Melalui Golongan Karya (Golkar), sebuah wadah politik untuk menghimpun di masa lalu, sehingga muncul slogan saat itu "ekonomi adalah panglima" menggantikan slogan lama "politik adalah panglima". Kebijakan politik domestik adalah tercapainya efektivitas dan stabilitas pemerintahan, kebijakan ekonomi merupakan suatau pertumbuhan ekonomi kemudian pemerataan hasil-hasil pembangunan.Â
Keikutsertaan militer dalam Hankam dan kemudian juga dalam bidang lain seperti sosial politik dilandasi oleh pemikiran bahwa ABRI adalah juga bagian integral bangsa Indonesia, oleh karena itu ABRI mempunyai hak untuk ikut serta dalam proses politik apabila eksistensi negara dan bangsa terancam. Konsep ini yang menjadi pedoman dari pimpinan ABRI yaitu Jenderal A.H. Nasution atau Jenderal Soeharto sebagai hasil dari Seminar Angkatan Darat II tahun 1966.
Namun terdapat perbedaan kelompok-kelompok fungsional, maka ABRI dan Birokrasi "mengendalikan" kehidupan politik. Tahun 1971 pada saat diadakan Pemilu kedua, Golkar meraup 63% suara dari total 100% suara sah. Program-program Perbaikan dan Pembangunan Ekonomi diluncurkan, Pemerintah juga mengundang investasi dan bantuan asing, suatu hal yang tidak terjadi mendasar antara keduanya. Nasution berpendapat ABRI turun tangan hanya bila eksistensi negara dan bangsa terancam, apabila kondisi eksistensi tidak mengalami ancaman maka ABRI atau militer secara bertahap harus kembali ke barak.Â
Soeharto melalui para perwira think tanknya seperti Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani berpendapat bahwa ABRI harus tetap di luar barak, karena ABRI dibutuhkan untuk menjadi pelopor utama untuk pembangunan dalam mengejar tertinggalnya Indonesia terhadapa negara-negara maju (R.Eep Saefulloh Fatah, 1993 hal 131). Kendali kekuasaan yang besar ini menjadi semakin besar dan hampir -hampir absolute ketika tidak ada lagi partai politik atau kekuatan-kekuatan politik lain yang dapat melakukan checks and balances.Â
Fungsi partai-partai politik pada akhir dekade 1970-an diikuti oleh pemilu yang penuh rekayasa dan intimidasi, sesungguhnya telah mematikan kehidupan demokrasi. Tetapi di lain sisi kekuasaan presiden (yang terus menerus terpilih) menjadi demikian besar dan sangat efektif. Pola hubungan kekuasaan antara Presiden dan DPR (parlemen) tidak seimbang, sangat berat ke arah presiden (executive heavy).Saat itu tidak ada realisasi hak angket atau interpelasi yang dilakukan oleh DPR. Dalam menjalankan fungsi alih-alih ketika melakukan fungsi pengawasan Presiden, DPR malah beralih menjadi ahli stempel untuk berbagai kebijakan politik top executive. Sebagaimana premis yang dikemukakan oleh Lord Acton bahwa kekuasaan yang absolute pasti disalahgunakan. Penyalahgunaan kekuasaan abuse of power selain menggerogoti sendi-sendi good governance juga mengikis sendi-sendi perekonomian, dimana korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela. Begitu pula ekonomi yang berdasarkan pada rent seeking, ikut mendorong percepatan kemunduran ekonomi nasional.Â
Sinyalemen banyak ahli ekonomi politik yang menyatakan bahwa booming ekonomi Indonesia padadekade 1980-an tidak menumbuhkan pelaku-pelaku ekonomi pendorong kapitalisme seperti di negara asalnya, tetapi hanya menghasilkan kapitalisme semu/ersatz capitalism terbukti kemudian dengan ambruknya konglomerasi secara cepat pada saat Indonesia mengalami krisis moneter dan tahun 1997 sampai 1998 mengalami krisi ekonomi. Renungan 10 Tahun ReformasiPerubahan politik besar yang terjadi pada tahun 1998 yang ditandai oleh lengsernya Presiden Soeharto mempunyai implikasi yang luas, salah satu diantaranya adalah kembalinya demokrasi dalam kehidupan politik nasional.Â
Pemilu yang betul betul LUBER berlangsung di tahun 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik. Demokratisasi ini kemudian membawa konsekuensi pola relasi antara Presiden dan DPR mengalami perubahan cukup mendasar. Jika pada masa lalu DPR hanya menjadi pemberi stempel, Saat ini DPR bertugas sebagai pengawas presiden. Disini dicoba dilansir suatu model atau format politik yang tidak lagi executive heavy( atau bahkan dominan ) seperti pada masa Orde Baru, tetapi juga tidak terlalu legislative heavyseperti pada masa orde lama atau masa Demokrasi Parlementer yang sudah menjadi stigma negatif.
Jika demikian pokok pikirannya maka sistem presidensial tersebut harus diimbangi dengan sistem multi partai untuk membentuk parlemen yang betulbetul berfungsi mengawasi presiden. Jadi sebetulnya sistem presidensialisme yang dikombinasikan dengan sistem multi partai merupakan jawaban atas pelajaran-pelajaran masa lalu. Jawaban tersebut bukannya tanpa problematik baru.Â
Para ahli perbandingan politik seperti Scott Mainwaring atau Juan Linz dan Arturo Valensuela (Juan Linz and Arturo Valensuela, 1994, hal 6-8) mengatakan bahwa paling tidak Terdapat tiga kelemahan pokok sistem yang Pertama kemungkinannya muncul kelumpuhan pemerintahan atau jalan buntu (deadlock) akibat konflik eksekutif-legislatif.Â
Dimana mereka merasa mendapat legitimasi dari rakyat ( dual legitimacy ), presiden dipilih langsung oleh rakyat demikian pula DPR atau parlemen. Kebuntuan politik ini di dalam sistem yang menganut trias-politicadapat menjurus pada pemerintahan yang terbelah (devided government), di mana presiden dan DPR dikuasai oleh parpol yang berbeda. Bahkan AS negara dengan sistem presidensial paling stabil pun pernah mengalami hal tersebut.
 Kasus paling akhir adalah semasa jabatan dari partai Demokrat yaitu Presiden Bill Clinton yang berhadapan dengan Congress saat dikuasai partai Republik, Sehingga terjadi deadlock dalam penentuan budget (APBN). Tetapi pengalaman selama ratusan tahun dan mekanisme internal institusi membuat deadlock atau devided governmenttersebut tidak mengancam stabilitas politik dan eksistensi demokrasi. Kedua, kekakuan sistemik yang melekat pada sistem presidensialisme akibat masa jabatan eksekutif yang bersifat tetap, sehingga tidak ada kesempatan untuk mengganti presiden ditengah jalan apabila kinerjanya tidak memuaskan publik.Â