Indonesia telah menjadi empat besar Negara dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat di dunia selama lima dekade terakhir, setelah Korea, Singapura, dan China. Pada tahun 2021, tingkat kemiskinan di Indonesia adalah kurang dari 10% dari populasi, merupakan kemajuan yang signifikan dari tingkat 60% pada tahun 1970. Saat ini, peringkat Indonesia dalam skala global meliputi: negara terpadat keempat; ekonomi terbesar ketujuh; konsumen energi terbesar kedua belas, dan penghasil emisi CO2 terbesar kesembilan dari pembakaran bahan bakar.
Pendapatan/kapita Indonesia sekitar USD 13.000 (PPP) pada tahun 2021, sekitar 70% dari rata-rata global. Pada tahun 2000-an, Indonesia berubah dari eksportir neto minyak menjadi importir neto, dengan pangsa sektor ekstraksi minyak dan gas dalam PDB menurun dari sekitar 10% pada tahun 2000, menjadi sekitar 2,4% pada tahun 2021. Pertambangan batu bara menyumbang 2,4% dari PDB pada tahun 2021, dan ekspor batu bara dan gas alam rata-rata mewakili sekitar seperempat dari total ekspor barang bersih selama lima tahun terakhir.
Penduduk, ekonomi, dan sumber daya energi Indonesia tersebar tidak merata di banyak pulau. Pulau Jawa menyumbang sekitar 60% dari populasi dan PDB, dan 75% dari konsumsi listrik, serta sangat padat penduduk. Namun, Jawa hanya menyumbang 4% dari potensi panel surya di negara ini dan 14% dari potensi energi angin di darat.
Pasokan energi total di Indonesia meningkat lebih dari satu setengah kali lipat dari tahun 2000 hingga 2021. Penggunaan batu bara meningkat dari kurang dari 10% pada tahun 2000 menjadi hampir sepertiga pada tahun 2021 dan melampaui minyak sebagai komponen terbesar dalam pasokan energi total. Akses ke bentuk energi modern juga meningkat secara signifikan, dengan akses listrik meningkat dari sekitar 55% pada awal tahun 1990-an menjadi hampir 100% pada tahun 2021. Emisi CO2 sektor energi total Indonesia sebesar 600 Mt pada tahun 2021, hampir sama dengan emisi sektor energi Korea. Emisi sektor energi total Indonesia lebih dari dua kali lipat antara tahun 2000 dan 2021, di mana batu bara bertanggung jawab atas lebih dari 70% peningkatan tersebut.
Indonesia mengajukan Kontribusi Penentuan Sendiri yang Diperbarui dan Strategi Emisi Rendah Jangka Panjang pertamanya ke UNFCCC pada tahun 2021. Strategi tersebut menyatakan bahwa Indonesia memiliki kesempatan untuk "menuju nol emisi pada tahun 2060 atau lebih awal". Untuk mencapai target yang ambisius ini, diperlukan tindakan kuat di seluruh sektor energi.
Studi IESR pada Indonesia Energy Transition Outlook 2022 dengan target Net – Zero Emissions 2050
Menggunakan 100% EBT secara teknis dan ekonomis bisa dilakukan
Pembangkitan listrik menyumbang lebih dari 40% dari total emisi dalam sektor energi, sehingga dekarbonisasi sektor ini menjadi sangat penting untuk mencapai target karbon netral. Studi dekarbonisasi mendalam IESR menunjukkan bahwa Indonesia harus mencapai puncak emisi dari pembangkitan listrik pada tahun 2025 dan tidak lagi menggunakan bahan bakar fosil dalam pembangkitan listrik pada tahun 2045 jika negara ini ingin mencapai sistem energi tanpa emisi pada tahun 2050.
Untuk sejalan dengan skenario tanpa emisi, setidaknya 47% dari pembangkitan listrik pada tahun 2030 harus berasal dari sumber energi terbarukan. Tenaga surya akan menjadi tulang punggung dari sistem pembangkit listrik yang telah terdekarbonisasi, diikuti oleh tenaga air dan panas bumi. Dalam 10 tahun mendatang, kapasitas PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) akan meningkat sebanyak seratus kali lipat menjadi 108 GW untuk mendukung elektrifikasi yang semakin meningkat di sektor industri dan transportasi. Mulai dari tahun 2045, semua pembangkitan listrik akan berasal dari sumber energi terbarukan. Hal ini terjadi berkat energi terbarukan yang memiliki biaya rendah yang menggantikan bahan bakar fosil.
Masalah intermittency dapat diatasi dengan memanfaatkan penyimpanan energi seperti Battery Energy Storage System (BESS) dan Pump Hydro Storage System (PHES). Seiring dengan terus turunnya biaya baterai, baterai menjadi teknologi penyimpanan listrik yang paling relevan pada tahun 2050. Baterai berskala utilitas dan baterai produsen berkontribusi secara signifikan terhadap keluaran penyimpanan listrik sekitar 870 TWh pada tahun 2050.
Interkoneksi jaringan antarpulau akan menjadi kunci dalam sistem pembangkitan listrik berbasis energi terbarukan 100%. Studi kami menunjukkan bahwa pada tahun 2050 setidaknya diperlukan kapasitas transmisi sebesar 158 GW di seluruh Indonesia untuk memungkinkan pertukaran energi antar pulau.
RUPTL yang ‘hijau’ masih tidak cukup hijau
RUPTL 2021-2030 diklaim sebagai RUPTL yang paling ramah lingkungan dengan penambahan kapasitas energi terbarukan yang direncanakan mencapai 20,9 GW, atau lebih dari separuh dari total penambahan kapasitas yang direncanakan untuk sepuluh tahun mendatang. Melalui RUPTL ini, PLN bertujuan untuk meningkatkan pangsa energi terbarukan dalam pembangkitan listrik menjadi 23% pada tahun 2025 dari hanya 15% saat ini. Namun, pangsa energi terbarukan hanya akan meningkat menjadi 24,8% pada tahun 2030. Oleh karena itu, patut dipertanyakan apakah RUPTL "hijau" ini cukup ramah lingkungan untuk mendekarbonisasi sistem pembangkit listrik.
Secara khusus, PLN berencana untuk menginstal setidaknya 4,7 GW PLTS dan 4,2 GW PHES dalam sepuluh tahun mendatang. Sementara itu, PLTU Batubara akan tetap memainkan peran penting dalam jaringan listrik dengan pangsa pembangkitan batubara mencapai antara 59% dan 64% pada tahun 2030 tergantung pada skenario yang dipilih. Ketergantungan yang tinggi pada batubara tersebut bertentangan dengan tren global untuk beralih dari bahan bakar fosil dan juga meningkatkan risiko aset terjebak PLN karena biaya energi terbarukan terus menurun.
PLN masih menganggap co-firing sebagai strategi untuk mengurangi emisi karbon dari PLTU Batubara dan meningkatkan pangsa energi terbarukan dalam pembangkitan listrik. Meskipun co-firing dengan rasio pencampuran rendah merupakan teknologi yang matang, teknologi ini secara perlahan ditinggalkan seiring dengan munculnya teknologi lain yang lebih efisien. Selain itu, implementasi co-firing sering menghadapi tantangan seperti harga premium biomassa yang tinggi, ketersediaan bahan baku, dan tantangan teknologi.
Perlu dicatat juga bahwa potensi pengurangan karbon dari co-firing relatif rendah, sekitar 5,4%, dibandingkan dengan skenario tanpa co-firing. Selain itu, rasio pencampuran saat ini juga rendah, sekitar 5%, jauh di bawah target PLN sekitar 20%. Oleh karena itu, disarankan bagi PLN untuk memeriksa kembali program co-firing sebelum melanjutkan rencananya untuk menerapkan co-firing secara nasional.
Early retirement PLTU memungkinkan dengan mekanisme transisi energi
Rencana penghapusan PLTU Batubara saat ini masih belum cukup ambisius, meskipun pemerintah berharap dapat mencapai emisi netral sebelum tahun 2060. Studi IESR menunjukkan bahwa untuk mencapai nol emisi di sektor energi pada tahun 2050, emisi karbon harus mencapai puncaknya pada tahun 2025.
Dalam studi lain yang dilakukan oleh ADB, terlihat bahwa untuk mencapai puncak emisi pada tahun 2030, PLN harus mulai menyusun rencana pensiun dini untuk PLTU Batubara yang berusia kurang dari 20 tahun. Ini ditambah dengan PLTU Batubara yang tidak efisien dan tua seperti PLTU Suralaya dan PLTU Bukit Asam yang telah masuk daftar calon pensiun.
Mengingat urgensi pensiun PLTU Batubara, ADB telah membentuk mekanisme baru yang disebut Mekanisme Transisi Energi (ETM). Melalui mekanisme ini, Indonesia, Filipina, dan Vietnam akan ditawari bantuan keuangan dari ADB untuk pensiun dini armada batubara mereka. Proyek percontohan telah direncanakan untuk lima hingga tujuh PLTU Batubara di tiga negara ini. ETM akan membantu pemilik PLTU Batubara menghindari kerugian finansial yang besar akibat pensiun dini. Ada dua jenis pendanaan yang disediakan melalui ETM.
Solar PV harus menjadi ujung tombak untuk mengejar NZE 2050
Dekarbonisasi mendalam sistem energi Indonesia membutuhkan penurunan emisi yang signifikan melalui penggunaan pembangkit listrik berkarbon rendah yang cepat pada tahun 2030. Peningkatan ini akan sebagian besar dipenuhi oleh pembangkit listrik tenaga surya skala utilitas, terutama karena daya saing biayanya yang meningkat (18 USD/MWh pada tahun 2030, dibandingkan dengan 58 USD/MWh pada tahun 2020). Ini juga akan melibatkan hal-hal berikut:
- Bagian pembangkitan listrik tenaga surya harus mengalami peningkatan besar dari hanya 0,05% pada tahun 2020 menjadi 24% pada tahun 2030, dan pada akhirnya mencapai 88% pada tahun 2050 - di mana energi terbarukan harus menyumbang 50% dari total pembangkitan listrik pada tahun 2030 dan mencapai 100% pada tahun 2050. Sementara itu, pembangkit batu bara harus mengalami penurunan dari sekitar 60% saat ini menjadi 45% pada tahun 2030.
- Kapasitas panel surya terpasang harus meningkat menjadi 19 GWp pada tahun 2025, 108 GWp pada tahun 2030, dan 1492 GW pada tahun 2050. Pembangkit listrik tenaga surya skala utilitas akan menyumbang sekitar 80% dari kapasitas terpasang yang diperlukan, sementara sisanya berasal dari panel surya terdistribusi (prosumer) atau PLTS Atap. Untuk mencapai kapasitas panel surya terpasang sebesar 108 GWp pada tahun 2030, dibutuhkan investasi tahunan rata-rata sebesar 3,125 miliar USD pada tahun 2022 – 2025 dan 6,5 miliar USD pada tahun 2026 – 2030.
Electrical Energy Storage (EES) merupakan kunci untuk penetrasi EBT pada sistem
Studi dekarbonisasi menunjukkan bahwa seiring dengan meningkatnya proporsi energi terbarukan dalam jaringan listrik, kebutuhan akan penyimpanan meningkat mulai dari tahun 2030 ke depan. Sistem Penyimpanan Energi (EES) dapat memenuhi 30% dari permintaan listrik pada tahun 2050 di Indonesia, dengan pasokan sekitar 877 TWh listrik. Sistem EES yang digunakan meliputi BESS dan PHES, dengan BESS berperan lebih besar dengan kontribusi sebesar 99% dari total penyimpanan. Baterai skala utilitas dan baterai prosumer akan menjadi bagian besar dari keluaran EES pada tahun 2050.
Intermitensi energi terbarukan dapat mempengaruhi stabilitas jaringan. Peraturan terbaru mengenai grid code, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 20/2020, mewajibkan semua pembangkit listrik tenaga terbarukan intermiten (VRE) untuk terus beroperasi dan menghasilkan daya tanpa gangguan dalam rentang frekuensi tertentu. Alih-alih menggunakan baterai atau teknologi penyimpanan lainnya untuk mengatasi masalah intermitensi, PLN memilih untuk mengoptimalkan penggunaan pembangkit listrik tenaga termal.
CAPEX (pengeluaran modal) baterai saat ini adalah sekitar 0,58 juta USD/MWh, dan akan 73% lebih rendah pada tahun 2050 karena penggunaannya yang luas. PHES, sebagai teknologi penyimpanan baru yang belum banyak digunakan, memiliki CAPEX tetap dari tahun 2020 hingga 2050 sebesar 0,86 juta USD/MWh.
Harga BESS di masa depan diprediksi akan semakin murah
Harga rata-rata global dari baterai Lithium-ion (Li-ion) telah turun 89% dari nilai tahun 2010. Penurunan ini disebabkan oleh produksi massal dan penggunaannya dalam kendaraan listrik dan penyimpanan stasioner serta ketersediaan bahan yang lebih beragam dan canggih. Akibatnya, pada tahun 2020, biaya paket baterai Li-ion adalah 137 USD/kWh, dengan biaya sel sebesar 102 USD/kWh dan biaya paket sebesar 35 USD/kWh.
Sebagian besar baterai yang digunakan di Indonesia adalah baterai Li-ion. Namun, PLN menyatakan bahwa mereka akan mulai mempertimbangkan baterai berbasis redoks dari vanadium atau serium karena biaya pembangkitan listrik yang tinggi dari baterai Li-ion untuk pembangkit listrik tenaga surya skala utilitas (13 sen USD/kWh untuk litium, sementara hanya 3,5 sen USD/kWh untuk redoks). LCOS (Levelized Cost of Storage) dari baterai Li-ion adalah 200-500 USD/MWh pada tahun 2020 dan diprediksi akan tetap berada di kisaran 80 – 205 USD/MWh pada tahun 2050. Sementara itu, LCOS baterai berbasis aliran redoks adalah 185 – 400 USD/MWh pada tahun 2020, dan akan menurun menjadi 90 – 200 USD/MWh pada tahun 2050. Meskipun penurunan LCOS dari kedua teknologi tersebut serupa, Li-ion mungkin tetap mendominasi teknologi baterai masa depan karena beberapa keunggulan.
Pumped Hydro Energy Storage merupakan solusi termurah
Menggunakan PHES dalam sistem energi dapat meningkatkan penetrasi energi terbarukan karena fleksibilitasnya yang tinggi untuk menyelesaikan beban sisa atau permintaan yang belum terpenuhi serta masa pakainya yang lama. Menurut RUPTL, PHES di Indonesia bertujuan untuk mengurangi beban puncak, meningkatkan faktor beban, meningkatkan capacity factor dari pembangkit listrik tenaga batu bara, dan berfungsi sebagai pembangkit fleksibel yang berpasangan dengan pembangkit listrik tenaga terbarukan intermiten.
Tantangan utama dalam meningkatkan pemasangan dan pemanfaatan PHES di Indonesia adalah investasi yang besar dan studi kelayakan komprehensif yang diperlukan, termasuk tindakan mitigasi pasca konstruksi, karena PHES merupakan teknologi penyimpanan yang baru. Pemerolehan lahan juga menjadi masalah dalam pengembangan PHES. Keunggulan utama PHES dibandingkan BESS adalah masa pakainya yang lebih lama dan energi yang dihasilkan lebih besar. Masa pakai BESS hanya 20 – 25 tahun, sedangkan PHES dapat dioperasikan setidaknya selama 50 tahun. PHES juga dapat menghasilkan lebih banyak energi, sekitar 2 – 150 GWh, dalam waktu 6-18 jam. Selain itu, LCOS PHES hanya sekitar 40-65 USD/MWh. Oleh karena itu, BESS lebih efektif secara biaya untuk menyampaikan jumlah energi yang kecil, sedangkan PHES lebih efektif secara biaya untuk menyimpan dan menyampaikan jumlah energi yang besar.
Potensi PHES di Indonesia mencapai 7.308,8 GWh berdasarkan pemetaan potensi energi terbarukan oleh IESR (2021). Namun, kapasitas terpasang PHES yang direncanakan berdasarkan RUPTL hanya 4,2 GW dengan waktu penyimpanan yang belum jelas. Pembangkit listrik tenaga air Upper Cisokan di Jawa Barat dan pembangkit listrik Matenggeng di Jawa Tengah adalah dua pembangkit listrik tenaga air dengan penyimpanan pompa pertama di Indonesia. Upper Cisokan, yang didanai oleh AIIB, Bank Dunia, dan PLN, akan mulai beroperasi pada tahun 2025 dengan kapasitas 1.040 MW, sementara Matenggeng diharapkan mulai beroperasi pada tahun 2028 dengan kapasitas 943 MW.
Biaya Investasi yang dibutuhkan
Dekarbonisasi sektor energi akan memerlukan investasi yang signifikan dalam energi terbarukan, pemanasan listrik, bahan bakar bersih, jaringan listrik, dan penyimpanan energi. Studi IESR memperkirakan kebutuhan investasi sebesar 20 – 25 miliar USD/tahun antara 2020 dan 2030, dan sekitar 40 – 60 miliar USD/tahun dari 2030 hingga 2050.
Secara rata-rata, dibutuhkan 4,5 miliar USD/tahun untuk mencapai target 108 GW panel surya pada tahun 2030. Kebutuhan investasi energi surya akan mencapai puncaknya antara tahun 2030 dan 2040 dengan investasi mencapai 20 – 25 miliar USD/tahun. Bagian dari panel surya atap dalam total investasi energi surya akan terus meningkat menjadi sekitar 50% antara tahun 2045 dan 2050.
Investasi dalam penyimpanan energi (listrik dan panas) dan bahan bakar bersih perlu dimulai dari tahun 2030 ke depan. Investasi kumulatif dalam penyimpanan energi akan mencapai puncaknya antara tahun 2030 dan 2035 sekitar 88 miliar USD dengan investasi dalam baterai menjadi yang terbesar. Sementara itu, investasi dalam hidrogen akan mencapai puncak tertingginya dari tahun 2035 hingga 2040 sekitar 7 miliar USD/tahun, mendominasi investasi bahan bakar bersih dalam periode tersebut.
Interkoneksi sebesar 158 GW dari barat ke timur akan memerlukan total investasi sebesar 92 miliar USD antara tahun 2020 dan 2050. Sebagian besar investasi akan dihabiskan untuk koneksi Sumatera – Jawa yang akan memiliki kapasitas sekitar 52 GW pada tahun 2050, kapasitas tertinggi di antara koneksi antar pulau di Indonesia.
Investasi tahunan dalam energi terbarukan telah secara konsisten berada di bawah 2 miliar USD sejak tahun 2016, dengan investasi pada kuartal ketiga 2021 hanya mencapai 1,12 miliar USD. Mengingat kebutuhan investasi yang besar, pemerintah perlu menetapkan kebijakan dan regulasi yang mendukung untuk meningkatkan iklim investasi di Indonesia.
Studi IEA pada Announced Pledge Scenario (APS) untuk NZE 2060
Indonesia telah menetapkan target untuk mencapai emisi gas rumah kaca (GRK) Net Zero tahun 2060. Target ini menjadi panduan dalam skenario utama – Skenario Pernyataan Komitmen / Announced Pledge Scenario (APS) . APS diperkenalkan dalam kerangka skenario IEA pada tahun 2021 untuk mencerminkan jumlah negara yang semakin banyak dengan target emisi netto nol yang diumumkan (IEA, 2021a). APS mengasumsikan bahwa janji emisi netto nol terpenuhi sepenuhnya dan tepat waktu, tanpa memperhatikan apakah saat ini didukung oleh undang-undang, kebijakan, dan regulasi pelaksanaan yang terperinci.
Kebutuhan Listrik
Permintaan listrik di Indonesia akan mengalami pertumbuhan yang pesat dalam empat dekade mendatang seiring dengan pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan, peningkatan permintaan layanan energi, dan kebijakan transisi energi yang mendorong elektrifikasi penggunaan akhir. Dalam APS, permintaan listrik meningkat pada tingkat rata-rata lebih dari 4%/tahun, meningkat lebih dari lima kali lipat dari tahun 2021 hingga 2060. Ini lebih cepat dari tingkat pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan. Rata-rata permintaan listrik/kapita naik dari kurang dari 1.000 kilowatt-jam (kWh) pada tahun 2021 menjadi lebih dari 1.500 kWh pada tahun 2030 dan sekitar 4.400 kWh pada tahun 2060, menempatkan Indonesia dengan nyaman dalam kisaran ekonomi maju saat ini dalam hal permintaan layanan energi.
Pertumbuhan permintaan listrik didorong oleh ekspansi aktivitas dan peningkatan elektrifikasi di semua sektor. Peningkatan permintaan listrik yang mutlak terbesar terjadi pada elektromobilitas, dengan sektor transportasi menjadi komponen permintaan listrik terbesar kedua pada tahun 2060. Saat ini, sektor residensial menyumbang pangsa terbesar dalam permintaan listrik, dan hal ini tetap berlanjut hingga tahun 2060 karena pendapatan yang lebih tinggi mendorong peningkatan permintaan layanan energi, terutama pendinginan ruangan. Permintaan listrik untuk rumah tangga lebih dari tiga kali lipat dalam periode hingga tahun 2060, meskipun pertumbuhan ini dikurangi oleh peningkatan efisiensi energi. Sektor jasa juga mengalami pertumbuhan yang kuat dalam APS, meskipun peningkatan efisiensi membantu mengimbangi pertumbuhan permintaan listrik relatif terhadap ekspansi aktivitas. Permintaan yang diproyeksikan untuk produksi hidrogen melihat peningkatan yang besar pada tahun 2060, hampir sama dengan total permintaan listrik di Indonesia saat ini, karena hidrogen digunakan untuk mengurangi emisi di sektor-sektor yang berbeda.
Suplai Listrik
Komposisi pembangkit listrik di Indonesia mengalami transisi besar dalam APS. Saat ini, pangsa tinggi bahan bakar fosil tanpa penangkapan karbon ~80% dari pembangkit listrik pada tahun 2021 – secara bertahap dikurangi untuk mendukung sumber pembangkit dengan emisi rendah. Bahan bakar fosil tanpa penangkapan karbon digantikan oleh energi terbarukan, yang menjadi dua pertiga dari total pembangkit listrik pada tahun 2030 dan hanya beberapa persen pada tahun 2060. Pembangkit listrik tenaga surya skala utilitas (PV) dan angin darat adalah kontributor energi terbarukan yang paling signifikan dalam jangka panjang, ditambah dengan tenaga air, bioenergi, dan panas bumi. Penguatan dan integrasi jaringan listrik juga merupakan komponen penting dalam perjalanan ini. Sumber emisi rendah lainnya seperti nuklir, batubara dan gas dengan CCUS, serta jumlah kecil pembangkitan menggunakan amonia dan hidrogen, membuka jalan menuju emisi nol neto di sektor listrik. Dalam APS, intensitas emisi CO2 dari pembangkitan listrik menurun dari 760 gCO2/kWh pada tahun 2021 menjadi 580 gCO2/kWh pada tahun 2030 dan mendekati nol pada tahun 2060.
Batubara
Flotila pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia masih relatif baru, dan terdapat rencana pembangunan pembangkit baru sebesar 14 GW dalam pipa proyek PLN 2021 – 2030, seperti yang didefinisikan dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara diperkirakan mencapai puncaknya di atas 45 GW pada tahun 2030. Hal ini mewakili sekitar sepertiga dari total kapasitas terpasang yang diproyeksikan pada tahun 2030. Bagaimana operasi pembangkit ini dilakukan dalam beberapa dekade mendatang sangat penting bagi kecepatan transisi energi bersih. Penyesuaian cara operasi mereka menjadi hal yang kritis untuk mengurangi emisi CO2 mereka dan memberikan peluang bagi energi terbarukan untuk mendapatkan pangsa dalam campuran pembangkitan listrik.
Implementasi sejumlah langkah yang diasumsikan dalam APS mengubah operasi pembangkit listrik batu bara sebelum tahun 2030 dengan perubahan yang lebih signifikan pada tahun – tahun berikutnya. Dalam beberapa tahun terakhir, pembangkit listrik batu bara di Indonesia telah beroperasi dengan capacity factor sekitar 60%. Pada tahun 2040 dalam APS, flotila pembangkit listrik batu bara memiliki capacity factor rata – rata sekitar 50% dan menghasilkan 175 TWh, yang merupakan 25 TWh lebih rendah daripada jika operasi sebelumnya dipertahankan. Seiring dengan berkurangnya pangsa batu bara, energi terbarukan dan sumber emisi rendah lainnya mengambil peran dan pangsa pembangkit mereka meningkat dari kurang dari 20% pada tahun 2021 menjadi tiga perempat pada tahun 2040.
Perubahan signifikan dalam kerangka kerja yang mendasar diperlukan untuk mengubah operasi pembangkit listrik batu bara. Saat ini, pembangkit listrik batu bara beroperasi berdasarkan kontrak jangka panjang untuk pembelian listrik dengan harga tetap, yang tidak memberikan insentif yang sesuai kepada operator untuk menyesuaikan operasi ketika pembangkit berbasis energi terbarukan tersedia. Lebih lanjut, kontrak bahan bakar jangka panjang juga mempersulit cara mengoperasikan pembangkit listrik batu bara secara lebih fleksibel. Pembangkit listrik batu bara seharusnya dapat beroperasi secara fleksibel untuk mengintegrasikan pangsa pembangkit tenaga surya dan angin yang semakin meningkat. Pengaturan kontrak yang dimodifikasi dan reformasi pasar merupakan kunci untuk membuka fleksibilitas ini dan mempercepat transisi. Perlunya reformasi menjadi lebih mendesak mengingat bahwa produsen listrik independen telah menandatangani kontrak jangka panjang dengan PLN, yang akan meningkatkan pangsa mereka dalam pembangkitan listrik dalam beberapa tahun mendatang.
Sisa produksi dari pembangkit listrik batu bara perlu dikurangi atau dihindari untuk meminimalkan emisi. Salah satu caranya adalah dengan melengkapi sekitar 7 GW pembangkit listrik batu bara dengan CCUS pada tahun 2060 dalam APS, dengan lokasi penyimpanan dekat beberapa gugusan penghasil emisi besar (lihat Bab 5, bagian 5.5). CCUS memungkinkan penggunaan sumber daya batu bara dalam negeri yang berkelanjutan di Indonesia. Namun, biaya yang diproyeksikan membuat CCUS menjadi pilihan yang relatif mahal dibandingkan dengan energi terbarukan (gambaran ini sedikit berubah ketika biaya tambahan transmisi antarwilayah dimasukkan). Penggabungan batu bara dengan amonia adalah pilihan lain yang mengurangi penggunaan batu bara dan dengan demikian volume emisi yang perlu dikurangi. Namun, karena amonia diproyeksikan menjadi bahan bakar yang jauh lebih mahal daripada batu bara, penggunaannya akan mengubah ekonomi dasar operasi pabrik, dengan pembangkit ditargetkan hanya pada waktu dengan nilai tertinggi, ketika energi terbarukan tidak mampu memenuhi permintaan listrik secara optimal.
Natural gas
Pembangkit listrik tenaga gas alam merupakan sumber daya listrik yang dapat dipanggil (dispatchable) lainnya di Indonesia, meskipun ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan batu bara. Hingga tahun 2060, penggunaan gas alam dalam pembangkit listrik bertransisi dari teknologi tanpa pemotongan emisi menjadi profil teknologi dengan emisi lebih rendah, baik melalui penggunaan CCUS maupun dengan penggabungan amonia. Ketersediaan gas alam yang diproduksi secara domestik yang berubah membatasi perannya dalam hal pembangkitan. Secara keseluruhan, pangsa gas alam tanpa pemotongan emisi dalam total pembangkitan turun beberapa persentase antara tahun 2021 dan 2030 sebelum turun menjadi kurang dari 1% pada tahun 2060 dalam APS (Gambar 3.3). Pembangkit listrik tenaga gas juga memainkan peran penting dalam mendukung keamanan listrik, memberikan fleksibilitas, dan berkontribusi pada kehandalan sistem.
Carbon Capture, Utility, and Storage (CCUS)
Berkat ketersediaan bahan bakar fosil domestik di Indonesia, penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas alam akan berlanjut hingga tahun 2060 dalam APS, meskipun dengan peningkatan jumlah aset yang dilengkapi dengan CCUS. Pada tahun 2040, 2 GW pembangkit batu bara dilengkapi dengan CCUS, yang mewakili 6% dari total pembangkit batu bara. Pada tahun 2060, kapasitas pembangkit batu bara yang dilengkapi dengan CCUS mencapai 7 GW. Kapasitas pembangkit gas alam dengan CCUS mencapai 1 GW dan 5% dari total kapasitas pada tahun 2040, dan 3 GW pada tahun 2060. Retrofit pembangkit batu bara dan gas alam mengalami percepatan yang signifikan setelah tahun 2035, dengan menangkap dan menyimpan total hampir 1 Gt emisi CO2 antara tahun 2035 dan 2060. Faktor penting dalam kemampuan penerapan teknologi penangkapan karbon adalah ketersediaan lokasi penyimpanan geologis, untungnya banyak pembangkit listrik yang ada berlokasi di dekat lokasi penyimpanan CO2 yang sesuai.
Cofiring pada Pembangkit Fossil
Co-firing dengan hidrogen beremisi rendah dan derivatifnya, amonia, dalam pembangkit listrik tenaga fosil yang sudah ada dapat memberikan Indonesia alat tambahan untuk mengurangi emisi dari sektor listriknya. Pada pembangkit batu bara tanpa CCUS, co-firing dengan amonia meningkat pesat sekitar tahun 2040, dengan tingkat pencampuran mencapai hampir 60% amonia berdasarkan volume pada tahun 2050 dan mendekati 100% pada tahun 2060 dalam APS. Untuk pembangkit listrik tenaga gas alam tanpa CCUS, co-firing dengan hidrogen mencapai lebih dari sepertiga hidrogen berdasarkan volume pada tahun 2050 dan hampir 80% pada tahun 2060 dalam APS.
Energi Baru Terbarukan
Sebanyak 90% dari total listrik dihasilkan oleh berbagai sumber energi terbarukan yang efisien biaya pada tahun 2060, meningkat dari hampir 20% pada tahun 2021 dan sepertiga pada tahun 2030. Potensi sumber daya energi terbarukan seperti panel surya, panas bumi, dan hidroelektrik yang luar biasa di Indonesia digunakan secara optimal. Pembangkit listrik dari teknologi energi terbarukan mengalami pertumbuhan pesat dalam APS, hampir tiga kali lipat dari tahun 2021 hingga 2030. Kapasitas panel surya meningkat dari kurang dari 1 GW pada tahun 2021 menjadi lebih dari 20 GW pada tahun 2030 dan mencapai 300 GW pada tahun 2050, mengoptimalkan sumber daya surya yang sangat besar di seluruh Indonesia. Pembangkit listrik tenaga angin melengkapi pengembangan panel surya, meskipun terbatas oleh kecepatan angin di sebagian besar lokasi. Ketersediaan turbin angin dengan kecepatan rendah, baik untuk instalasi darat maupun lepas pantai, menjadi hal yang penting. Dalam APS, kapasitas energi angin meningkat dari kurang dari 1 GW pada tahun 2021 menjadi 90 GW pada tahun 2050, dengan sebagian besar di antaranya berada di lepas pantai, terutama di lepas pantai Kalimantan, berdasarkan penilaian IEA terhadap potensi energi angin lepas pantai (IEA, 2019). Selain itu, sejumlah sumber energi terbarukan yang dapat diatur dipasang untuk mengurangi emisi, memberikan fleksibilitas, dan menjaga keamanan pasokan listrik. Pembangkit listrik tenaga hidroelektrik menjadi yang terpenting dengan kapasitas lebih dari 70 GW pada tahun 2060. Energi panas bumi menyumbang 22 GW dan bioenergi sebesar 25 GW pada tahun 2060 dalam APS.
Nuklir
Saat ini, Indonesia belum memiliki pembangkit listrik tenaga nuklir, namun pemanfaatannya dapat menjadi salah satu opsi dalam perjalanan mencapai emisi nol bersih. Pembangkit listrik tenaga nuklir dapat menyediakan sumber daya listrik yang dapat diatur tanpa menambah emisi, serta mendukung keandalan dan kestabilan jaringan listrik. Dalam APS, reaktor nuklir pertama Indonesia diharapkan mulai menghasilkan listrik setelah tahun 2035, dan total kapasitas nuklir sebesar 8 GW diharapkan beroperasi pada tahun 2050. Dengan demikian, Indonesia akan bergabung dengan beberapa negara yang diharapkan mengembangkan pembangkit listrik tenaga nuklir pertama mereka dalam APS, termasuk Turki, Polandia, dan Mesir. Untuk mendukung pengenalan energi nuklir di Indonesia, struktur regulasi yang diperlukan harus dikembangkan, dengan pemeriksaan keamanan independen sebagai elemen inti. Jika reaktor nuklir modular kecil berhasil dikembangkan dan jika secara ekonomis layak, hal ini dapat memberikan peluang untuk lebih berkontribusi pada transisi energi Indonesia.
Biaya pembangkitan Listrik
Rata-rata biaya pembangkitan listrik/unit di Indonesia meningkat sebesar 10% dalam periode hingga tahun 2030 dibandingkan dengan tahun-tahun terakhir, naik dari sekitar USD 80/MWh pada tahun 2021 menjadi USD 90/MWh pada tahun 2030. Biaya rata-rata secara umum stabil hingga tahun 2040 sebelum mengalami penurunan struktural jangka panjang menjadi di bawah USD 60/MWh pada tahun 2060. Dengan peningkatan produksi, total biaya pembangkitan listrik meningkat dua kali lipat pada tahun 2030 dari sekitar USD 22 miliar secara rata-rata pada periode 2017 – 2021 menjadi hampir USD 45 miliar, dan hampir dua kali lipat lagi menjadi USD 85 miliar pada tahun 2050.
Kenaikan biaya pembangkitan listrik di Indonesia dalam dekade mendatang sebagian besar disebabkan oleh kenaikan harga CO2. Pada tahun 2030, perkiraan biaya CO2 mencapai sekitar USD 12 miliar, yang mewakili lebih dari seperempat dari total biaya pembangkitan listrik. Namun, penting untuk dicatat bahwa biaya CO2 ini dapat menyediakan pendapatan bagi pemerintah, yang dapat digunakan untuk mengkompensasi konsumen atas kenaikan harga listrik atau untuk mendukung perekonomian dengan berbagai cara. Total biaya CO2 mencapai puncaknya pada tahun 2040 sekitar USD 20 miliar, sebelum kemudian menurun dengan cepat ketika dekarbonisasi sektor listrik mengatasi dampak dari kenaikan harga CO2.
Jika tidak termasuk biaya CO2, biaya sisa pembangkitan listrik akan mengalami penurunan hampir 20% pada tahun 2030, memberikan peluang bagi listrik untuk menjadi lebih terjangkau dalam jangka dekat. Penurunan biaya listrik rata-rata di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh efektivitas biaya teknologi energi terbarukan dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Sumber energi terbarukan, seperti panel surya dan tenaga angin, menjadi opsi paling murah untuk pembangkitan listrik baru. Misalnya, proyek panel surya skala utilitas diperkirakan akan mencapai kurang dari USD 40/MWh pada tahun 2030, menjadikannya sumber listrik baru termurah. Pemasangan panel surya di atap juga akan menurun menjadi sekitar USD 100/MWh.
Biaya tenaga angin darat (onshore) dan lepas pantai (offshore) diperkirakan akan mengalami penurunan sebesar 10% menjadi sekitar USD 90/MWh pada tahun 2030. Penurunan biaya energi terbarukan dapat dicapai melalui kondisi pembiayaan yang lebih baik, pengembangan pasar, dan kebijakan yang mendukung di Indonesia. Energi terbarukan yang dapat diatur, seperti tenaga air, memiliki biaya yang lebih stabil karena teknologinya yang lebih matang. Biaya pembangkit listrik tenaga air tetap berada dalam kisaran USD 80-90/MWh sepanjang proyeksi.
Seiring dengan transformasi campuran energi listrik di Indonesia, sifat biaya mendasar juga berubah. Sektor ini menjadi lebih bergantung pada modal, dengan pemulihan modal menyumbang bagian yang semakin besar dari total biaya. Hal ini terutama disebabkan oleh pertumbuhan cepat energi terbarukan, di mana sebagian besar biaya dikeluarkan selama konstruksi, sementara biaya bahan bakar dikurangi atau dieliminasi, dan biaya operasi serta pemeliharaan relatif rendah. Biaya bahan bakar, yang saat ini menyumbang bagian yang signifikan dari total biaya listrik, menurun tajam seiring penurunan penggunaan batu bara, gas alam, dan minyak.
Energi terbarukan akan semakin mendominasi biaya listrik total seiring dengan pergeseran campuran pembangkitan. Pembangkit listrik berbahan bakar fosil saat ini menyumbang sekitar 85% dari total biaya listrik di Indonesia, dengan biaya pembangkit listrik berbasis batu bara saja mencapai sekitar USD 10 miliar/tahun untuk bahan bakar, pemeliharaan, dan pemulihan modal. Namun, pada tahun 2040 dalam APS, diperkirakan bahwa batu bara dan energi terbarukan akan mencapai paritas, masing-masing menyumbang hampir setengah dari total biaya listrik, dengan kontribusi dari nuklir dan hidrogen. Pada tahun 2060, energi terbarukan mendominasi sistem dan menyumbang 80% dari total biaya listrik, sementara bahan bakar fosil, energi nuklir, hidrogen, dan amonia menyumbang persentase yang tersisa.
Studi IEA pada Accelerating to Net Zero Emissions by 2050 (NZE)
Target Indonesia untuk mencapai emisi neto nol pada tahun 2060 sangat ambisius. Ini sesuai dengan batas suhu atas Paris Agreement: untuk membatasi pemanasan global menjadi jauh di bawah 2 derajat Celsius (°C), dengan harapan mencapai 1,5 °C dibandingkan dengan tingkat pra-industri. Laporan Khusus Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim mengenai Pemanasan Global 1,5 °C menekankan pentingnya mencapai Net Zero Emission CO2 secara global pada pertengahan abad atau lebih cepat guna membatasi kenaikan suhu rata – rata global menjadi 1,5 °C dan menghindari dampak buruk perubahan iklim yang terparah (IPCC, 2018).
Pintu menuju mencapai emisi CO2 neto nol secara global pada pertengahan abad masih terbuka, tetapi akan segera menutup. Skenario Neto Nol Emisi pada 2050 (NZE) telah diperbarui dan menjadi dasar eksplorasi bab ini tentang apa yang mungkin termasuk dalam jalur percepatan untuk mencapai emisi neto nol pada 2050 di Indonesia.
Energi Primer
Transisi campuran pasokan energi relatif serupa dalam garis besar antara NZE dan APS. Namun seiring waktu, dengan dorongan yang lebih kuat terhadap efisiensi energi dan elektrifikasi dalam NZE, total pasokan energi mencapai puncak dan kemudian datar setelah tahun 2050, meskipun ekonomi terus tumbuh. Total pasokan energi sekitar 2% lebih rendah pada tahun 2060 dalam NZE dibandingkan dengan APS.
Transisi sektor kelistrikan lebih cepat dalam NZE dengan pembangkit batubara tanpa penangkapan karbon yang lebih rendah sebesar 70% pada tahun 2030 dan 60% pada tahun 2040, dibandingkan dengan APS. Di sisi lain, pada tahun 2060, APS menggunakan lebih sedikit batubara dengan Carbon Capture, Utility, and Storage (CCUS) dibandingkan dengan NZE.
Kontribusi bioenergi dalam jangka pendek berbeda antara kedua skenario tersebut. Jalur NZE lebih banyak menggunakan bioenergi padat modern dalam pembangkit listrik dan industri, sementara elektrifikasi yang dipercepat dalam transportasi mengurangi permintaan untuk biofuel cair dan gas, dibandingkan dengan APS. Dampak neto adalah permintaan bioenergi modern dalam NZE hanya sekitar 460 petajoule (PJ) lebih tinggi pada tahun 2030 dan sekitar 300 PJ lebih tinggi pada tahun 2050 dibandingkan dengan APS.
Energi terbarukan dalam pembangkit listrik - hidro, panas bumi, angin, surya, dan bioenergi - diterapkan dengan lebih cepat dalam NZE, dengan sektor kelistrikan mencapai emisi nol bersih pada tahun 2040. Pasokan energi total dari energi terbarukan lebih dari 1.500 PJ lebih tinggi dalam NZE dibandingkan dengan APS pada tahun 2030, meningkat menjadi lebih dari 3.700 PJ lebih tinggi pada tahun 2040. Sebagian besar peningkatan ini, dalam hal energi primer, berasal dari sumber panas bumi yang digunakan untuk menghasilkan listrik. Meskipun gambarannya sedikit terdistorsi oleh konvensi akuntansi untuk mengestimasi input primer dalam pembangkit listrik panas bumi. Pada tahun 2060, perbedaan antara kedua skenario tersebut menyempit, karena sektor kelistrikan dalam APS juga sebagian besar terdekarbonisasi berdasarkan energi terbarukan. Perbedaan utama dalam hal energi primer antara kedua skenario tersebut terkait dengan waktu dan kecepatan transisi, bukan dengan sifat dan skala transisi yang perlu dicapai.
Emisi
Emisi CO2 terkait energi mencapai puncaknya pada dekade saat ini sebagai hasil dari transisi yang dipercepat untuk mendekarbonisasi sektor kelistrikan dalam jalur NZE, yang lebih cepat daripada dalam APS atau rencana kebijakan saat ini. Emisi nol bersih dalam sektor kelistrikan dicapai sekitar tahun 2040. Hal ini jauh lebih cepat daripada yang diindikasikan oleh masa pakai teknis dan keuangan yang umum dari armada pembangkit listrik bahan bakar fosil yang ada, dan oleh karena itu akan memerlukan renegosiasi kontrak jangka panjang yang ada dan pensiun dini beberapa pembangkit.
Puncak emisi CO2 terkait energi dalam industri dipercepat hampir satu dekade dalam NZE dibandingkan dengan APS, dan dikurangi hingga mendekati nol pada tahun 2050. Emisi transportasi lebih rendah lebih dari 15% dalam NZE dibandingkan dengan APS pada tahun 2030, melalui adopsi yang lebih cepat kendaraan listrik, standar efisiensi bahan bakar yang lebih kuat, dan langkah-langkah untuk meningkatkan penggunaan transportasi umum sebagai alternatif penggunaan kendaraan pribadi. Pada tahun 2050, emisi CO2 dari sektor transportasi sekitar 10 juta ton (Mt) dalam NZE, dibandingkan dengan sekitar 80 Mt dalam APS.
Indonesia mendekati, tetapi tidak mencapai, emisi nol bersih dari sektor energi pada tahun 2050 dalam NZE. Ini berarti bahwa sisa emisi dikompensasi oleh penghapusan karbon di negara lain, sehingga sektor energi global mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050. Secara global, NZE mengantisipasi peningkatan dan penyebaran teknologi penghilangan karbon yang luas dibandingkan dengan APS. Ini termasuk bioenergi dengan penangkapan dan penyimpanan karbon (BECCS) dan penangkapan dan penyimpanan karbon langsung dari udara (DACCS). Teknologi ini menghilangkan hampir 20 Mt CO2 dari atmosfer setiap tahunnya pada tahun 2050 di Indonesia, sebagian mengimbangi emisi kotor sekitar 30 Mt dan menghasilkan emisi bersih sedikit lebih dari 10 Mt pada tahun 2050.
Sektor kelistrikan
Permintaan listrik meningkat sebesar hampir 7 %/tahun dalam periode hingga tahun 2030 dalam jalur NZE, dibandingkan dengan 6%/tahun dalam APS. Pada tahun 2030, permintaan listrik hampir 10% lebih tinggi dalam NZE, karena kemajuan yang lebih kuat dalam elektrifikasi yang sebagian dikompensasi oleh kebijakan efisiensi energi yang lebih ketat dan pengurangan permintaan. Setelah tahun 2030, produksi hidrogen melalui elektrolisis secara signifikan meningkat untuk memenuhi permintaan hidrogen dalam berbagai sektor, yang lebih meningkatkan permintaan listrik dalam NZE. Pada tahun 2050, permintaan listrik sekitar 30% lebih tinggi dalam NZE daripada dalam APS, juga didorong oleh elektrifikasi luas di sektor pengguna akhir. Permintaan listrik mencapai lebih dari 1.500 TWh pada tahun 2050 dalam NZE, enam kali lipat dari level tahun 2021 dan hampir 30% lebih tinggi daripada dalam APS.
Jalur NZE memerlukan perubahan profil sektor kelistrikan dalam dekade mendatang, dimulai dengan meningkatkan kontribusi dari energi terbarukan lebih cepat daripada dalam rencana saat ini. Pangsa energi terbarukan dalam pasokan listrik meningkat dari 19% pada tahun 2021 menjadi sekitar 60% pada tahun 2030 dalam NZE, lebih tinggi sebesar lebih dari 25 poin persentase dibandingkan dengan APS. Tenaga surya PV memimpin, dengan kapasitas baru sekitar 65 Gigawatt (GW) yang akan dioperasikan pada tahun 2030 dalam NZE, dibandingkan dengan sekitar 20 GW dalam APS. Pembangkit listrik tenaga angin meningkat dengan kapasitas angin darat dan lepas pantai baru yang totalnya lebih dari 30 GW pada tahun 2030 dalam NZE. Selain energi terbarukan yang bervariasi, sejumlah energi terbarukan yang dapat dipasok, termasuk tenaga air, bioenergi, dan panas bumi, juga harus meningkat lebih cepat daripada dalam APS. Pada tahun 2030, kapasitas energi terbarukan hampir mencapai 140 GW dalam NZE, sekitar dua setengah kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan APS. Jelas, investasi yang diperlukan untuk mencapai penyebaran seperti ini sangat besar.
Energi terbarukan menjadi pilar utama dalam jalur NZE untuk mencapai Net Zero Emission CO2 pada sektor kelistrikan pada tahun 2040. Penambahan kapasitas energi terbarukan meningkat secara bertahap hingga mencapai hampir 90% dari pasokan listrik pada tahun 2040 dan sebagian besar aset pembangkit baru hingga tahun 2060. Tenaga surya PV dan angin menjadi sumber utama dan menyediakan sekitar 55% dari pembangkit pada tahun 2040, dengan perolehan pangsa ini dipertahankan hingga tahun 2060. Sebagian besar instalasi tenaga surya PV berada dalam skala utilitas.
Jalur NZE untuk pembangkit listrik tenaga batu bara yang ada berbeda dari rencana saat ini dalam dekade mendatang. Pembangunan pembangkit batu bara baru lebih terbatas, dengan pembangkit listrik tenaga batu bara murni terakhir yang akan selesai dibangun pada tahun 2024 dan pengembangan beberapa pembangkit yang sedang direncanakan dihentikan. Pada tahun 2030, armada pembangkit listrik tenaga batu bara sekitar 10% lebih kecil dalam NZE dibandingkan dengan APS. Namun, karena peran pembangkit listrik tenaga batu bara yang berubah dengan cepat dalam NZE dan armada yang beroperasi jauh lebih sedikit, perbedaan dalam pembangkitan antara NZE dan APS menjadi semakin jelas. Pembangkit listrik tenaga batu bara murni menurun 70% pada tahun 2030 dalam NZE, dibandingkan dengan APS. Penurunan ini berarti capacity factor untuk pembangkit batu bara turun secara signifikan.
Setelah tahun 2030, armada pembangkit listrik tenaga batu bara disesuaikan dengan jalur NZE dengan beberapa cara. Pembangkit listrik tenaga batu bara yang paling tua, tidak efisien, dan sulit untuk dimodifikasi secara bertahap dikeluarkan pada tahun 2040, dengan fokus pertama pada fleksibilitas sebelum ditutup secara permanen. Pembangkit batu bara yang paling muda dan paling efisien dimodifikasi dengan CCUS. Meskipun pembangkit baru yang lebih sedikit dibangun, kapasitas batu bara dengan CCUS mencapai 13 GW pada tahun 2060 dalam NZE.
Pembangkit listrik tenaga gas alam mengikuti jalur yang serupa dengan pembangkit listrik tenaga batu bara dalam NZE. Meskipun kapasitas tanpa pengurangan emisi diperluas dalam jangka pendek, kapasitas tersebut segera mencapai puncaknya, dengan capacity factor menurun pada tahun 2030. Pembangkit listrik tenaga gas tanpa pengurangan emisi sebagian besar dihentikan secara bertahap pada tahun 2040. Namun, banyak pembangkit listrik tenaga gas dimodifikasi dengan CCUS dan tetap beroperasi, memungkinkan sistem untuk memanfaatkan aset yang masih muda ini dan fleksibilitas operasionalnya. Selain itu, pencampuran dengan kadar hidrogen yang semakin tinggi dimungkinkan di banyak pembangkit listrik tenaga gas setelah dimodifikasi, memungkinkan jalur penggunaan berkelanjutan tanpa berdampak negatif pada emisi.
Komposisi pembangkitan listrik mengalami perubahan total dalam NZE, dengan sumber emisi rendah sepenuhnya mengambil alih pada tahun 2040. Bahan bakar fosil tanpa pengurangan emisi menurun dari 80% dalam komposisi pada tahun 2021 menjadi kurang dari 1% pada tahun 2040. Sementara itu, dalam APS, tingkat dekarbonisasi komposisi pembangkitan tersebut membutuhkan waktu tambahan 20 tahun, baru mencapai pangsa serupa dari sumber emisi rendah pada tahun 2060, menghasilkan tambahan 3,7 Gt emisi CO2 dari 2022 hingga 2060. Teknologi CCUS juga diterapkan lebih awal dalam NZE, menangkap hampir 2 Gt emisi CO2 hingga tahun 2060, dua kali lipat jumlahnya dalam APS.
Untuk mendukung transisi cepat dalam sektor listrik dalam NZE, jaringan transmisi dan distribusi juga perlu diperkuat dan diperluas dengan cepat. Investasi dalam jaringan listrik meningkat delapan kali lipat dalam periode hingga tahun 2030 dan tetap pada tingkat yang tinggi dalam tahun-tahun berikutnya. Untuk memungkinkan dan menampung perubahan mendasar dalam sumber pembangkitan listrik dalam NZE, jaringan listrik harus beradaptasi untuk menjadi jaringan yang lebih kuat dan lebih terhubung di seluruh Indonesia, serta dapat memanfaatkan sumber daya energi terbarukan dan mengantarkan listrik yang dihasilkan ke pusat-pusat permintaan. Misalnya, permintaan listrik yang meningkat dari penduduk di wilayah Jawa-Bali melebihi potensi energi terbarukan yang diperkirakan di wilayah tersebut, sehingga menarik untuk memanfaatkan sumber daya terbarukan dari pulau-pulau lain dan mengirimkan listrik ke pusat-pusat permintaan.
Artikel ini dibuat sebagai Tugas Kelompok Mata Kuliah EL5079 Ekonomi Energi dengan anggota terdiri dari:
Ario Wulung (23222046)
Muhammad Khoirul Huda (23222047)
Abghi Ilman Arif (23222060)
Siti Hajar Juliatiza (23222012)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H