“Aku paham hakikat gabah yang kau maksud itu, dan aku tak menyalahkanmu. Akulah gabah itu, benar kan Narasoma?” Narasoma hanya dapat terdiam, ada sedikit perasaan penyesalan dalam hatinya namun ia juga sadar sepenuhnya bahwa apa yang ia telah berkata jujur pada istrinya, mengungkapkan apa yang ia rasakan apa adanya.
“Anakku, sebagai anak raja kau merasa malu memiliki mertua sepertiku, seorang raksasa. Apalagi kelak kau akan pulang dan menjadi raja menggantikan ayahmu. Tak pantas seorang raja memiliki mertua seorang raksasa. Demikian yang kau fikirkan, Narasoma?” tanya Resi Bagaspati.
Kembali Narasoma hanya dapat terdiam.
“Dengarlah Narasoma. Aku mencintaimu anakku, namun aku sadar kau tak dapat menerima sepenuhnya cintaku sebagai ayah kepadamu. Kiranya sudah waktunya kita untuk berpisah. Sudah waktunya kau kembali ke tempatmu di Mandraka membawa istrimu Pujawati. “
“Namun sebelum berpisah…” lanjut Bagaspati, “aku ingin membekalimu sebuah kesaktian, sebagai tanda cintaku padamu dan sebagai bekalmu menghadapi berbagai tantangan di masa depan, dan juga untuk melindungi Pujawati istrimu. Aku mempunyai ajian, berupa seorang raksasa bernama Candrabirawa. Dia bersemanyam dalam tubuhku. Dia adalah seorang raksasa sakti. Dia dapat dipanggil kapan saja olehku, dan melakukan apa saja yang diperintahkan olehku. Kesaktiannya adalah, apabila ia dilukai, maka setiap tetes darahnya akan menjelma menjadi Chandrabirawa yang baru, demikian seterusnya sampai jumlahnya bisa ratusan bahkan ribuan, sebelum ia dapat menunaikan tugasnya. Nah aku ingin menurunkan ajian Candrabirawa ini padamu untuk kau gunakan sebagai bekal bagimu di masa depan. Bersediakah kau anakku?”
Lama Narasoma terdiam. Dia tak pernah meminta apapun dari mertuanya, termasuk ajian seperti ini. Namun ia pun tak ingin menolaknya. Ia sadar sebagai seorang raja tentunya ia membutuhkan kesaktian untuk menghadapi berbagai kemungkinan ancaman terhadap negaranya.
“Saya bersedia, Rama.” jawab Narasoma pada akhirnya.
Maka Resi Bagaspati pun menyuruh Narasoma bersemedi memusatkan segala fikirannya, dan ia pun duduk bersemedi di samping Narasoma.
Lama mereka bersemedi, sampai kemudian sebuah bayangan berbentuk raksasa keluar dari tubuh Resi Bagaspati dan masuk ke tubuh Narasoma.
Namun setelah itu Resi Bagaspati tak bangun dari semedinya, ia tetap memusatkan perhatiannya.
Tanpa disadari oleh Narasoma, tubuh Resi Bagaspati perlahan lenyap. Narasoma baru menyadari raibnya sang resi ketika Pujawati menubruknya sambil menangis tersedu. Dia mengatakan pada suaminya bahwa ayahnya telah menghilang.