Dan, perhatian Kinanti beralih ke cowok terakhir. Cowok yang, hem, ah, nggak bisa digambarkan dengan kata-kata. Pokoknya, cowok paling jadi pusat perhatian di kelompok mereka. Awan yang udah segitu gantengnya aja kalah kalau urusan pusat perhatian. Nggak percaya? Tengok aja reaksi Kinanti. Baru juga menatap cowok itu belum ada dua detik, hampir aja dia kelepasan ngakak. Untung aja Kinanti masih bisa kuat iman. Kan ceritanya lagi marah-marah karena tugas kelompok Bahasa Indonesia mereka terancam berantakan lantaran hasil karangan mereka juga berantakan.
"Coba aku lihat hasil kamu, Ma," todong Kinanti ketika Darma masih terbengong-bengong dengan omelan cewek itu barusan.
Dengan perasaan takut-takut, cowok berambut kriwilitu memungut selembar (em, kurang dari selembar lebih tepatnya) kertas yang mungkin hasil sobekan buku tulisnya dari tas punggung cokelat tua miliknya.
Melihat kertas yang dijulurkan Darma itu, sontak anak-anak pada melongo. Entah antara terlalu irit atau nggak ngerti betul definisi ujaran 'satu lembar' sehingga dengan pede-nya Darma menyerahkan tiga perempat lembar kertas dari buku tulis Kiky.
"Kebiasaan," Awan membatin.
Ya, mereka masih heran dengan kebiasaan Darma yang selalu irit dalam mengeluarkan kertas dari buku tulis Kiky-nya. Setiap ulangan pelajaran apapun, guru suka negur Darma agar cowok itu "rela" mengeluarkan satu lembar utuh. Katanya sih, biar sopanlah. Yakali kita guru udah capek-capek bikin soal, tapi cuma dibalas tiga perempat lembar kertas buat jawaban. Udah gitu, tulisannya mirip-mirip tulisan dokter, lagi. Untung aja Darma nggak nulis resep obat betulan. Bisa-bisa anak-anak pada nyerbupuskesmas terdekat karena muntah darah.
"Kamu itu niat ikut ulangan nggak, sih?" tegur salah satu guru suatu kali ketika sedang membagikan hasil ulangan minggu sebelumnya. "Lihat kertas jawaban teman-teman kamu! Masa keluarkan satu lembar kertas dari buku tulis kamu aja nggak mau? Kalau jawaban kamu betul semua, sih, Ibu masih maklum. Lha, ini. Dari sepuluh soal, cuma ada satu yang benar."
Nggak tega Darma terus-terusan kena tegur, akhirnya anak-anak kelas menggalakan program "Kertas Untuk Darma". Teknisnya, mereka patungan beberapa ratus perak untuk membeli buku tulis setiap minggunya. Buku tulis khusus buat Darma. Tapi, program itu nggak bertahan lama karena ditentang oleh sebagian besar anak. Lantaran, mereka mulai merasa nggak rela uang jajannya dipangkas demi kepentingan Darma. Katanya, walaupun cuma beberapa ratus perak, lumayan. Ya, lumayan buat bayar parkir atau pompa ban motor misalnya.Â
Program "Kertas Untuk Darma" itu bukan satu-satunya program yang mereka buat untuk Darma. Ada juga program lainnya. Misalnya, "Koin Untuk Darma" ketika Darma pengin pulang tapi kehabisan bensin dan uang jajannya lenyap lantaran jajan gila-gilaan di kantin, "Senyum Untuk Darma" ketika Darma ceritanya lagi sedih atau lagi galau karena cewek incerannya udah jadian sama orang lain, "Lilin Untuk Darma" ketika Darma lagi di-bullysama guru karena warna kulitnya gelap gulita, dan kami tergerak untuk kasih lilin supaya bisa bikin cowok itu sedikit lebih terang. Hihi. Untung aja nggak jadi kasih lampu petromak. Tadinya, anak-anak pengin kasih "Lampu Petromak Untuk Darma" soalnya, kan, jauh lebih terang dari lilin. Tapi karena repot bawanya, yaudah nggak jadi.
Oh ya. Ngomong-ngomong soal Darma, mereka jadi ingat waktu pertama kali Darma masuk ke kelas mereka. Ya, cowok itu emang siswa pindahan ketika mereka baru naik kelas XI.
Ketika itu, hari masih sangat pagi. Hari masih gelap. Matahari belum tampak. Lampu-lampu jalan dan rumah-rumah penduduk masih menyala. Bulan masih terlihat jelas di langit. Belum banyak orang yang beraktivitas, kecuali pedagang pasar tradisional. Jalanan masih sangat lengang. Dan....