Ketiga, prinsip "the winner takes all"yang inheren dalam sistem presidensial, sehingga memberi peluang bagi presiden untuk mengklaim pilihan-pilihan kebijakan politiknya dengan nama rakyat dibandingkan lembaga parlemen DPR yang didominasi kepentingan partisan dari partaipartai politik. Lebih lanjut Juan Linz mengemukakan bahwa problematik sistem presidensial pada umumnya terjadi ketika dikombinasikan dengan sistem multipartai, popularisasi relative tinggi apalagi dengan tingkat fragmentasi.Â
Sistem multi partai dan Presidensialisme bukan hanya merupakan kombinasi yang sulit tetapi bahkan membuka peluang terjadinya kelumpuhan pemerintahan. Dan masalah tersebut bertambah rumit lagi jika tidak ada satupun partai yang bisa menguasai mayoritas di parlemen (DPR). Masalah menjadi semakin kompleks jika lembaga presiden yang semestinya merupakan eksekutif tunggal (presiden serta wakil presiden) yang bersumber dari dua partai berbeda 6 (cohabitation). Presiden berasal dari parpol yang lebih kecil, Sedangkan wakil presiden berasal sendiri dari partai politik yang lebih besar.Â
Bereksperimentasi untuk menemukan sistem politik yang ideal tersebut rasanya semakin jauh bila kita melihat kabinet sebagai suatu lembaga politik memiliki tugas menterjemahkan banyaknya kebijakankebijakan politik presiden ke dalam program-program dan proyek-proyek yang harus diimplementasikan. Kabinet pelangi mantan presiden SBY yang menjadi institusi pembantu presiden banyak diisi oleh orangorang dari parpol (kader partai). Hal ini memang suatu keniscayaan apabila presiden mengharapkan dukungan yang cukup besar di DPR. Namun kemudian misi utama kabinet menjadi bergeser, lebih banyak menjalankan misi mengadakan kompromi dan akomodasi dengan partai-partai politik. Suatu hal yang oleh banyak pengamat disepakati merupakan kemampuan untuk membangun sebuah jembatan yang cukup efektif dalam memelihara pola hubungan konsultatif dengan legislatif. Menurut beberapa pengamat politik kompromi dan akomodasi tersebut mengandung beberapa hal yang kurang menguntungkan.
Pertama, dengan banyaknya pihak
yang terlibat dalam politik kompromi keputusan sering terjadi berjalan lambat dan tidak responsif. Hal ini terutama banyaknya pihak mengharuskan untuk terlibat, akan tetapi juga harus mempertimbangkan berbagai efek politik yang bisa saja terjadi. Sering dalam situasi tersebut, obyektivitas menjadi tersingkir dan jalan tengah yang tidak tuntas menjadi pilihan pemerintah. Kasus lumpur Lapindo dan fenomena pemberantasan korupsi yang tebang pilih merupakan contoh-contoh hal tersebut.
Kedua, Dengan keterlibatannya berbagai partai menjadikan keputusan yang dituju untuk kepentingan umum dan masa depan bangsa, terhambat oleh kepentingan sesaat berbagai macam partai politik. Nuansa oligarki ini menyebabkan persoalan-persoalan seperti kemiskinan, jumlah pengangguran, dan melambungnya harga-harga sembako seolah menjadi angin lalu. Yang ketiga, nuansa politik lebih diutamakan dalam beragam masalah sebagai konsekuensi politik kompromi dan akomodasi, akhirnya memperlambat penguatan dan pendewasaan sistem politik Sistem demokrasi dan kebijakan politik demikian ini ke depan memang sudah seharusnya mengalami perubahan.Â
Perubahan itu niscaya diperlukan karena adopsi atas sistem tersebut membutuhkan perbaikanperbaikan sistemik meliputi tiga aras, yakni pemantapan civil society, perbaikan sistem pemilu presiden dan penyederhanaan partai politik.Pemantapan dan penguatan civil societyakan memunculkan suatu masyarakat yang mempunyai karakter mengedepankan kemandirian, memiliki kesadaran yang tinggi dalam kehidupan politik dan hukum, berwawasan plural, rasional, dan obyektif.Â
Pengalaman di berbagai negara memperlihatkan bagaimana komunitas ini mampu menjadi penggerak utama tumbangnya rezim-rezim otoriter mulai dari Eropa Timur, Amerika Latin, dan Asia. Suatu upaya yang menurut banyak kalangan dan prediksi beberapa ahli tidak mudah untuk diwujudkan di Indonesia mengingat pemulihan ekonomi yang belum sesuai harapan (tingkat pertumbuhan ekonomi akan menurun dari prediksi 6,32% menjadi 6,0%).Pada aras pemilihan presiden batas minimal dukungan partai dalam DPR merupakan hal positif. Proporsi terlalu besar akan meredupkan atau memperkecil peluang munculnya kandidat alternatif yang mungkin saja tidak dimiliki oleh partai atau kelompok partai besar sekaligus mematikan makna pluralisme politik.Â
Sedangkan persentase terlalu kecil akan memunculkan terlalu banyak calon dan tidak akan menjamindukungan cukup kuat di DPR. Jalan tengah terbaik tampaknya adalah memberi peluang munculnya kandidat alternatif di samping dua kandidat dari pengelompokan partai besar. Untuk itu angka dukungan 20-30% adalah jumlah dukungan cukup rasional.Selain syarat batas minimal dukungan, hal lain yang berperan menentukan keberhasilan dan kualitas sistem presidensial adalah model sistem pemilihan. Sebagaimana diketahui proses pemilihan presiden langsung mengenal tiga model, yakni model electoral college(seperti dipraktekkan di Amerika Serikat), model satu putaran (pluralis), dan model dua putaran (mayoritas mutlak). Untuk Indonesia, model ketiga seperti yang telah dipraktekkan di masa lalu merupakan pilihan yang relevan. Meskipun untuk itu, biaya menjadi semakin mahal dan waktu semakin panjang.Â
Penyederhanaan parpol merupakan suatu keniscayaan karena secara teoritis dengan sederhananya jumlah parpol, kemungkinan pasangan kandidat presiden yang akan maju dalam pemilihan presiden bukan dari sebuah parpol atau kelompok parpol yang terlalu kecil jumlahnya (minoritas). Yang menghasilkan seorang presiden yang oleh Juan Linz disebut unexperienced outsider. Dengan sedikitnya partai maka gap jumlah suara cenderung tidak terlalu besar. Begitu juga dengan pengelompokan-pengelompokan politik potensial.Â
Situasi demikian membuat presiden terpilih bukan saja merupakan tokoh terbaik kaliber nasional yang didukung partai menengah dan besar, tetapi juga relatif memiliki jaminan sokongan yang lebih solid dan luas di DPR. Selain jumlah yang harus disederhanakan, pembenahan ke depan menyangkut parpol adalah upaya membuat parpol lebih maju, lebih modern, dan lebih sehat. Selama ini parpol mengidap beberapa kecenderungan (negatif) seperti dikatakan oleh Syamsuddin Haris (Syamsudin Haris, artikel di Kompas11 September 2003 hal 3).
 Ada 4 (empat) kecenderungan negatif parpol, yaitu :Pertama :Berkembangnya kepemimpinan yang personal dan oligarkis. Partai-partai besar masih saja mengusung pemimpin-pemimpin lama yang sebetulnya sudah tidak sesuai jaman lagi. Begitu pula elite partai masih saja menyelamatkan kepentingan dan pilihan sang pemimpin, ketimbang mempertahankan integritas dan citra publik partai. Kedua : Partai yang semestinya merupakan organisasi modern dan rasional, berkembang menjadi semacam paguyuban arisan bagi mobilitas vertikal para elite politik yang bersaing dalam mempersembahkan loyalitas terhadap sang pemimpin atau ketua umum.Â
Ketiga : Merosotnya etika dan moralitas politik kader-kader partai ke titik paling rendah. Ketiadaanetika dan moral ini yang bisa menjelaskan fenomena korupsi suap dan money politicsdi kalangan partai dan legislatif. Keempat :Partai umumnya miskin visi tentang perubahan dan perbaikan, sehingga yang muncul akhirnya retorika dan sloganslogan yang dangkal dan mengambang. Semua partai bicara keadilan,pembangunan, kesejahteraan, tetapi tidak jelas perbedaan konsep dan solusinya.