PLN masih menganggap co-firing sebagai strategi untuk mengurangi emisi karbon dari PLTU Batubara dan meningkatkan pangsa energi terbarukan dalam pembangkitan listrik. Meskipun co-firing dengan rasio pencampuran rendah merupakan teknologi yang matang, teknologi ini secara perlahan ditinggalkan seiring dengan munculnya teknologi lain yang lebih efisien. Selain itu, implementasi co-firing sering menghadapi tantangan seperti harga premium biomassa yang tinggi, ketersediaan bahan baku, dan tantangan teknologi.
Perlu dicatat juga bahwa potensi pengurangan karbon dari co-firing relatif rendah, sekitar 5,4%, dibandingkan dengan skenario tanpa co-firing. Selain itu, rasio pencampuran saat ini juga rendah, sekitar 5%, jauh di bawah target PLN sekitar 20%. Oleh karena itu, disarankan bagi PLN untuk memeriksa kembali program co-firing sebelum melanjutkan rencananya untuk menerapkan co-firing secara nasional.
Early retirement PLTU memungkinkan dengan mekanisme transisi energi
Rencana penghapusan PLTU Batubara saat ini masih belum cukup ambisius, meskipun pemerintah berharap dapat mencapai emisi netral sebelum tahun 2060. Studi IESR menunjukkan bahwa untuk mencapai nol emisi di sektor energi pada tahun 2050, emisi karbon harus mencapai puncaknya pada tahun 2025.
Dalam studi lain yang dilakukan oleh ADB, terlihat bahwa untuk mencapai puncak emisi pada tahun 2030, PLN harus mulai menyusun rencana pensiun dini untuk PLTU Batubara yang berusia kurang dari 20 tahun. Ini ditambah dengan PLTU Batubara yang tidak efisien dan tua seperti PLTU Suralaya dan PLTU Bukit Asam yang telah masuk daftar calon pensiun.
Mengingat urgensi pensiun PLTU Batubara, ADB telah membentuk mekanisme baru yang disebut Mekanisme Transisi Energi (ETM). Melalui mekanisme ini, Indonesia, Filipina, dan Vietnam akan ditawari bantuan keuangan dari ADB untuk pensiun dini armada batubara mereka. Proyek percontohan telah direncanakan untuk lima hingga tujuh PLTU Batubara di tiga negara ini. ETM akan membantu pemilik PLTU Batubara menghindari kerugian finansial yang besar akibat pensiun dini. Ada dua jenis pendanaan yang disediakan melalui ETM.
Solar PV harus menjadi ujung tombak untuk mengejar NZE 2050
Dekarbonisasi mendalam sistem energi Indonesia membutuhkan penurunan emisi yang signifikan melalui penggunaan pembangkit listrik berkarbon rendah yang cepat pada tahun 2030. Peningkatan ini akan sebagian besar dipenuhi oleh pembangkit listrik tenaga surya skala utilitas, terutama karena daya saing biayanya yang meningkat (18 USD/MWh pada tahun 2030, dibandingkan dengan 58 USD/MWh pada tahun 2020). Ini juga akan melibatkan hal-hal berikut:
- Bagian pembangkitan listrik tenaga surya harus mengalami peningkatan besar dari hanya 0,05% pada tahun 2020 menjadi 24% pada tahun 2030, dan pada akhirnya mencapai 88% pada tahun 2050 - di mana energi terbarukan harus menyumbang 50% dari total pembangkitan listrik pada tahun 2030 dan mencapai 100% pada tahun 2050. Sementara itu, pembangkit batu bara harus mengalami penurunan dari sekitar 60% saat ini menjadi 45% pada tahun 2030.
- Kapasitas panel surya terpasang harus meningkat menjadi 19 GWp pada tahun 2025, 108 GWp pada tahun 2030, dan 1492 GW pada tahun 2050. Pembangkit listrik tenaga surya skala utilitas akan menyumbang sekitar 80% dari kapasitas terpasang yang diperlukan, sementara sisanya berasal dari panel surya terdistribusi (prosumer) atau PLTS Atap. Untuk mencapai kapasitas panel surya terpasang sebesar 108 GWp pada tahun 2030, dibutuhkan investasi tahunan rata-rata sebesar 3,125 miliar USD pada tahun 2022 – 2025 dan 6,5 miliar USD pada tahun 2026 – 2030.
Electrical Energy Storage (EES) merupakan kunci untuk penetrasi EBT pada sistem
Studi dekarbonisasi menunjukkan bahwa seiring dengan meningkatnya proporsi energi terbarukan dalam jaringan listrik, kebutuhan akan penyimpanan meningkat mulai dari tahun 2030 ke depan. Sistem Penyimpanan Energi (EES) dapat memenuhi 30% dari permintaan listrik pada tahun 2050 di Indonesia, dengan pasokan sekitar 877 TWh listrik. Sistem EES yang digunakan meliputi BESS dan PHES, dengan BESS berperan lebih besar dengan kontribusi sebesar 99% dari total penyimpanan. Baterai skala utilitas dan baterai prosumer akan menjadi bagian besar dari keluaran EES pada tahun 2050.
Intermitensi energi terbarukan dapat mempengaruhi stabilitas jaringan. Peraturan terbaru mengenai grid code, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 20/2020, mewajibkan semua pembangkit listrik tenaga terbarukan intermiten (VRE) untuk terus beroperasi dan menghasilkan daya tanpa gangguan dalam rentang frekuensi tertentu. Alih-alih menggunakan baterai atau teknologi penyimpanan lainnya untuk mengatasi masalah intermitensi, PLN memilih untuk mengoptimalkan penggunaan pembangkit listrik tenaga termal.
CAPEX (pengeluaran modal) baterai saat ini adalah sekitar 0,58 juta USD/MWh, dan akan 73% lebih rendah pada tahun 2050 karena penggunaannya yang luas. PHES, sebagai teknologi penyimpanan baru yang belum banyak digunakan, memiliki CAPEX tetap dari tahun 2020 hingga 2050 sebesar 0,86 juta USD/MWh.
Harga BESS di masa depan diprediksi akan semakin murah
Harga rata-rata global dari baterai Lithium-ion (Li-ion) telah turun 89% dari nilai tahun 2010. Penurunan ini disebabkan oleh produksi massal dan penggunaannya dalam kendaraan listrik dan penyimpanan stasioner serta ketersediaan bahan yang lebih beragam dan canggih. Akibatnya, pada tahun 2020, biaya paket baterai Li-ion adalah 137 USD/kWh, dengan biaya sel sebesar 102 USD/kWh dan biaya paket sebesar 35 USD/kWh.
Sebagian besar baterai yang digunakan di Indonesia adalah baterai Li-ion. Namun, PLN menyatakan bahwa mereka akan mulai mempertimbangkan baterai berbasis redoks dari vanadium atau serium karena biaya pembangkitan listrik yang tinggi dari baterai Li-ion untuk pembangkit listrik tenaga surya skala utilitas (13 sen USD/kWh untuk litium, sementara hanya 3,5 sen USD/kWh untuk redoks). LCOS (Levelized Cost of Storage) dari baterai Li-ion adalah 200-500 USD/MWh pada tahun 2020 dan diprediksi akan tetap berada di kisaran 80 – 205 USD/MWh pada tahun 2050. Sementara itu, LCOS baterai berbasis aliran redoks adalah 185 – 400 USD/MWh pada tahun 2020, dan akan menurun menjadi 90 – 200 USD/MWh pada tahun 2050. Meskipun penurunan LCOS dari kedua teknologi tersebut serupa, Li-ion mungkin tetap mendominasi teknologi baterai masa depan karena beberapa keunggulan.