Tiba-tiba terdengar oleh mereka berdua suara Resi Bagaspati dari atas mereka.
“Wahai anakku Pujawati dan Narasoma. Inilah saat perpisahan aku dengan kalian. Aku tak akan bertemu lagi dengan kalian selama-lamanya.
Narasoma, rupanya cintaku padamu hanya bertepuk sebelah tangan. Aku tahu bahwa cintamu pada Pujawati terganggu, karena akulah gabah yang kau maksudkan ada di sepiring nasi itu. Engkau merasa malu memiliki mertua seorang raksasa.
Ketahuilah anakku Narasoma, aku adalah titisan Betara Dharma. Dulu Betara Dharma menitis pada seorang raksasa juga, namanya Sukrasana, seorang yang berbudi. Dia punya seorang kakak yang tampan bernama Sumantri. Mereka berdua saling mencintai, tapi sayang sang kakak merasa malu memiliki adik seorang raksasa, dan ia pun tanpa sengaja membunuh adiknya itu karena Sukrasana selalu ingin berada di dekat Sumantri.
Dulu aku ingin kembali dekat dengan titisan Sumantri, karena itu aku berdoa agar diberi anak perempuan cantik agar dapat kunikahkan dengan titisan Sumantri, dan doaku terkabul hingga mendapat Pujawati yang sekarang menjadi istrimu, dan engkaulah titisan Sumantri itu.
Namun seperti Sumantri terhadap Sukrasana, engkau pun tak ingin dekat denganku. Engkau malu sebagai anak raja dan kelak menjadi seorang raja memiliki mertua seorang raksasa sepertiku. Maka kuputuskan bahwa sudah saatnya kita berpisah sekarang.
Narasoma, aku telah membekalimu dengan ajian Chandrabirawa. Terimalah ia sebagai rasa cintaku padamu, dan gunakanlah ia untuk melindungi Pujawati. Jagalah dan cintailah Pujawati sepenuh hatimu.
Anakku, sejak saat ini berhati-hatilah engkau dengan titisan Betara Dharma, karena boleh jadi kematianmu akan terjadi melalui perantaraannya.
Dan Pujawati, anakku tersayang. Cintailah suamimu segenap hatimu, dan sejak saat ini namamu kuganti menjadi Setiawati, karena kesetiaanmu pada suamimu.
Selamat tinggal anak-anakku.”
Demikianlah kata-kata dan wejangan terakhir Resi Bagaspati, dan iapun tak pernah kembali. Pujawati pun menangis sedih ditinggal ayahnya secara tiba-tiba seperti ini. Narasoma tak dapat berkata apa-apa, ia sadar semua telah menjadi takdir yang tak dapat diubah.