Mohon tunggu...
Abghi Ilman Arif
Abghi Ilman Arif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Institut Teknologi Bandung

Mahasiswa Teknik Elektro, Mata Kuliah Ekonomi Energi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Menuju Indonesia Zero Net Emission 2060 dengan Early Retirement Pembangkit Fosil

19 Mei 2023   17:35 Diperbarui: 19 Mei 2023   17:40 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Komposisi pembangkit listrik di Indonesia mengalami transisi besar dalam APS. Saat ini, pangsa tinggi bahan bakar fosil tanpa penangkapan karbon ~80% dari pembangkit listrik pada tahun 2021 – secara bertahap dikurangi untuk mendukung sumber pembangkit dengan emisi rendah. Bahan bakar fosil tanpa penangkapan karbon digantikan oleh energi terbarukan, yang menjadi dua pertiga dari total pembangkit listrik pada tahun 2030 dan hanya beberapa persen pada tahun 2060. Pembangkit listrik tenaga surya skala utilitas (PV) dan angin darat adalah kontributor energi terbarukan yang paling signifikan dalam jangka panjang, ditambah dengan tenaga air, bioenergi, dan panas bumi. Penguatan dan integrasi jaringan listrik juga merupakan komponen penting dalam perjalanan ini. Sumber emisi rendah lainnya seperti nuklir, batubara dan gas dengan CCUS, serta jumlah kecil pembangkitan menggunakan amonia dan hidrogen, membuka jalan menuju emisi nol neto di sektor listrik. Dalam APS, intensitas emisi CO2 dari pembangkitan listrik menurun dari 760 gCO2/kWh pada tahun 2021 menjadi 580 gCO2/kWh pada tahun 2030 dan mendekati nol pada tahun 2060.

Batubara

Flotila pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia masih relatif baru, dan terdapat rencana pembangunan pembangkit baru sebesar 14 GW dalam pipa proyek PLN 2021 – 2030, seperti yang didefinisikan dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara diperkirakan mencapai puncaknya di atas 45 GW pada tahun 2030. Hal ini mewakili sekitar sepertiga dari total kapasitas terpasang yang diproyeksikan pada tahun 2030. Bagaimana operasi pembangkit ini dilakukan dalam beberapa dekade mendatang sangat penting bagi kecepatan transisi energi bersih. Penyesuaian cara operasi mereka menjadi hal yang kritis untuk mengurangi emisi CO2 mereka dan memberikan peluang bagi energi terbarukan untuk mendapatkan pangsa dalam campuran pembangkitan listrik.

Implementasi sejumlah langkah yang diasumsikan dalam APS mengubah operasi pembangkit listrik batu bara sebelum tahun 2030 dengan perubahan yang lebih signifikan pada tahun – tahun berikutnya. Dalam beberapa tahun terakhir, pembangkit listrik batu bara di Indonesia telah beroperasi dengan capacity factor sekitar 60%. Pada tahun 2040 dalam APS, flotila pembangkit listrik batu bara memiliki capacity factor rata – rata sekitar 50% dan menghasilkan 175 TWh, yang merupakan 25 TWh lebih rendah daripada jika operasi sebelumnya dipertahankan. Seiring dengan berkurangnya pangsa batu bara, energi terbarukan dan sumber emisi rendah lainnya mengambil peran dan pangsa pembangkit mereka meningkat dari kurang dari 20% pada tahun 2021 menjadi tiga perempat pada tahun 2040.

Perubahan signifikan dalam kerangka kerja yang mendasar diperlukan untuk mengubah operasi pembangkit listrik batu bara. Saat ini, pembangkit listrik batu bara beroperasi berdasarkan kontrak jangka panjang untuk pembelian listrik dengan harga tetap, yang tidak memberikan insentif yang sesuai kepada operator untuk menyesuaikan operasi ketika pembangkit berbasis energi terbarukan tersedia. Lebih lanjut, kontrak bahan bakar jangka panjang juga mempersulit cara mengoperasikan pembangkit listrik batu bara secara lebih fleksibel. Pembangkit listrik batu bara seharusnya dapat beroperasi secara fleksibel untuk mengintegrasikan pangsa pembangkit tenaga surya dan angin yang semakin meningkat. Pengaturan kontrak yang dimodifikasi dan reformasi pasar merupakan kunci untuk membuka fleksibilitas ini dan mempercepat transisi. Perlunya reformasi menjadi lebih mendesak mengingat bahwa produsen listrik independen telah menandatangani kontrak jangka panjang dengan PLN, yang akan meningkatkan pangsa mereka dalam pembangkitan listrik dalam beberapa tahun mendatang.

Sisa produksi dari pembangkit listrik batu bara perlu dikurangi atau dihindari untuk meminimalkan emisi. Salah satu caranya adalah dengan melengkapi sekitar 7 GW pembangkit listrik batu bara dengan CCUS pada tahun 2060 dalam APS, dengan lokasi penyimpanan dekat beberapa gugusan penghasil emisi besar (lihat Bab 5, bagian 5.5). CCUS memungkinkan penggunaan sumber daya batu bara dalam negeri yang berkelanjutan di Indonesia. Namun, biaya yang diproyeksikan membuat CCUS menjadi pilihan yang relatif mahal dibandingkan dengan energi terbarukan (gambaran ini sedikit berubah ketika biaya tambahan transmisi antarwilayah dimasukkan). Penggabungan batu bara dengan amonia adalah pilihan lain yang mengurangi penggunaan batu bara dan dengan demikian volume emisi yang perlu dikurangi. Namun, karena amonia diproyeksikan menjadi bahan bakar yang jauh lebih mahal daripada batu bara, penggunaannya akan mengubah ekonomi dasar operasi pabrik, dengan pembangkit ditargetkan hanya pada waktu dengan nilai tertinggi, ketika energi terbarukan tidak mampu memenuhi permintaan listrik secara optimal.

Natural gas

Pembangkit listrik tenaga gas alam merupakan sumber daya listrik yang dapat dipanggil (dispatchable) lainnya di Indonesia, meskipun ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan batu bara. Hingga tahun 2060, penggunaan gas alam dalam pembangkit listrik bertransisi dari teknologi tanpa pemotongan emisi menjadi profil teknologi dengan emisi lebih rendah, baik melalui penggunaan CCUS maupun dengan penggabungan amonia. Ketersediaan gas alam yang diproduksi secara domestik yang berubah membatasi perannya dalam hal pembangkitan. Secara keseluruhan, pangsa gas alam tanpa pemotongan emisi dalam total pembangkitan turun beberapa persentase antara tahun 2021 dan 2030 sebelum turun menjadi kurang dari 1% pada tahun 2060 dalam APS (Gambar 3.3). Pembangkit listrik tenaga gas juga memainkan peran penting dalam mendukung keamanan listrik, memberikan fleksibilitas, dan berkontribusi pada kehandalan sistem.

Carbon Capture, Utility, and Storage (CCUS)

Berkat ketersediaan bahan bakar fosil domestik di Indonesia, penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas alam akan berlanjut hingga tahun 2060 dalam APS, meskipun dengan peningkatan jumlah aset yang dilengkapi dengan CCUS. Pada tahun 2040, 2 GW pembangkit batu bara dilengkapi dengan CCUS, yang mewakili 6% dari total pembangkit batu bara. Pada tahun 2060, kapasitas pembangkit batu bara yang dilengkapi dengan CCUS mencapai 7 GW. Kapasitas pembangkit gas alam dengan CCUS mencapai 1 GW dan 5% dari total kapasitas pada tahun 2040, dan 3 GW pada tahun 2060. Retrofit pembangkit batu bara dan gas alam mengalami percepatan yang signifikan setelah tahun 2035, dengan menangkap dan menyimpan total hampir 1 Gt emisi CO2 antara tahun 2035 dan 2060. Faktor penting dalam kemampuan penerapan teknologi penangkapan karbon adalah ketersediaan lokasi penyimpanan geologis, untungnya banyak pembangkit listrik yang ada berlokasi di dekat lokasi penyimpanan CO2 yang sesuai.

Cofiring pada Pembangkit Fossil

Co-firing dengan hidrogen beremisi rendah dan derivatifnya, amonia, dalam pembangkit listrik tenaga fosil yang sudah ada dapat memberikan Indonesia alat tambahan untuk mengurangi emisi dari sektor listriknya. Pada pembangkit batu bara tanpa CCUS, co-firing dengan amonia meningkat pesat sekitar tahun 2040, dengan tingkat pencampuran mencapai hampir 60% amonia berdasarkan volume pada tahun 2050 dan mendekati 100% pada tahun 2060 dalam APS. Untuk pembangkit listrik tenaga gas alam tanpa CCUS, co-firing dengan hidrogen mencapai lebih dari sepertiga hidrogen berdasarkan volume pada tahun 2050 dan hampir 80% pada tahun 2060 dalam APS.

Energi Baru Terbarukan

Sebanyak 90% dari total listrik dihasilkan oleh berbagai sumber energi terbarukan yang efisien biaya pada tahun 2060, meningkat dari hampir 20% pada tahun 2021 dan sepertiga pada tahun 2030. Potensi sumber daya energi terbarukan seperti panel surya, panas bumi, dan hidroelektrik yang luar biasa di Indonesia digunakan secara optimal. Pembangkit listrik dari teknologi energi terbarukan mengalami pertumbuhan pesat dalam APS, hampir tiga kali lipat dari tahun 2021 hingga 2030. Kapasitas panel surya meningkat dari kurang dari 1 GW pada tahun 2021 menjadi lebih dari 20 GW pada tahun 2030 dan mencapai 300 GW pada tahun 2050, mengoptimalkan sumber daya surya yang sangat besar di seluruh Indonesia. Pembangkit listrik tenaga angin melengkapi pengembangan panel surya, meskipun terbatas oleh kecepatan angin di sebagian besar lokasi. Ketersediaan turbin angin dengan kecepatan rendah, baik untuk instalasi darat maupun lepas pantai, menjadi hal yang penting. Dalam APS, kapasitas energi angin meningkat dari kurang dari 1 GW pada tahun 2021 menjadi 90 GW pada tahun 2050, dengan sebagian besar di antaranya berada di lepas pantai, terutama di lepas pantai Kalimantan, berdasarkan penilaian IEA terhadap potensi energi angin lepas pantai (IEA, 2019). Selain itu, sejumlah sumber energi terbarukan yang dapat diatur dipasang untuk mengurangi emisi, memberikan fleksibilitas, dan menjaga keamanan pasokan listrik. Pembangkit listrik tenaga hidroelektrik menjadi yang terpenting dengan kapasitas lebih dari 70 GW pada tahun 2060. Energi panas bumi menyumbang 22 GW dan bioenergi sebesar 25 GW pada tahun 2060 dalam APS.

Nuklir

Saat ini, Indonesia belum memiliki pembangkit listrik tenaga nuklir, namun pemanfaatannya dapat menjadi salah satu opsi dalam perjalanan mencapai emisi nol bersih. Pembangkit listrik tenaga nuklir dapat menyediakan sumber daya listrik yang dapat diatur tanpa menambah emisi, serta mendukung keandalan dan kestabilan jaringan listrik. Dalam APS, reaktor nuklir pertama Indonesia diharapkan mulai menghasilkan listrik setelah tahun 2035, dan total kapasitas nuklir sebesar 8 GW diharapkan beroperasi pada tahun 2050. Dengan demikian, Indonesia akan bergabung dengan beberapa negara yang diharapkan mengembangkan pembangkit listrik tenaga nuklir pertama mereka dalam APS, termasuk Turki, Polandia, dan Mesir. Untuk mendukung pengenalan energi nuklir di Indonesia, struktur regulasi yang diperlukan harus dikembangkan, dengan pemeriksaan keamanan independen sebagai elemen inti. Jika reaktor nuklir modular kecil berhasil dikembangkan dan jika secara ekonomis layak, hal ini dapat memberikan peluang untuk lebih berkontribusi pada transisi energi Indonesia.

Biaya pembangkitan Listrik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun