Mohon tunggu...
Abi Hasantoso
Abi Hasantoso Mohon Tunggu... Akuntan - Jurnalis

Lahir di Jakarta pada 26 Februari 1967. Berkecimpung di dunia jurnalistik sebagai wartawan Majalah HAI pada 1988 - 1994. Selama bekerja di majalah remaja itu ia sempat meliput konser musik New Kids On The Block di Selandia Baru dan Australia serta Toto dan Kriss Kross di Jepang. Juga menjadi wartawan Indonesia pertama yang meliput NBA All Star Game di Minnesota, AS. Menjadi copywriter di tiga perusahaan periklanan dan menerbitkan buku Namaku Joshua, biografi penyanyi cilik Joshua Suherman, pada 1999. Kini, sembari tetap menulis lepas dan coba jadi blogger juga, Abi bekerja di sebuah perusahaan komunikasi pemasaran.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Aktor-aktor dalam Sandiwara Konflik Agraria di Sulawesi Barat

12 September 2023   23:22 Diperbarui: 12 September 2023   23:28 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Wayan menilai gerakan yang dilakukan Dedi mengandung motif individu dan ekonomi. Dalam membangun narasinya ke publik, Dedi dinilai tidak memiliki bukti yang kuat. Ia hanya menang secara komunikasi dengan masyarakat. "Tak ada juga bukti-bukti kuat yang bisa ia ajukan," kata Wayan. Bila orang curiga Dedi berjuang karena alasan ekonomi, Wayan menilai hal itu mungkin saja. "Secara ekonomi (dia) tak punya. Kebun saja dia tak ada."  

Pendapat Tokoh dan Warga

Benarkah HGU PT MMG mencaplok tanah ulayat Suku Kaili Tado? Sulit untuk menemukan pihak yang membenarkan klaim itu selain para pengklaim. "Sampai saat ini kami tak tahu apakah memang di Pasangkayu, ada tanah adat atau tanah ulayat. Kami juga tak bisa menyalahkan masyarakat bahwa itu bukan hak mereka, juga tak berani. Di situ kan ada proses hukum, ada BPN, pemerintah pun belum menegaskan hal itu,"kata Wayan Sucana.  

Hanya, menurut Wayan, bahkan pada 1990-an saat para transmigran swakarsa masuk, tak pernah ada bukti dan cerita keberadaan tanah ulayat tersebut. Sementara Wayan datang ke lokasi yang kini bernama Martasari itu pada 1987, bapaknya sudah masuk pada 1980-an. Saat itu "kondisi" Martasari masih hutan belantara.

"Saya saat itu masih menjumpai penduduk asli yang rumahnya menempel atau berada di atas pohon, hingga 1990 itu masih ada. Kalau ada pohon besar, mereka bikinkan rumah di situ," kata Wayan. Penduduk asli itu petani nomaden, yang lebih senang menebang hutan kayu daripada mengolah rumput. Habis tanam padi satu kali, mereka meninggalkan lahan tersebut. Perubahan baru datang setelah kedatangan para transmigran swakarsa tersebut.

Menurut Wayan, pada masa itu lahan warga Kaili luas-luas. Ada yang punya 4 hektare hingga 10 hektare. Sebagai pendatang, selain mendapat pembagian tanah dari pemerintah seluas 3 hektare, banyak pendatang bisa menambah kepemilikan lahan mereka. "Kami beli dari warga asli. Mereka biasa menjual tanah untuk keperluan beli sepeda motor, menikahkan anak, juga bila timbul keinginan untuk membeli barang-barang elektronika," kata Wayan. "Jadi kalau disebutkan ada tanah adat atau apa, kan mereka ini sudah jual semuanya."

Tentang orang-orang di Pasangkayu yang mengaku sebagai masyarakat lokal Kaili Tado, sejumlah pihak menyangsikan kebenaran terhadap label tersebut.  Iwan Lapasere, tokoh pers Sulawesi Tengah, menyatakan bahwa pusat dan asal orang-orang Kaili Tado itu tinggal di dekat Danau Lindu, Kecamatan Lindu, di Kabupaten Sigi. Wilayah itu berada di dalam Taman Nasional Lore Lindu. Iwan meragukan bagaimana mungkin orang-orang Kaili Tado punya tanah Ulayat (tanah adat) di Pasangkayu, yang jaraknya mencapai ratusan kilometer dari wilayah Danau Lindu, wilayah asal mereka.  

Kesangsian itu tidak hanya diutarakan Iwan. Berkenaan dengan adanya sub-etnis Kaili Tado di Pasangkayu, Budayawan Jamrin Abubakar turut memberikan penjelasan. Menurut Jamrin, Kaili Tado itu bermukim di Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah. Nama Lindu sendiri  dikarenakan adanya legenda berkenaan dengan berkelahinya anjing milik Sawerigading yang datang ke Lembah Palu, dengan seekor Lindu.  Wilayah tersebut berada di dalam Taman Nasional Lore Lindu. Luasnya mencapai 34,88 km, berada di ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut.

Timothius, mantan Kepala Desa Martasari, Pedongga, dua periode sejak 1993- 2008, mengatakan dirinya tak menemukan bukti otentik satu pun terkait tanah ulayat. Artinya status blok yang diklaim Hemsi sebagai tanah ulayat, bagi dia belum terbukti.

Tentang hak ulayat, menurut Timothius, bagi dirinya tidak mungkin itu akan menjadi areal HGU, bila merupakan tanah ulayat. "Itu intinya. Mengapa? Karena terbitnya HGU itu berdasarkan ijin dari pemerintah, sejauh yang saya tahu ketika itu diawali dengan pelepasan kawasan hutan, kemudian ada pencadangan areal, dan ijin penerbitan sertifikat HGU," kata dia.

Bila kemudian ada yang mengatakan itu tanah ulayat, menurit dia mereka tak punya dasar apa-apa untuk mengatakan hal itu. "Karena sepengetahuan saya, tanah ulayat itu tanah yang dikuasai sekelompok adat, sementara tidak ada desa adat di sini."
 
Kelompok adat yang ada sekarang, yang menyebut diri Suku Kaili Tado, sepengetahuan Timothius baru muncul setelah wilayah itu bersertifikat HGU. "Belum ada nama Suku Kaili Tado sebelum keluarnya sertifikat HGU," kata dia. Atas alasan itu, Timothius berpegang pada sikap bahwa sejauh ini ia tak menemukan satu pun bukti otentik bahwa itu tanah ulayat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun