"Tetapi setelah PK-nya ditolak, Pak Agung menggugat lagi seluruh wilayah kerja PT Mamuang seluas 8.000 hektare," kata mantan Kepala Desa Martasari, I Wayan Sucana. "Kalau menurut beliau itu, perusahaan sudah kelebihan mengelola hingga merambah lokasi (milik) warga," sambungnya.
 Â
Agung juga mengajukan alasan bahwa HGU ada di Martajaya, bukan Martasari, karena secara awal nama PT MMG ada di Desa Martajaya. "Tetapi secara batas-batas alam, wilayah Mamuang memang adanya di Martarasi, karena ada batas-batas Lalundu (Sulawesi Tengah), kami Martasari di barat, di selatan ada Tikke, secara batas alam memag masuk di Martasari, bukan Martajaya," kata Wayan.
Tentu saja itu hanya kesalahan penulisan administrasi. Karena itu tidak heran kalau setiap proses hukum, mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, bahkan Peninjauan Kembali (PK), ia selalu kalah. Dasar tuntutannya hanya surat kepemilikan yang ditandatangani anggota kelompok tani.
Belakangan, mulai terasa belangnya Agung, yang kerap memungut dana dari pendukungnya itu. Hingga kini Wayan memperkirakan korban penarikan dana oleh Agung itu mencapai lebih dari 3000 orang. Menurut Wayan, saat itu ada warganya, seorang transmigran asal Bali, yang telah menghabiskan uang hingga Rp 500.000.000 untuk urusan itu. "Saat ini orang tersebut telah jatuh miskin, sampai kehilangan aset-asetnya," kata Wayan.
Ada lagi tokoh yang mengklaim memiliki lahan hak milik di dalam HGU PT MMG, Frans Hemsi. Kasus yang sudah berlangsung sejak tahun 2005 itu dimulai dari klaim keluarga Hemsi terhadap tanah seluas 50 hektare di dalam HGU. Hemsi menganggap bahwa orang tuanya telah menggarap lahan tersebut sejak lama, jauh sebelum PT MMG menanam tanaman sawitnya.
Hemsi bahkan mengatakan, tanaman sawit yang ada saat ini pun merupakan tanaman yang saat itu ditanam keluarga dan masyarakat sekitar. Karena itu ia merasa memiliki hak untuk memanen. Hamsi mengatasnamakan kelompok tani dalam menggarap lahan tersebut.
Konflik dan perlawanan berlanjut hingga ada upaya dari PT MMG untuk menyelesaikan lewat jalur hukum. Hemsi kemudian terbukti bersalah atas beberapa tuduhan hingga keluar masuk penjara sebanyak empat kali. Tuduhan yang dibebankan kepada Hemsi adalah pencurian buah sawit, perusakan alat perusahaan, dan pengancaman karyawan perusahaan.
Pada 2018 mulai ada relasi antara Hemsi dan Walhi Sulawesi Tengah dalam upaya mengklaim lahan tersebut. Saat itu bahkan terbit Sertifikat Hak Milik (SHM) di lahan tersebut. SHM yang terbit menuliskan luasan 43 hektare milik beberapa orang anggota kelompok tani, termasuk Hemsi.
Namun setelah ditelusuri lebih jauh, SHM yang dimiliki Hemsi itu dikeluarkan oleh BPN Sulawesi Tengah, sedangkan lokasi yang diklaim termasuk dalam Provinsi Sulawesi Barat. Secara administratif, SHM yang terbit harusnya dikeluarkan BPN pada wilayah administratif letak lahan. Jika lahan tersebut masuk ke dalam wilayah administratif Sulawesi Barat, maka BPN Sulawasi Barat yang seharusnya menerbitkan SHM. Dengan SHM itu Hemsi dan kawan-kawan tetap melakukan aktivitas di lahan tersebut dengan melakukan perawatan kebun dan memanennya kala berbuah. Hemsi bahkan telah melanglang buana ke Belanda dalam perjuangannya itu.
"Tokoh" lainnya dalam konflik tanah di Pasangkayu adalah pemuda Dedi Sudirman Lasadindi, yang usianya masih di bawah 30 tahun. Dedi asalnya dari Palu yang menikah dengan perempuan asli Kabuyu. Dedi pernah dipenjara atas kasus pemukulan Bupati Pasangkayu yang tidak ada hubungan dengan kasus tanah tersebut, serta atas kasus pengancaman karyawan serta perusakan alat dan kebun perusahaan.
Dedi dan kelompoknya menuduh PT MMG menyerobot lahan warga Kabuyu. Bukti legal yang mereka jadikan dasar adalah pembayaran PBB oleh masyarakat dari tahun 1992--1999 yang disajikan dalam lampiran. Mereka mengklaim bahwa lahan yang dibayarkan pajaknya itu berada di dalam HGU. Â Lokasi yang mereka klaim itu luasnya sekitar 250 hektare, berada di sekitar Sungai Pakava dan Sungai Pasangkayu. Mereka yakin kalim tersebut benar karena sampai saat ini PT MMG tidak pernah membuka peta HGU sehingga timbul kecurigaan bahwa PT MMG merampas lahan masyarakat dan melebarkan area kerja di luar HGU.
Tentang Dedi, I Wayan Sucana punya cerita. Menurut Wayan, Dedi adalah pemuda yang tidak bekerja, tidak pula tamat SMP. Namun ia mengakui, pemuda itu rajin belajar. Wayan sempat mendengar Dedi pernah mengaku sarjana tamatan Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah. "Saya tahu dan yakin, ia tak pernah sekolah SMA," kata Wayan, "Saya tahu persis 'anak itu'."