Mohon tunggu...
Teddy Tedjakusuma
Teddy Tedjakusuma Mohon Tunggu... -

Ikut mengumpulkan, menyebarkan, dan mewujudkan nilai-nilai kebaikan, insya Allah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

[Mahabharata] Keputusan Sulit Prabu Salya (2)

10 Desember 2012   11:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:54 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Keputusan Sulit Prabu Salya (2)

Diceritakan kembali dari: Komik "Mahabharata" karya R.A. Kosasih

Episode sebelumnya:

http://sosbud.kompasiana.com/2012/12/02/mahabharata-keputusan-sulit-prabu-salya-1-513589.html?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kanawp

Setelah menyimak cerita anaknya, Resi Bagaspati pun bertanya kepada Pujawati.

“Anakku, aku ingin bertanya padamu dan kau harus menjawab dengan jujur.

Siapakah yang lebih kau cintai, aku ayahmu atau suamimu?”

Mendapat pertanyaan ini tentu saja Pujawati kaget dan bingung.  Alih-alih mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, ia kini malah harus menjawab pertanyaan yang tak pernah sekalipun terlintas dalam benaknya.  Lama ia berfikir, namun akhirnya iapun mencoba menjawab dengan hati-hati.

“Ayah, aku sangat mencintai Ayah dan juga Kanda Narasoma.  Hidupku terasa lengkap dan bahagia bersama kalian berdua.  Seandainya Ayah tiada, maka niscaya remuklah hati hamba.  Dan seandainya Kanda Narasoma tiada, maka kiranya hamba tak kuasa lagi hidup di dunia.”

Mendengar jawaban anaknya Bagaspati pun berkata,

“Anakku Pujawati, sungguh engkau wanita yang berbudi.  Aku bangga mendapat jawaban seperti itu darimu.  Memang sudah sepatutnya demikianlah jawaban dari seorang istri yang berbakti dan mencintai suaminya.  Sekarang, coba kau panggil suamimu Narasoma. “

Pujawati pun memanggil suaminya dan tak lama kemudian mereka berdua menghadap Resi Bagaspati.

Kemudian sang resi berkata pada menantunya Narasoma,

“Anakku Narasoma, aku telah mendengar cerita Pujawati tentang pembicaraannya denganmu dan aku sepenuhnya memahami arti perumpamaan yang kau sebutkan itu.”  Sejenak Bagaspati terdiam, dan Narasoma pun merasa tak enak serta khawatir mertuanya akan memarahinya.

“Aku paham hakikat gabah yang kau maksud itu, dan aku tak menyalahkanmu.  Akulah gabah itu, benar kan Narasoma?”  Narasoma hanya dapat terdiam, ada sedikit perasaan penyesalan dalam hatinya namun ia juga sadar sepenuhnya bahwa apa yang ia telah berkata jujur pada istrinya, mengungkapkan apa yang ia rasakan apa adanya.

“Anakku, sebagai anak raja kau merasa malu memiliki mertua sepertiku, seorang raksasa.  Apalagi kelak kau akan pulang dan menjadi raja menggantikan ayahmu.  Tak pantas seorang raja memiliki mertua seorang raksasa.  Demikian yang kau fikirkan, Narasoma?” tanya Resi Bagaspati.

Kembali Narasoma hanya dapat terdiam.

“Dengarlah Narasoma. Aku mencintaimu anakku, namun aku sadar kau tak dapat menerima sepenuhnya cintaku sebagai ayah kepadamu.  Kiranya sudah waktunya kita untuk berpisah.  Sudah waktunya kau kembali ke tempatmu di Mandraka membawa istrimu Pujawati. “

“Namun sebelum berpisah…” lanjut Bagaspati, “aku ingin membekalimu sebuah kesaktian, sebagai  tanda cintaku padamu dan sebagai bekalmu menghadapi berbagai tantangan di masa depan, dan juga untuk melindungi Pujawati istrimu.  Aku mempunyai ajian, berupa seorang raksasa bernama Candrabirawa.  Dia bersemanyam dalam tubuhku.  Dia adalah seorang raksasa sakti.  Dia dapat dipanggil kapan saja olehku, dan melakukan apa saja yang diperintahkan olehku.  Kesaktiannya adalah, apabila ia dilukai, maka setiap tetes darahnya akan menjelma menjadi Chandrabirawa yang baru, demikian seterusnya sampai jumlahnya bisa ratusan bahkan ribuan, sebelum ia dapat menunaikan tugasnya. Nah aku ingin menurunkan ajian Candrabirawa ini padamu untuk kau gunakan sebagai bekal bagimu di masa depan.  Bersediakah kau anakku?”

Lama Narasoma terdiam.  Dia tak pernah meminta apapun dari mertuanya, termasuk ajian seperti ini.  Namun ia pun tak ingin menolaknya.  Ia sadar sebagai seorang raja tentunya ia membutuhkan kesaktian untuk menghadapi berbagai kemungkinan ancaman terhadap negaranya.

“Saya bersedia, Rama.” jawab Narasoma pada akhirnya.

Maka Resi Bagaspati pun menyuruh Narasoma bersemedi memusatkan segala fikirannya, dan ia pun duduk bersemedi di samping Narasoma.

Lama mereka bersemedi, sampai kemudian sebuah bayangan berbentuk raksasa keluar dari tubuh Resi Bagaspati dan masuk ke tubuh Narasoma.

Namun setelah itu Resi Bagaspati tak bangun dari semedinya, ia tetap memusatkan perhatiannya.

Tanpa disadari oleh Narasoma, tubuh Resi Bagaspati perlahan lenyap.  Narasoma baru menyadari raibnya sang resi ketika Pujawati menubruknya sambil menangis tersedu.  Dia mengatakan pada suaminya bahwa ayahnya telah menghilang.

Tiba-tiba terdengar oleh mereka berdua suara Resi Bagaspati dari atas mereka.

“Wahai anakku Pujawati dan Narasoma.  Inilah saat perpisahan aku dengan kalian.  Aku tak akan bertemu lagi dengan kalian selama-lamanya.

Narasoma, rupanya cintaku padamu hanya bertepuk sebelah tangan.  Aku tahu bahwa cintamu pada Pujawati terganggu, karena akulah gabah yang kau maksudkan ada di sepiring nasi itu.  Engkau merasa malu memiliki mertua seorang raksasa.

Ketahuilah anakku Narasoma, aku adalah titisan Betara Dharma.  Dulu Betara Dharma menitis pada seorang raksasa juga, namanya  Sukrasana, seorang yang berbudi.  Dia punya seorang kakak yang tampan bernama Sumantri.  Mereka berdua saling mencintai, tapi sayang sang kakak merasa malu memiliki adik seorang raksasa, dan ia pun tanpa sengaja membunuh adiknya itu karena Sukrasana selalu ingin berada di dekat Sumantri.

Dulu aku ingin kembali dekat dengan titisan Sumantri, karena itu aku berdoa agar diberi anak perempuan cantik agar dapat kunikahkan dengan titisan Sumantri, dan doaku terkabul hingga mendapat Pujawati yang sekarang menjadi istrimu, dan engkaulah titisan Sumantri itu.

Namun seperti Sumantri terhadap Sukrasana, engkau pun tak ingin dekat denganku.  Engkau malu sebagai anak raja dan kelak menjadi seorang raja memiliki mertua seorang raksasa sepertiku.  Maka kuputuskan bahwa sudah saatnya kita berpisah sekarang.

Narasoma, aku telah membekalimu dengan ajian Chandrabirawa.  Terimalah ia sebagai rasa cintaku padamu, dan gunakanlah ia untuk melindungi Pujawati.  Jagalah dan cintailah Pujawati sepenuh hatimu.

Anakku, sejak saat ini berhati-hatilah engkau dengan titisan Betara Dharma, karena boleh jadi kematianmu akan terjadi melalui perantaraannya.

Dan Pujawati, anakku tersayang.  Cintailah suamimu segenap hatimu, dan sejak saat ini namamu kuganti menjadi  Setiawati, karena kesetiaanmu pada suamimu.

Selamat tinggal anak-anakku.”

Demikianlah kata-kata dan wejangan terakhir Resi Bagaspati, dan iapun tak pernah kembali.  Pujawati pun menangis sedih ditinggal ayahnya secara tiba-tiba seperti ini. Narasoma tak dapat berkata apa-apa, ia sadar semua telah menjadi takdir yang tak dapat diubah.

Sesuai perintah ayahnya mereka pun kemudian meninggalkan padepokan Argabelah menuju Mandraka.   Beberapa tahun kemudian Prabu Artayana ayah Narasoma meninggal dan Narasoma pun diangkat menjadi raja Mandraka dengan nama Prabu Salya, bersama Setiawati permaisurinya yang setia.

====

Lamunan Prabu Salya pun buyar, dan waktu menjelang pagi hari.  Di saat mengingat masa lalunya seperti sekarang selalu terlintas dalam fikirannya siapakah gerangan titisan Betara Dharma, dan kapankah akan ia temui?  Apakah ia akan menemuinya di peperangan yang segera terjadi ini?

Iapun ingat Banowati, anak yang dikasihinya, saat ini katanya sakit.

Cinta Prabu Salya sebagai orang tua kepada anaknya mengalahkan segalanya, apalagi setelah ia ingat masa lalunya tentang cintanya pada istrinya.  Maka ia pun menggagalkan rencananya untuk pergi ke Wirata membela Pandawa, berubah arah menuju Hastina diiringi beberapa ponggawa, dan memerintahkan pasukannya untuk kembali ke Mandraka.

Sebuah keputusan yang kelak ia sesali, manakala ia tahu bahwa berita itu adalah jebakan belaka dari Prabu Duryudana dan Patih Sangkuni, yang tak rela raja yang sakti itu memihak Pandawa.  Banowati tidaklah sakit seperti diberitakan.  Namun Prabu Salya tak dapat lagi keluar dari Hastina karena bujuk rayu Kurawa dan rasa kesatrianya.

Kelak ia pun harus terjun ke kancah perang Bharatayudha, terpaksa menghadapi keponakan-keponakannya Pandawa yang ia cintai.

Sekian.

(Teddy T)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun