sandiwara. Benar juga pada sisi di mana sandiwara meniscayakan banyak peranan yang harus diisi sekian banyak aktor. Dalam sandiwara, semakin meruyak persoalan dan masalah, akan memastikan kian banyaknya aktor.Maka benar adanya bila kearifan lokal kita di berbagai kawasan Nusantara bilang, "Jangan cari masalah!" Â Tambah masalah artinya akan bermunculan pula para aktor yang ingin mengambil peran. Â
Dunia, kata orang, adalah panggungHadirnya masalah akan memastikan adanya ceruk untuk diisi aktor. Untung kalau aktornya tepat dan profesional. Tetapi bukankah sebuah peran bisa saja diisi pengangguran yang perlu kegiatan, tunakarya yang butuh penghasilan, bahkan bukan tak mungkin figur megalomania yang haus panggung?
Banyak kejadian di Tanah Air, ternyata, digulirkan oleh aktor-aktor perkara seperti itu. Juga dalam banyak kasus pertanahan. Meski tidak identik, mungkin hal sejenis itu pula yang berkembang dalam kasus agraria yang terjadi di Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat. Â Â Â
Awal Mula Konflik Agraria di Pasangkayu
Sejatinya akar masalah munculnya konflik agraria di Pasangkayu, terutama antara  perusahaan perkebunan sawit PT Mamuang (PT MMG) dengan beberapa kelompok warga, diawali dengan ketidakterbukaan tapal batas Hak Guna Usaha (HGU) PT MMG kepada publik. Hal itu yang kemudian  menjadi pemicu munculnya konflik, baik dengan masyarakat, NGO (LSM), maupun dengan pemerintah daerah. Apalagi kemudian masyarakat menyoroti manajemen perusahaan, manakala PT MMG diduga kuat menanam di luar ijin HGU. Sementara kalangan LSM pun mulai mengotak-atik tumpang tindihnya HGU PT MMG dengan kawasan hutan lindung.
Bertahun-tahun tidak kunjung terselesaikan dengan tuntas, belakangan konflik tanah tersebut mengerucut kepada setidaknya empat "kelompok kasus". Kasus-kasus antara PT MMG dengan publik itu misalnya kasus klaim tanah ulayat Suku Kaili Tado, kasus gugatan oleh kelompok Agung, kasus gugatan oleh kelompok Dedi Sudirman Lasadindi, dan konflik tanah dengan Frans Hemsi.
Seiring proses pengajuan HGU PT MMG pada 28 April 1994 Panitia Tetap Penyedia Tanah Kabupaten Tingkat II Mamuju (otorita Kawasan saat itu) meninjau lokasi lahan yang dimohonkan HGU. Terdapat temuan bahwa sebagian lahan telah ditempati masyarakat Kabuyu sebagai pemukiman dan kebun kakao masyarakat. Hal itu membuat pemohon HGU dan Panitia Penyedia Tanah bersepakat untuk mengeluarkan lahan seluas 250 hektare dari permohonan HGU.
"Ketika 1994 inilah didapati ada pemukiman warga di dalamnya. Perusahaan membebaskan 250 hektare. Kita siapkan lahan. Kita tata," kata Ali Teguh, Community Development Area Manager Celebes 1 Astra Agro Lestari.
Kesepakatan ini dibuktikan dengan berita acara tanggal 28 April 1994. Lebih lanjut, Bupati Kabupaten Mamuju saat itu menerbitkan rekomendasi No. 522.12/828/IV/94/Ekon tanggal 30 April 1994 tentang Keterangan Tanah Tidak Bermasalah di lokasi pemohon (PT MMG) Desa Martasari, Kecamatan Pasangkayu.
Namun, setelah sekian lama PT MMG beroperasi di Desa Martasari, masyarakat Dusun Kabuyu menuntut pengembalian lahan seluas 250 hektare yang dianggap sebagai lahan ulayat Suku Kaili Tado. Padahal lahan seluas 250 hektare itu telah dikeluarkan dari permohonan HGU, yang saat ini menjadi pemukiman di Dusun Kabuyu.
Pada tahun 2006 terjadi perselisihan antara PT MMG dengan MA Agung T, BSc (ketua kelompok tani pesisir). Agung yang bukan asli warga Martasari namun merupakan ketua kelompok tani se-Pasangkayu itu menuntut "pengembalian lahan" tidak kurang dari 2000 hektare kepada PT MMG. Awalnya, di kasus yang berproses hingga Peninjauan Kembali (PK) tersebut, Agung menggugat 1.750 hektare - 3.000 hektare lahan PT MMG sebagai lahan masyarakat.
"Tetapi setelah PK-nya ditolak, Pak Agung menggugat lagi seluruh wilayah kerja PT Mamuang seluas 8.000 hektare," kata mantan Kepala Desa Martasari, I Wayan Sucana. "Kalau menurut beliau itu, perusahaan sudah kelebihan mengelola hingga merambah lokasi (milik) warga," sambungnya.
 Â
Agung juga mengajukan alasan bahwa HGU ada di Martajaya, bukan Martasari, karena secara awal nama PT MMG ada di Desa Martajaya. "Tetapi secara batas-batas alam, wilayah Mamuang memang adanya di Martarasi, karena ada batas-batas Lalundu (Sulawesi Tengah), kami Martasari di barat, di selatan ada Tikke, secara batas alam memag masuk di Martasari, bukan Martajaya," kata Wayan.
Tentu saja itu hanya kesalahan penulisan administrasi. Karena itu tidak heran kalau setiap proses hukum, mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, bahkan Peninjauan Kembali (PK), ia selalu kalah. Dasar tuntutannya hanya surat kepemilikan yang ditandatangani anggota kelompok tani.
Belakangan, mulai terasa belangnya Agung, yang kerap memungut dana dari pendukungnya itu. Hingga kini Wayan memperkirakan korban penarikan dana oleh Agung itu mencapai lebih dari 3000 orang. Menurut Wayan, saat itu ada warganya, seorang transmigran asal Bali, yang telah menghabiskan uang hingga Rp 500.000.000 untuk urusan itu. "Saat ini orang tersebut telah jatuh miskin, sampai kehilangan aset-asetnya," kata Wayan.
Ada lagi tokoh yang mengklaim memiliki lahan hak milik di dalam HGU PT MMG, Frans Hemsi. Kasus yang sudah berlangsung sejak tahun 2005 itu dimulai dari klaim keluarga Hemsi terhadap tanah seluas 50 hektare di dalam HGU. Hemsi menganggap bahwa orang tuanya telah menggarap lahan tersebut sejak lama, jauh sebelum PT MMG menanam tanaman sawitnya.
Hemsi bahkan mengatakan, tanaman sawit yang ada saat ini pun merupakan tanaman yang saat itu ditanam keluarga dan masyarakat sekitar. Karena itu ia merasa memiliki hak untuk memanen. Hamsi mengatasnamakan kelompok tani dalam menggarap lahan tersebut.
Konflik dan perlawanan berlanjut hingga ada upaya dari PT MMG untuk menyelesaikan lewat jalur hukum. Hemsi kemudian terbukti bersalah atas beberapa tuduhan hingga keluar masuk penjara sebanyak empat kali. Tuduhan yang dibebankan kepada Hemsi adalah pencurian buah sawit, perusakan alat perusahaan, dan pengancaman karyawan perusahaan.
Pada 2018 mulai ada relasi antara Hemsi dan Walhi Sulawesi Tengah dalam upaya mengklaim lahan tersebut. Saat itu bahkan terbit Sertifikat Hak Milik (SHM) di lahan tersebut. SHM yang terbit menuliskan luasan 43 hektare milik beberapa orang anggota kelompok tani, termasuk Hemsi.
Namun setelah ditelusuri lebih jauh, SHM yang dimiliki Hemsi itu dikeluarkan oleh BPN Sulawesi Tengah, sedangkan lokasi yang diklaim termasuk dalam Provinsi Sulawesi Barat. Secara administratif, SHM yang terbit harusnya dikeluarkan BPN pada wilayah administratif letak lahan. Jika lahan tersebut masuk ke dalam wilayah administratif Sulawesi Barat, maka BPN Sulawasi Barat yang seharusnya menerbitkan SHM. Dengan SHM itu Hemsi dan kawan-kawan tetap melakukan aktivitas di lahan tersebut dengan melakukan perawatan kebun dan memanennya kala berbuah. Hemsi bahkan telah melanglang buana ke Belanda dalam perjuangannya itu.
"Tokoh" lainnya dalam konflik tanah di Pasangkayu adalah pemuda Dedi Sudirman Lasadindi, yang usianya masih di bawah 30 tahun. Dedi asalnya dari Palu yang menikah dengan perempuan asli Kabuyu. Dedi pernah dipenjara atas kasus pemukulan Bupati Pasangkayu yang tidak ada hubungan dengan kasus tanah tersebut, serta atas kasus pengancaman karyawan serta perusakan alat dan kebun perusahaan.
Dedi dan kelompoknya menuduh PT MMG menyerobot lahan warga Kabuyu. Bukti legal yang mereka jadikan dasar adalah pembayaran PBB oleh masyarakat dari tahun 1992--1999 yang disajikan dalam lampiran. Mereka mengklaim bahwa lahan yang dibayarkan pajaknya itu berada di dalam HGU. Â Lokasi yang mereka klaim itu luasnya sekitar 250 hektare, berada di sekitar Sungai Pakava dan Sungai Pasangkayu. Mereka yakin kalim tersebut benar karena sampai saat ini PT MMG tidak pernah membuka peta HGU sehingga timbul kecurigaan bahwa PT MMG merampas lahan masyarakat dan melebarkan area kerja di luar HGU.
Tentang Dedi, I Wayan Sucana punya cerita. Menurut Wayan, Dedi adalah pemuda yang tidak bekerja, tidak pula tamat SMP. Namun ia mengakui, pemuda itu rajin belajar. Wayan sempat mendengar Dedi pernah mengaku sarjana tamatan Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah. "Saya tahu dan yakin, ia tak pernah sekolah SMA," kata Wayan, "Saya tahu persis 'anak itu'."
Wayan menilai gerakan yang dilakukan Dedi mengandung motif individu dan ekonomi. Dalam membangun narasinya ke publik, Dedi dinilai tidak memiliki bukti yang kuat. Ia hanya menang secara komunikasi dengan masyarakat. "Tak ada juga bukti-bukti kuat yang bisa ia ajukan," kata Wayan. Bila orang curiga Dedi berjuang karena alasan ekonomi, Wayan menilai hal itu mungkin saja. "Secara ekonomi (dia) tak punya. Kebun saja dia tak ada." Â
Pendapat Tokoh dan Warga
Benarkah HGU PT MMG mencaplok tanah ulayat Suku Kaili Tado? Sulit untuk menemukan pihak yang membenarkan klaim itu selain para pengklaim. "Sampai saat ini kami tak tahu apakah memang di Pasangkayu, ada tanah adat atau tanah ulayat. Kami juga tak bisa menyalahkan masyarakat bahwa itu bukan hak mereka, juga tak berani. Di situ kan ada proses hukum, ada BPN, pemerintah pun belum menegaskan hal itu,"kata Wayan Sucana. Â
Hanya, menurut Wayan, bahkan pada 1990-an saat para transmigran swakarsa masuk, tak pernah ada bukti dan cerita keberadaan tanah ulayat tersebut. Sementara Wayan datang ke lokasi yang kini bernama Martasari itu pada 1987, bapaknya sudah masuk pada 1980-an. Saat itu "kondisi" Martasari masih hutan belantara.
"Saya saat itu masih menjumpai penduduk asli yang rumahnya menempel atau berada di atas pohon, hingga 1990 itu masih ada. Kalau ada pohon besar, mereka bikinkan rumah di situ," kata Wayan. Penduduk asli itu petani nomaden, yang lebih senang menebang hutan kayu daripada mengolah rumput. Habis tanam padi satu kali, mereka meninggalkan lahan tersebut. Perubahan baru datang setelah kedatangan para transmigran swakarsa tersebut.
Menurut Wayan, pada masa itu lahan warga Kaili luas-luas. Ada yang punya 4 hektare hingga 10 hektare. Sebagai pendatang, selain mendapat pembagian tanah dari pemerintah seluas 3 hektare, banyak pendatang bisa menambah kepemilikan lahan mereka. "Kami beli dari warga asli. Mereka biasa menjual tanah untuk keperluan beli sepeda motor, menikahkan anak, juga bila timbul keinginan untuk membeli barang-barang elektronika," kata Wayan. "Jadi kalau disebutkan ada tanah adat atau apa, kan mereka ini sudah jual semuanya."
Tentang orang-orang di Pasangkayu yang mengaku sebagai masyarakat lokal Kaili Tado, sejumlah pihak menyangsikan kebenaran terhadap label tersebut. Â Iwan Lapasere, tokoh pers Sulawesi Tengah, menyatakan bahwa pusat dan asal orang-orang Kaili Tado itu tinggal di dekat Danau Lindu, Kecamatan Lindu, di Kabupaten Sigi. Wilayah itu berada di dalam Taman Nasional Lore Lindu. Iwan meragukan bagaimana mungkin orang-orang Kaili Tado punya tanah Ulayat (tanah adat) di Pasangkayu, yang jaraknya mencapai ratusan kilometer dari wilayah Danau Lindu, wilayah asal mereka. Â
Kesangsian itu tidak hanya diutarakan Iwan. Berkenaan dengan adanya sub-etnis Kaili Tado di Pasangkayu, Budayawan Jamrin Abubakar turut memberikan penjelasan. Menurut Jamrin, Kaili Tado itu bermukim di Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah. Nama Lindu sendiri  dikarenakan adanya legenda berkenaan dengan berkelahinya anjing milik Sawerigading yang datang ke Lembah Palu, dengan seekor Lindu.  Wilayah tersebut berada di dalam Taman Nasional Lore Lindu. Luasnya mencapai 34,88 km, berada di ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut.
Timothius, mantan Kepala Desa Martasari, Pedongga, dua periode sejak 1993- 2008, mengatakan dirinya tak menemukan bukti otentik satu pun terkait tanah ulayat. Artinya status blok yang diklaim Hemsi sebagai tanah ulayat, bagi dia belum terbukti.
Tentang hak ulayat, menurut Timothius, bagi dirinya tidak mungkin itu akan menjadi areal HGU, bila merupakan tanah ulayat. "Itu intinya. Mengapa? Karena terbitnya HGU itu berdasarkan ijin dari pemerintah, sejauh yang saya tahu ketika itu diawali dengan pelepasan kawasan hutan, kemudian ada pencadangan areal, dan ijin penerbitan sertifikat HGU," kata dia.
Bila kemudian ada yang mengatakan itu tanah ulayat, menurit dia mereka tak punya dasar apa-apa untuk mengatakan hal itu. "Karena sepengetahuan saya, tanah ulayat itu tanah yang dikuasai sekelompok adat, sementara tidak ada desa adat di sini."
Â
Kelompok adat yang ada sekarang, yang menyebut diri Suku Kaili Tado, sepengetahuan Timothius baru muncul setelah wilayah itu bersertifikat HGU. "Belum ada nama Suku Kaili Tado sebelum keluarnya sertifikat HGU," kata dia. Atas alasan itu, Timothius berpegang pada sikap bahwa sejauh ini ia tak menemukan satu pun bukti otentik bahwa itu tanah ulayat.
Mana yang lebih dulu, proses adanya sengketa atau pembentukan HGU? Menurut Timothius, sertifikasi HGU datang lebuh dulu. "Lalu mungkin ada beberapa kelompok atau pihak yang mengklaim wilayah ini sebagai hak ulayat. Jadilah konflik," kata dia. Tetapi menurutnya, tidak sebagaimana kasus gugatan MA Agung, hal itu juga tidak bisa disebut sengketa karena tidak pernah diajukan sebagai sebuah kasus hukum. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H