Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Romadhoni Al Faruq
Muhammad Yusuf Romadhoni Al Faruq Mohon Tunggu... -

saya seorang ahlussunnah, pencinta hadits, seorang developer web, linux mania, blogger.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Belajar dari Diri Sendiri tentang Kekuasaan Tuhan

21 Desember 2011   06:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:57 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bab Belajar dari Diri Sendiri

Sekarang kembalilah merenungkan diri Anda sekali lagi! Siapa yang mengatur dengan amat jeli ketika Anda masih janin dalam perut ibu Anda, di tempat yang tidak ada tangan yang menjangkaumu, tidak ada mata yang melihatmu, dan kamu tidak berdaya untuk mendapat makanan sendiri atau untuk menolak penyakit. Siapa yang mengalirkan zat makanan kepadamu melalui darah ibumu seperti air menyuplai makanan kepada tumbuh-tumbuhan dan mengubah darah itu menjadi susu? Dia terus memberimu makanan dengannya di tempat yang paling sempit, dan tidak mungkin seseorang di sana mencari makan sendiri. Hingga, jika badanmu telah sempurna, kulitmu telah kuat untuk berinteraksi dengan udara, matamu telah kuat menerima sinar, tulang-tulangmu keras sehingga sanggup bersentuhan dengan benda-benda di bumi, maka ibumu merasakan sakitnya melahirkan yang memaksamu keluar ke dunia ujian. Rahim mendorongmu dari tempatmu seakan-akan ia tidak pernah mengandungmu sama sekali.

Alangkah bedanya antara penerimaan rahim ketika kamu masuk dalam bentuk setetes mani dan antara dorongan dan pelahirannya ini! Padahal, sebelumnya rahim gembira dengan mengandungmu, tapi sekarang melolong dan merintih kepada Tuhan karena bebanmu. Siapa yang membukakan pintu rahim untukmu sehingga kamu masuk, lalu menutupnya sampai kamu sempurna, kemudian membuka pintu itu lagi dan melebarkannya sehingga kamu keluar darinya dalam sekejap mata? Sempitnya tidak mencekikmu, sulitnya jalan yang kamu lalui di sana tidak menahanmu. Kalau kamu perhatikan masukmu melalui pintu itu dan keluarmu dari sana, tentu kamu merasa amat heran. Siapa yang mengilhaminya supaya menyempit pada saat kamu masih dalam keadaan setetes mani sehingga kamu tidak rusak di sana, dan mengilhaminya supaya melebar sehingga kamu keluar dengan selamat?

Kamu keluar sendirian, lemah, tanpa baju, perhiasan, dan harta. Saat itu kamu adalah makhluk Allah Subhanahu wa ta’alaa yang paling miskin, lemah, dan paling memerlukan bantuan. Maka, Dia memindahkan susu yang dahulu kamu konsumsi di perut ibumu ke dalam dua gudang (payudara) yang tergantung di dadanya. Ibumu membawakan makananmu di dadanya sebagaimana dia telah membawamu di perutnya. Allah Subhanahu wa ta’alaa mengalirkan susu ke kedua payudara itu dengan amat lembut, melalui saluran-saluran yang telah disiapkan. Dia. terus mengawasi saluran-saluran itu sampai kedua puting itu penuh dan kamu selesai meminumnya. Ia adalah sumur yang airnya tidak habis dan sumbernya tidak tersumbat. Dia mengirimkannya kepadamu melalui jalan-jalan yang tidak diketahui oleh pengembara dan tidak dapat dilalui pejalan kaki.

Siapa yang melembutkan susu itu untukmu? Siapa yang menjernihkannya, melezatkan rasanya, membaguskan warnanya, dan memasaknya dengan sempurna, tidak panas atau dingin yang membahayakan, rasanya tidak pahit atau asin, dan baunya tidak busuk? Dia mengubahnya dalam bentuk makanan dan manfaat yang berbeda dengan fungsi dan bentuknya di perut. Dia memenuhi kebutuhanmu pada saat kamu amat membutuhkannya, ketika kamu amat haus dan lapar. Dia memfungsikan susu sebagai makanan dan minuman sekaligus.

Begitu lahir, kamu menggerakkan bibirmu untuk menyusu. Kamu mendapati susu yang tergantung itu seperti kantong kulit menjuntai dan menyerahkan pancaran air susunya kepadamu. Di ujungnya ada puting yang pas dengan ukuran mulutmu yang kecil sehingga kamu tidak lelah ketika mengulumnya. Dia melubangi ujungnya dengan lubang yang lembut sesuai dengan kemampuanmu; tidak lebar sehingga kamu tersedak oleh susu, dan tidak sempit sehingga kamu sulit menyedotnya. Dia menjadikan ukurannya sesuai dengan hikmah-Nya dan maslahatmu.

Siapa yang membuat hati ibumu mengasihi kamu bagaimanapun keadaannya, dan meletakkan rasa sayang yang luar biasa mengagumkan, sehingga kamu mendapat ketenangan? Jika ibu merasakan tangisan atau rengekanmu, ia bangkit dan mengedepankan kebutuhanmu atas kebutuhannya sendiri. Ia terdorong kepadamu tanpa penuntun atau pendorong, selain dorongan dan tuntutan kasih sayang. Ibu rela kalau semua yang bisa menyakitimu menimpa dirinya saja, tanpa mengenaimu. Dia rela menambahkan umurnya kepada umurmu. Siapa yang meletakkan kasih sayang itu di hatinya?

Sampai apabila badanmu telah kuat, usus-ususmu telah melebar, tulang-tulangmu telah mengeras, dan kamu membutuhkan makanan yang lebih keras dari makananmu dan menguatkan tulang dan dagingmu, maka Dia menumbuhkan di mulutmu alat memotong dan mengunyah. Dia memasang gigi depan untuk memotong makanan, dan geraham untuk mengunyahnya.

Siapa yang mencegah gigi-gigi itu tumbuh pada masa kamu menyusu sebagai rahmat kepada ibumu, lalu menumbuhkannya pada saat kamu sudah bisa makan sebagai rahmat atasmu. Seandainya ketika kamu keluar dari perut ibumu sudah punya gigi, taring, dan geraham; bagaimana ibumu menghadapi kamu? Kalau kamu tidak diberi gigi ketika kamu membutuhkannya, bagaimana kamu menghadapi makanan-makanan itu yang tidak mungkin kamu telan sebelum kamu potong dan kamu kunyah?

Semakin kamu kuat dan membutuhkan gigi untuk memakan makanan yang bermacam-macam, maka alat-alat itu ditambah sampai akhirnya berhenti pada geraham. Sehingga, kamu mampu menggigit daging, memotong roti, dan mematahkan makanan yang keras. Siapa yang membantumu dengan alat-alat ini sehingga kamu dapat menyantap berbagai macam makanan?

Kemudian sejalan dengan hikmah-Nya, Dia mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa. Kamu bodoh, tidak punya akal dan pemahaman. Itu adalah salah satu rahmat-Nya kepadamu. Karena, dengan kelemahanmu, kamu tidak sanggup memfungsikan akal, pemahaman, dan pengetahuan; kamu justru akan merana. Dia menjadikan akal itu berkembang secara bertahap pada dirimu. Tidak muncul secara tiba-tiba dan mengejutkan, melainkan tumbuh sedikit demi sedikit sampai sempurna. Bayangkan jika seorang anak diculik dari negaranya dan dipisahkan dari kedua orang tuanya semasa bayi, hal itu mungkin tidak terlalu menyakitinya. Tapi, makin dekat dia dengan kematangan akal, makin berat dan sulit hal itu diterimanya.

Seandainya kamu dilahirkan dalam keadaan dapat memahami seperti keadaanmu pada masa dewasa, kehidupanmu akan sengsara, karena kamu melihat dirimu digendong, menyusu, diikat dengan selendang gendongan, terpenjara di buaian, lemah, dan tidak berdaya melakukan apa yang dilakukan oleh orang dewasa. Bayangkan bagaimana jadinya hidupmu jika dalam kondisi semacam ini kamu sudah berpikiran matang, lalu kamu tidak menerima kenikmatan, kelembutan, dan kasih sayang seperti yang diberikan kepada bayi. Engkau menjadi makhluk AllahSubhanahu wa ta’alaa yang paling merana dan sengsara.

Kedatanganmu ke dunia ini dalam keadaan bodoh dan tidak mengetahui apa-apa, sebenarnya penuh hikmah dan rahmat. Kamu menerima segala hal dengan otak yang lemah dan pengetahuan yang kurang. Kemudian akal dan pengetahuanmu terus bertambah sedikit demi sedikit sampai kamu terbiasa dengan benda-benda, dan mencoba-cobanya. Engkau tidak lagi heran dan mengamat-amati saja, tapi sudah bisa langsung mempergunakannya. Di samping itu, masih ada lagi hikmah selain yang telah kami sebutkan.

Jadi, siapa yang terus menjaga dan merawatmu sampai terpenuhi segala manfaat, alat, dan keperluanmu tepat pada saat kamu membutuhkannya; tanpa perlu mempercepat atau memperlambatnya dari waktu butuhnya?

Dia memberimu kuku-kuku pada waktu kamu memerlukannya untuk bermacam manfaat. Kuku-kuku itu membantu dan menguatkan jari-jari. Karena kebanyakan pekerjaan dilakukan dengan ujung jari, maka ia dibantu dengan kuku untuk menambah kekuatannya. Di samping itu, kuku juga berfungsi untuk menggaruk badan yang gatal, mencongkel sesuatu yang tidak dapat dikeluarkan dengan daging jari, dan sebagainya.

Dia mempercantik kamu dengan rambut di kepala sebagai hiasan, dan pelindung dari panas dan dingin. Sebab, kepala adalah tempat beradanya indera-indera, dan sebagai sumber pikir dan zikir. Dan, buah dari akal pun akan bermuara kepadanya.

Khusus untuk lelaki, wajahnya diperindah dengan jenggot dan cambang untuk menambah kewibawaan, kegagahan, ketampanan, dan tanda kedewasaan, serta pembeda antara lelaki dan wanita. Sedangkan wanita tetap dalam kondisinya (tanpa jenggot) mengingat dia tercipta sebagai pemuas lelaki. Wajahnya halus mulus agar lebih membangkitkan syahwat lelaki dan lebih sempurna kenikmatan berhubungan dengannya. Meski spermanya sama, bahannya sama, wadahnya juga tidak beda, siapa yang memberikan lelaki sifat-sifat kelelakian dan memberi wanita sifat kewanitaan?

Jangan pedulikan pernyataan para ilmuwan alam yang dungu tentang sebab janin menjadi lelaki atau perempuan. Mereka mengembalikannya kepada faktor-faktor biologis yang kadang memang benar secara kebetulan dalam masalah ini, tapi salahnya lebih banyak dari benarnya. Sandaran terjadinya kelamin lelaki dan wanita tidak lain hanyalah ketentuan kehendak ilahi yang diberikan-Nya kepada malaikat perupa, yang bertugas membentuk rupa makhluk ketika dia bertanya, “Tuhan, ini lelaki atau wanita? Bahagia atau sengsara? Apa rezekinya? Dan, berapa usianya?” Kemudian Allah mewahyukan kepada malaikat tersebut apa yang dikehendaki-Nya, lalu sang malaikat menulisnya.[sebagaimana hadits shahih riwayat Bukhari]

Kalau memang alam berperan dalam penentuan jenis kelamin, lelaki atau wanita, tentu dia juga berpengaruh terhadap rezeki dan ajal, bahagia dan sengsara. Kalau tidak, berarti juga tidak berpengaruh terhadap jenis kelamin, karena semuanya bersumber dari wahyu Allah Subhanahu wa ta’alaa kepada malaikat tersebut. Kami tidak mengingkari jenis kelamin juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Namun, faktor-faktor itu hanya diketahui oleh Allah Subhanahu wa ta’alaa, manusia tidak tahu apa-apa. Dia berfirman,

artinya: “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (asy-Syuura: 49-50)

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’alaa menyebutkan empat jenis wanita.

Pertama: yang melahirkan wanita saja.

Kedua: yang melahirkan lelaki saja.

Ketiga: yang melahirkan pasangan lelaki dan wanita, dan itulah makna tazwij di sini, yaitu memberikan pasangan anak lelaki dan wanita.

Dan keempat: wanita mandul yang sama sekali tidak melahirkan.

Di antara bukti bahwa faktor terjadinya jenis kelamin pria dan wanita, tidak diketahui oleh manusia, dan tidak dapat dimengerti dengan analogi dan pikiran, melainkan hanya diketahui melalui wahyu, adalah hadits Tsauban yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya, Saat itu Tsaubah berada bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam.

Tiba-tiba datanglah seorang pendeta Yahudi. la mengucapkan salam, “Assalamu ‘alaika yaaMuhammad!”

Serentak Tsaubah memukulnya. Hampir saja dia mati.

“Kenapa kamu memukul saya?” tanyanya.

Aku menjawab, “Mengapa tidak kamu panggil beliau Yaa Rasulullah?”

“Kami hanya mau memanggilnya dengan menyebut nama yang diberikan keluarganya,” jawabnya.

Mendengar ini, Rasulullah menyahut, “Namaku adalah Muhammad. Itulah nama yang diberikan keluargaku.”

“Aku datang untuk bertanya kepadamu,” katanya.

Beliau balik bertanya, “Apakah jawabanku berguna bagimu?”

Si Yahudi menjawab, “Akan aku dengar dengan telingaku.”

“Tanyalah!” kata Rasulullah sambil menggariskan sebatang kayu yang beliau pegang ke tanah.

“Di mana manusia pada hari kiamat?” tanyanya.

Beliau menjawab, “Mereka berada di dalam kegelapan sebelum”

la bertanya lagi, “Lalu siapa yang paling dahulu lewat?”

Beliau menjawab, “Orang-orang Muhajirin yang miskin.”

“Apa hadiah untuk mereka saat masuk surga?” tanyanya kemudian.

Beliau menjawab, “Hati ikan besar.”

Dia bertanya lagi, “Lalu apa makanan mereka setelah itu?”

Beliau menjawab, “Untuk mereka disembelihkan sapi jantan surga yang makan dari tetumbuhan surga.”

“Apa minuman mereka?” tanyanya.

Jawab beliau, “Mata air yang disebut salsabila.”

la berkata, “Engkau benar.” Kemudian lanjutnya, “Aku ke sini juga untuk menanyaimu tentang sesuatu yang hanya diketahui oleh Nabi atau satu orang atau dua orang saja.”

Beliau bertanya, “Akankah bermanfaat bagimu apabila aku jawab?”

“Aku akan dengar dengan telingaku,” katanya. “Aku datang untuk bertanya tentang anak.”

Beliau bersabda, “Sperma lelaki berwarna putih, sedang punya wanita berwarna kuning. Apabila keduanya berkumpul, lalu mani lelaki mengungguli mani perempuan, maka anak itu lelaki dengan izin Allah Subhanahu wa ta’alaa. Dan, apabila mani wanita mengungguli mani lelaki, berarti anak itu perempuan dengan izin Allah Subhanahu wa ta’alaa.”

Si Yahudi berkata, “Ucapanmu sungguh benar, dan engkau benar-benar seorang Nabi.”

Setelah dia pergi, Rasulullah bersabda, “Pertanyaan yang diajukannya tadi, tidak aku ketahui jawabannya kalau Allah tidak memberitahuku.”

Dalil aqli dan naqli menunjukkan janin diciptakan dari kedua mani tersebut. Lelaki menyemburkan spermanya ke rahim perempuan, begitu pula wanita menurunkan maninya ke tempat berhentinya mani lelaki tadi. Kedua cairan itu bertemu dengan kehendak dan pengaturan Allah Subhanahu wa ta’alaa, lalu terciptalah anak. Mani siapa yang unggul, maka anaknya mirip dengannya. Dalam Shahih Bukhari disebutkan cerita Humaid bin Anas bahwa ketika Abdullah bin Salam mendengar kedatangan Nabi shallallahu’alaihi wa salam, ia mendatangi beliau lalu bertanya, “Aku akan menanyaimu tiga hal yang hanya diketahui oleh Nabi. Apa tanda kiamat yang pertama? Apa makanan pertama yang dimakan penghuni surga? Dari apa anak mirip bapaknya? Dan, dari apa pula anak mirip ibunya?”

Rasulullah menjawab, “Baru saja Jibril memberitahuku.”

“Dia adalah malaikat musuh kaum Yahudi,” sahut Abdullah.

Rasulullah melanjutkan sabda beliau, “Tanda pertama hari kiamat adalah api yang menggiring manusia dari timur ke barat. Makanan pertama yang dimakan penghuni surga adalah hati ikan besar. Adapun tentang kemiripan anak; apabila lelaki menggauli perempuan dan maninya lebih dahulu, maka anaknya mirip dengannya. Tapi jika mani si wanita mendahuluinya, berarti anaknya mirip dengannya.”

Serentak Abdullah berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasul Allah Subhanahu wa ta’alaa.”

Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dikisahkan bahwa Umu Salamah bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’alaa tidak malu dalam kebenaran. Apakah wanita wajib mandi bila bermimpi?”

Beliau menjawab, “Ya, kalau dia melihat keluarnya air mani yang kuning.”

Ummu Salamah tertawa, lalu bertanya, “Apakah wanita bermimpi?”

Rasulullah shallallahu’alaihi wa salam, balik menanyainya, “Kalau tidak, lalu dengan apa anak itu menyerupainya?”

Ketiga hadits ini menunjukkan bahwa anak tercipta dari gabungan kedua air mani itu, dan bahwa jenis kelamin ditentukan oleh keunggulan salah satu mani tersebut, sedang kemiripan ditentukan oleh mana yang dahulu. Mani siapa yang dahulu sampai ke rahim, maka anaknya akan mirip dengan dia. Tidak ada bukti yang disodorkan oleh para ilmuwan alam tentang masalah ini karena semuanya memang hanya dapat diketahui dengan wahyu. Namun, hadits Tsauban di atas masih menimbulkan keraguan dalam hati. Yang ditakutkan, seandainya salah satu rawinya tidak menghafal sebagaimana mestinya, dan seharusnya pertanyaannya dalam hadits itu adalah tentang kemiripan, bukan tentang penentuan jenis kelamin seperti pertanyaan Abdullah bin Salam. Karena itu, Imam Bukhari tidak menyebutkan hadits Tsauban ini dalam kitab.

Juga, dalam Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa salam, yang diriwayatkan Abdullah bin Abu Bakr dari Anas, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’alaamenugaskan seorang malaikat untuk mengurus rahim. Dia bertanya, ‘Tuhan, (dia jadi) mani? Tuhan, sekarang jadi ‘alaqahl Tuhan, jadi mudhghah Dan, apabila Dia hendak menjadikannya bentuk makhluk yang utuh, malaikat bertanya, ‘Tuhan, dia lelaki atau wanita? Bahagia atau sengsara? Apa rezekinya, dan berapa usianya?’

Maka, malaikat menulis ketentuan Allah seperti itu ketika dia masih di perut ibunya.” Dalam hadits ini Anda lihat beliau menyerahkan masalah penentuan jenis kelamin itu kepada kehendak Allah Subhanahu wa ta’alaa. Beliau menghubungkannya dengan masalah yang tidak dapat dipengaruhi oleh alam, yakni kesengsaraan dan kebahagiaan, serta rezeki dan ajal, dan malaikat tidak menuliskan apa yang dapat dipengaruhi oleh faktor alam. Tidakkah Anda melihat Abdullah bin Salam hanya bertanya tentang kemiripan yang masih mungkin untuk dijawab, dan tidak bertanya tentang penentuan jenis kelamin, meskipun itu lebih dalam daripada sekedar kemiripan rupa. Wallahu a’lam. Kalau Rasulullah shallallahu’alaihi wa salam telah mengatakannya, berarti itulah informasi yang benar.Bagaimanapun juga bukti-bukti ini mematahkan apa yang diklaim sebagian ilmuwan alam, bahwa ia tahu sebab-sebab janin menjadi lelaki atau wanita. Wallaahu a’lam.

[Diambil dari Miftahu Daar Sa'adah karya Ibn Al Qayyim Al Jauziyah rahimahullah.]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun