Mengenai eksekusi mati 6 orang FPI hanya bisa dilakukan oleh regu penembak yang ditentukan undang-undang dan hanya bisa dilaksanakan setelah ada putusan pidana mati yang berkekuatan hukum sedangkan regu polisi hanya ditugaskan untuk memanggil Habib Rizieq Shihab, bukan untuk eksekusi hukuman mati.
Artinya, tindakan menghilangkan nyawa orang lain tanpa pengadilan regu penembak yang ditentukan undang-undang dan hanya bisa dilaksanakan setelah ada putusan pidana mati yang berkekuatan hukum tetap mengenai 6 orang FPI tersebut.
Komnas HAM telah mengantongi bukti CCTV Jalan Tol Cikampek terkait bentrok FPI-polisi, namun perlu dianalisis lebih lanjut. Ini yang sangat tidak manusiawi karena sudah melanggar HAM.Â
 Hak Asasi Manusia dan hukum harus terus ditingkatkan agar tercipta iklim yang damai, aman, serta nyaman di Indonesia. Pemerintah Jokowi belum komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus terkait pelanggaran HAM masa lalu.
6. Polarisasi Hilang Dari Aswaja dan Marhaenisme
Partai Indonesia mudah polarisasi mengenai suatu isu terutama pelanggaran HAM. Polarisasi politik dari partai di DPR tak melulu buruk untuk kepercayaan (trust) di masyarakat. Sikap saling percaya merupakan elemen dasar dari modal sosial bagi demokrasi, bukan?
Polarisasi berbasis ASWAJA dan MARHAENISME, tidak akan muncul kembali karena mereka telah memiliki titik temu politik kebangsaan dalam Islam Nusantara.
Libido akal sehat yang tumbuh subur dalam masyarakat telah menimbulkan munculnya imajinasi kolektif bercorak konstruktif. Hasil interferensi konstruktif ke arah sudut lebih baik demokrasi Indonesia bergantung pada posisi fase gelombang rakyat tersebut.
7. Polarisasi Masyarakat Berbasis Pelanggaran HAM
Isu polarisasi tidak hanya dibentuk oleh ideologi antara kelompok ASWAJA dan MARHAENISME. Menurut penulis, bagi kedua kelompok untuk menyebarkan opini terkait kebijakan membunuh 6 orang FPI yang mereka setujui atau tidak setujui berdasarkan ayat konstitusi membahas HAM.
Efeknya, pemerintah tidak hanya dituntut lebih transparan dan akuntabel, namun DPR harus memiliki justifikasi yang rasional untuk tiap kebijakannya jika mereka tidak ingin dikritik habis-habisan hingga timbul ketidakstabilan demokrasi.