hampir absolute ketika tidak ada lagi partai politik atau kekuatan-kekuatan politik lain yang dapat melakukan checks and balances. 

Fungsi partai-partai politik pada akhir dekade 1970-an diikuti oleh pemilu yang penuh rekayasa dan intimidasi, sesungguhnya telah mematikan kehidupan demokrasi. Tetapi di lain sisi kekuasaan presiden (yang terus menerus terpilih) menjadi demikian besar dan sangat efektif. Pola hubungan kekuasaan antara Presiden dan DPR (parlemen) tidak seimbang, sangat berat ke arah presiden (executive heavy).Saat itu tidak ada realisasi hak angket atau interpelasi yang dilakukan oleh DPR. Dalam menjalankan fungsi alih-alih ketika melakukan fungsi pengawasan Presiden, DPR malah beralih menjadi ahli stempel untuk berbagai kebijakan politik top executive. Sebagaimana premis yang dikemukakan oleh Lord Acton bahwa kekuasaan yang absolute pasti disalahgunakan. Penyalahgunaan kekuasaan abuse of power selain menggerogoti sendi-sendi good governance juga mengikis sendi-sendi perekonomian, dimana korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela. Begitu pula ekonomi yang berdasarkan pada rent seeking, ikut mendorong percepatan kemunduran ekonomi nasional. 

Sinyalemen banyak ahli ekonomi politik yang menyatakan bahwa booming ekonomi Indonesia padadekade 1980-an tidak menumbuhkan pelaku-pelaku ekonomi pendorong kapitalisme seperti di negara asalnya, tetapi hanya menghasilkan kapitalisme semu/ersatz capitalism terbukti kemudian dengan ambruknya konglomerasi secara cepat pada saat Indonesia mengalami krisis moneter dan tahun 1997 sampai 1998 mengalami krisi ekonomi. Renungan 10 Tahun ReformasiPerubahan politik besar yang terjadi pada tahun 1998 yang ditandai oleh lengsernya Presiden Soeharto mempunyai implikasi yang luas, salah satu diantaranya adalah kembalinya demokrasi dalam kehidupan politik nasional. 

Pemilu yang betul betul LUBER berlangsung di tahun 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik. Demokratisasi ini kemudian membawa konsekuensi pola relasi antara Presiden dan DPR mengalami perubahan cukup mendasar. Jika pada masa lalu DPR hanya menjadi pemberi stempel, Saat ini DPR bertugas sebagai pengawas presiden. Disini dicoba dilansir suatu model atau format politik yang tidak lagi executive heavy( atau bahkan dominan ) seperti pada masa Orde Baru, tetapi juga tidak terlalu legislative heavyseperti pada masa orde lama atau masa Demokrasi Parlementer yang sudah menjadi stigma negatif.

Jika demikian pokok pikirannya maka sistem presidensial tersebut harus diimbangi dengan sistem multi partai untuk membentuk parlemen yang betulbetul berfungsi mengawasi presiden. Jadi sebetulnya sistem presidensialisme yang dikombinasikan dengan sistem multi partai merupakan jawaban atas pelajaran-pelajaran masa lalu. Jawaban tersebut bukannya tanpa problematik baru. 

Para ahli perbandingan politik seperti Scott Mainwaring atau Juan Linz dan Arturo Valensuela (Juan Linz and Arturo Valensuela, 1994, hal 6-8) mengatakan bahwa paling tidak Terdapat tiga kelemahan pokok sistem yang Pertama kemungkinannya muncul kelumpuhan pemerintahan atau jalan buntu (deadlock) akibat konflik eksekutif-legislatif. 

Dimana mereka merasa mendapat legitimasi dari rakyat ( dual legitimacy ), presiden dipilih langsung oleh rakyat demikian pula DPR atau parlemen. Kebuntuan politik ini di dalam sistem yang menganut trias-politicadapat menjurus pada pemerintahan yang terbelah (devided government), di mana presiden dan DPR dikuasai oleh parpol yang berbeda. Bahkan AS negara dengan sistem presidensial paling stabil pun pernah mengalami hal tersebut.

 Kasus paling akhir adalah semasa jabatan dari partai Demokrat yaitu Presiden Bill Clinton yang berhadapan dengan Congress saat dikuasai partai Republik, Sehingga terjadi deadlock dalam penentuan budget (APBN). Tetapi pengalaman selama ratusan tahun dan mekanisme internal institusi membuat deadlock atau devided governmenttersebut tidak mengancam stabilitas politik dan eksistensi demokrasi. Kedua, kekakuan sistemik yang melekat pada sistem presidensialisme akibat masa jabatan eksekutif yang bersifat tetap, sehingga tidak ada kesempatan untuk mengganti presiden ditengah jalan apabila kinerjanya tidak memuaskan publik. 

Ketiga, prinsip "the winner takes all"yang inheren dalam sistem presidensial, sehingga memberi peluang bagi presiden untuk mengklaim pilihan-pilihan kebijakan politiknya dengan nama rakyat dibandingkan lembaga parlemen DPR yang didominasi kepentingan partisan dari partaipartai politik. Lebih lanjut Juan Linz mengemukakan bahwa problematik sistem presidensial pada umumnya terjadi ketika dikombinasikan dengan sistem multipartai, popularisasi relative tinggi apalagi dengan tingkat fragmentasi. 

Sistem multi partai dan Presidensialisme bukan hanya merupakan kombinasi yang sulit tetapi bahkan membuka peluang terjadinya kelumpuhan pemerintahan. Dan masalah tersebut bertambah rumit lagi jika tidak ada satupun partai yang bisa menguasai mayoritas di parlemen (DPR). Masalah menjadi semakin kompleks jika lembaga presiden yang semestinya merupakan eksekutif tunggal (presiden serta wakil presiden) yang bersumber dari dua partai berbeda 6 (cohabitation). Presiden berasal dari parpol yang lebih kecil, Sedangkan wakil presiden berasal sendiri dari partai politik yang lebih besar. 

Bereksperimentasi untuk menemukan sistem politik yang ideal tersebut rasanya semakin jauh bila kita melihat kabinet sebagai suatu lembaga politik memiliki tugas menterjemahkan banyaknya kebijakankebijakan politik presiden ke dalam program-program dan proyek-proyek yang harus diimplementasikan. Kabinet pelangi mantan presiden SBY yang menjadi institusi pembantu presiden banyak diisi oleh orangorang dari parpol (kader partai). Hal ini memang suatu keniscayaan apabila presiden mengharapkan dukungan yang cukup besar di DPR. Namun kemudian misi utama kabinet menjadi bergeser, lebih banyak menjalankan misi mengadakan kompromi dan akomodasi dengan partai-partai politik. Suatu hal yang oleh banyak pengamat disepakati merupakan kemampuan untuk membangun sebuah jembatan yang cukup efektif dalam memelihara pola hubungan konsultatif dengan legislatif. Menurut beberapa pengamat politik kompromi dan akomodasi tersebut mengandung beberapa hal yang kurang menguntungkan.
Pertama, dengan banyaknya pihak
yang terlibat dalam politik kompromi keputusan sering terjadi berjalan lambat dan tidak responsif. Hal ini terutama banyaknya pihak mengharuskan untuk terlibat, akan tetapi juga harus mempertimbangkan berbagai efek politik yang bisa saja terjadi. Sering dalam situasi tersebut, obyektivitas menjadi tersingkir dan jalan tengah yang tidak tuntas menjadi pilihan pemerintah. Kasus lumpur Lapindo dan fenomena pemberantasan korupsi yang tebang pilih merupakan contoh-contoh hal tersebut.

Kedua, Dengan keterlibatannya berbagai partai menjadikan keputusan yang dituju untuk kepentingan umum dan masa depan bangsa, terhambat oleh kepentingan sesaat berbagai macam partai politik. Nuansa oligarki ini menyebabkan persoalan-persoalan seperti kemiskinan, jumlah pengangguran, dan melambungnya harga-harga sembako seolah menjadi angin lalu. Yang ketiga, nuansa politik lebih diutamakan dalam beragam masalah sebagai konsekuensi politik kompromi dan akomodasi, akhirnya memperlambat penguatan dan pendewasaan sistem politik Sistem demokrasi dan kebijakan politik demikian ini ke depan memang sudah seharusnya mengalami perubahan. 

Perubahan itu niscaya diperlukan karena adopsi atas sistem tersebut membutuhkan perbaikanperbaikan sistemik meliputi tiga aras, yakni pemantapan civil society, perbaikan sistem pemilu presiden dan penyederhanaan partai politik.Pemantapan dan penguatan civil societyakan memunculkan suatu masyarakat yang mempunyai karakter mengedepankan kemandirian, memiliki kesadaran yang tinggi dalam kehidupan politik dan hukum, berwawasan plural, rasional, dan obyektif. 

Pengalaman di berbagai negara memperlihatkan bagaimana komunitas ini mampu menjadi penggerak utama tumbangnya rezim-rezim otoriter mulai dari Eropa Timur, Amerika Latin, dan Asia. Suatu upaya yang menurut banyak kalangan dan prediksi beberapa ahli tidak mudah untuk diwujudkan di Indonesia mengingat pemulihan ekonomi yang belum sesuai harapan (tingkat pertumbuhan ekonomi akan menurun dari prediksi 6,32% menjadi 6,0%).Pada aras pemilihan presiden batas minimal dukungan partai dalam DPR merupakan hal positif. Proporsi terlalu besar akan meredupkan atau memperkecil peluang munculnya kandidat alternatif yang mungkin saja tidak dimiliki oleh partai atau kelompok partai besar sekaligus mematikan makna pluralisme politik. 

Sedangkan persentase terlalu kecil akan memunculkan terlalu banyak calon dan tidak akan menjamindukungan cukup kuat di DPR. Jalan tengah terbaik tampaknya adalah memberi peluang munculnya kandidat alternatif di samping dua kandidat dari pengelompokan partai besar. Untuk itu angka dukungan 20-30% adalah jumlah dukungan cukup rasional.Selain syarat batas minimal dukungan, hal lain yang berperan menentukan keberhasilan dan kualitas sistem presidensial adalah model sistem pemilihan. Sebagaimana diketahui proses pemilihan presiden langsung mengenal tiga model, yakni model electoral college(seperti dipraktekkan di Amerika Serikat), model satu putaran (pluralis), dan model dua putaran (mayoritas mutlak). Untuk Indonesia, model ketiga seperti yang telah dipraktekkan di masa lalu merupakan pilihan yang relevan. Meskipun untuk itu, biaya menjadi semakin mahal dan waktu semakin panjang. 

Penyederhanaan parpol merupakan suatu keniscayaan karena secara teoritis dengan sederhananya jumlah parpol, kemungkinan pasangan kandidat presiden yang akan maju dalam pemilihan presiden bukan dari sebuah parpol atau kelompok parpol yang terlalu kecil jumlahnya (minoritas). Yang menghasilkan seorang presiden yang oleh Juan Linz disebut unexperienced outsider. Dengan sedikitnya partai maka gap jumlah suara cenderung tidak terlalu besar. Begitu juga dengan pengelompokan-pengelompokan politik potensial. 

Situasi demikian membuat presiden terpilih bukan saja merupakan tokoh terbaik kaliber nasional yang didukung partai menengah dan besar, tetapi juga relatif memiliki jaminan sokongan yang lebih solid dan luas di DPR. Selain jumlah yang harus disederhanakan, pembenahan ke depan menyangkut parpol adalah upaya membuat parpol lebih maju, lebih modern, dan lebih sehat. Selama ini parpol mengidap beberapa kecenderungan (negatif) seperti dikatakan oleh Syamsuddin Haris (Syamsudin Haris, artikel di Kompas11 September 2003 hal 3).

 Ada 4 (empat) kecenderungan negatif parpol, yaitu :Pertama :Berkembangnya kepemimpinan yang personal dan oligarkis. Partai-partai besar masih saja mengusung pemimpin-pemimpin lama yang sebetulnya sudah tidak sesuai jaman lagi. Begitu pula elite partai masih saja menyelamatkan kepentingan dan pilihan sang pemimpin, ketimbang mempertahankan integritas dan citra publik partai. Kedua : Partai yang semestinya merupakan organisasi modern dan rasional, berkembang menjadi semacam paguyuban arisan bagi mobilitas vertikal para elite politik yang bersaing dalam mempersembahkan loyalitas terhadap sang pemimpin atau ketua umum. 

Ketiga : Merosotnya etika dan moralitas politik kader-kader partai ke titik paling rendah. Ketiadaanetika dan moral ini yang bisa menjelaskan fenomena korupsi suap dan money politicsdi kalangan partai dan legislatif. Keempat :Partai umumnya miskin visi tentang perubahan dan perbaikan, sehingga yang muncul akhirnya retorika dan sloganslogan yang dangkal dan mengambang. Semua partai bicara keadilan,pembangunan, kesejahteraan, tetapi tidak jelas perbedaan konsep dan solusinya.

Kesimpulan Untuk menyatukan dua sistem yang seringkali mencetuskan kompromi-kompromi dunia politik dimana kedudukan seorang presiden menjadi relatif lebih aman tetapi tidak begitu bermanfaat bagi berbagai kebijakan pemerintah pada khususnya dan bagi perkembangan demokrasi pada umumnya. Karena kompromi politik pada dasarnya adalah bersifat kasuistik dan sementara yang tidak dapat secara terusmenerus dipertahankan. 

Menurut Firman Noor ( Firman Noor, 2009, hal 5185) spektrum skenario kebuntuan politikitu terbentang mulai adanya sosok presiden yang populer namuntidak mendapat dukungan yang cukup dalam parlemen, munculnya sosok presiden yang dikendalikan/disandera secara oligarkis oleh kekuatan pendukung-pendukungnya, hingga kemungkinan munculnya seorang presiden yang mengabaikan sama sekali esistensi parlemen dengan alasan untuk kepentingan rakyat. Adanya kemungkinan-kemungkinan negatif tersebut menurut Noor dalam kasus Indonesia ke depan dapat diredam melalui beberapa pembenahan secara sistemik meliputi tiga arah utama yaitu pembenahan partaipartai politik , pengaturan mekanisme pemilu presiden dan pemantapan civil society.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun