Mohon tunggu...
Abghi Ilman Arif
Abghi Ilman Arif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Institut Teknologi Bandung

Mahasiswa Teknik Elektro, Mata Kuliah Ekonomi Energi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Menuju Indonesia Zero Net Emission 2060 dengan Early Retirement Pembangkit Fosil

19 Mei 2023   17:35 Diperbarui: 19 Mei 2023   17:40 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Indonesia telah menjadi empat besar Negara dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat di dunia selama lima dekade terakhir, setelah Korea, Singapura, dan China. Pada tahun 2021, tingkat kemiskinan di Indonesia adalah kurang dari 10% dari populasi, merupakan kemajuan yang signifikan dari tingkat 60% pada tahun 1970. Saat ini, peringkat Indonesia dalam skala global meliputi: negara terpadat keempat; ekonomi terbesar ketujuh; konsumen energi terbesar kedua belas, dan penghasil emisi CO2 terbesar kesembilan dari pembakaran bahan bakar.

Pendapatan/kapita Indonesia sekitar USD 13.000 (PPP) pada tahun 2021, sekitar 70% dari rata-rata global. Pada tahun 2000-an, Indonesia berubah dari eksportir neto minyak menjadi importir neto, dengan pangsa sektor ekstraksi minyak dan gas dalam PDB menurun dari sekitar 10% pada tahun 2000, menjadi sekitar 2,4% pada tahun 2021. Pertambangan batu bara menyumbang 2,4% dari PDB pada tahun 2021, dan ekspor batu bara dan gas alam rata-rata mewakili sekitar seperempat dari total ekspor barang bersih selama lima tahun terakhir.

Penduduk, ekonomi, dan sumber daya energi Indonesia tersebar tidak merata di banyak pulau. Pulau Jawa menyumbang sekitar 60% dari populasi dan PDB, dan 75% dari konsumsi listrik, serta sangat padat penduduk. Namun, Jawa hanya menyumbang 4% dari potensi panel surya di negara ini dan 14% dari potensi energi angin di darat.

Pasokan energi total di Indonesia meningkat lebih dari satu setengah kali lipat dari tahun 2000 hingga 2021. Penggunaan batu bara meningkat dari kurang dari 10% pada tahun 2000 menjadi hampir sepertiga pada tahun 2021 dan melampaui minyak sebagai komponen terbesar dalam pasokan energi total. Akses ke bentuk energi modern juga meningkat secara signifikan, dengan akses listrik meningkat dari sekitar 55% pada awal tahun 1990-an menjadi hampir 100% pada tahun 2021. Emisi CO2 sektor energi total Indonesia sebesar 600 Mt pada tahun 2021, hampir sama dengan emisi sektor energi Korea. Emisi sektor energi total Indonesia lebih dari dua kali lipat antara tahun 2000 dan 2021, di mana batu bara bertanggung jawab atas lebih dari 70% peningkatan tersebut.

Indonesia mengajukan Kontribusi Penentuan Sendiri yang Diperbarui dan Strategi Emisi Rendah Jangka Panjang pertamanya ke UNFCCC pada tahun 2021. Strategi tersebut menyatakan bahwa Indonesia memiliki kesempatan untuk "menuju nol emisi pada tahun 2060 atau lebih awal". Untuk mencapai target yang ambisius ini, diperlukan tindakan kuat di seluruh sektor energi.

Studi IESR pada Indonesia Energy Transition Outlook 2022 dengan target Net – Zero Emissions 2050

Menggunakan 100% EBT secara teknis dan ekonomis bisa dilakukan

Pembangkitan listrik menyumbang lebih dari 40% dari total emisi dalam sektor energi, sehingga dekarbonisasi sektor ini menjadi sangat penting untuk mencapai target karbon netral. Studi dekarbonisasi mendalam IESR menunjukkan bahwa Indonesia harus mencapai puncak emisi dari pembangkitan listrik pada tahun 2025 dan tidak lagi menggunakan bahan bakar fosil dalam pembangkitan listrik pada tahun 2045 jika negara ini ingin mencapai sistem energi tanpa emisi pada tahun 2050.

Untuk sejalan dengan skenario tanpa emisi, setidaknya 47% dari pembangkitan listrik pada tahun 2030 harus berasal dari sumber energi terbarukan. Tenaga surya akan menjadi tulang punggung dari sistem pembangkit listrik yang telah terdekarbonisasi, diikuti oleh tenaga air dan panas bumi. Dalam 10 tahun mendatang, kapasitas PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) akan meningkat sebanyak seratus kali lipat menjadi 108 GW untuk mendukung elektrifikasi yang semakin meningkat di sektor industri dan transportasi. Mulai dari tahun 2045, semua pembangkitan listrik akan berasal dari sumber energi terbarukan. Hal ini terjadi berkat energi terbarukan yang memiliki biaya rendah yang menggantikan bahan bakar fosil.

Masalah intermittency dapat diatasi dengan memanfaatkan penyimpanan energi seperti Battery Energy Storage System (BESS) dan Pump Hydro Storage System (PHES). Seiring dengan terus turunnya biaya baterai, baterai menjadi teknologi penyimpanan listrik yang paling relevan pada tahun 2050. Baterai berskala utilitas dan baterai produsen berkontribusi secara signifikan terhadap keluaran penyimpanan listrik sekitar 870 TWh pada tahun 2050.

Interkoneksi jaringan antarpulau akan menjadi kunci dalam sistem pembangkitan listrik berbasis energi terbarukan 100%. Studi kami menunjukkan bahwa pada tahun 2050 setidaknya diperlukan kapasitas transmisi sebesar 158 GW di seluruh Indonesia untuk memungkinkan pertukaran energi antar pulau.

RUPTL yang ‘hijau’ masih tidak cukup hijau

RUPTL 2021-2030 diklaim sebagai RUPTL yang paling ramah lingkungan dengan penambahan kapasitas energi terbarukan yang direncanakan mencapai 20,9 GW, atau lebih dari separuh dari total penambahan kapasitas yang direncanakan untuk sepuluh tahun mendatang. Melalui RUPTL ini, PLN bertujuan untuk meningkatkan pangsa energi terbarukan dalam pembangkitan listrik menjadi 23% pada tahun 2025 dari hanya 15% saat ini. Namun, pangsa energi terbarukan hanya akan meningkat menjadi 24,8% pada tahun 2030. Oleh karena itu, patut dipertanyakan apakah RUPTL "hijau" ini cukup ramah lingkungan untuk mendekarbonisasi sistem pembangkit listrik.

Secara khusus, PLN berencana untuk menginstal setidaknya 4,7 GW PLTS dan 4,2 GW PHES dalam sepuluh tahun mendatang. Sementara itu, PLTU Batubara akan tetap memainkan peran penting dalam jaringan listrik dengan pangsa pembangkitan batubara mencapai antara 59% dan 64% pada tahun 2030 tergantung pada skenario yang dipilih. Ketergantungan yang tinggi pada batubara tersebut bertentangan dengan tren global untuk beralih dari bahan bakar fosil dan juga meningkatkan risiko aset terjebak PLN karena biaya energi terbarukan terus menurun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun