Indonesia memulai fase baru yang dikenal sebagai reformasi energi  dari Batu bara kalori rendah akan diproses menjadi Dimethyl Ether (DME) dengan harga murah dengan subsidi untuk substitusi atau menggantikan Liquefied Petroleum Gas (LPG) yang harga mahal.
Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Daerah dalam  mengelola sumber daya alam yang ada di daerah terjadi pada  kegiatan pertambangan, dimana pertambangan yang seharusnya dikelola oleh pemerintah  daerah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar pertambangan justru  disalahartikan dengan mengomersialkan pertambangan nasional untuk kepentingan  pribadi atau golongan tertentu.Â
Berdasarkan Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) pada Pasal 67 menyebut kepala daerah berkewajiban menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketika hendak memulai tugas pun tiap kepala daerah bersumpah menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya.Â
Bila melanggar, baik kewajiban maupun sumpah, kepala daerah dapat diberhentikan sesuai yang diatur dalam Pasal 78 Undang-Undang Pemda.Â
Ketentuan sanksi itu sesungguhnya sudah merupakan peringatan yang keras kepada para kepala daerah agar tidak bersikap abai atas kewajiban mereka.Â
Instruksi Mendagri hanya menggarisbawahi apa yang sudah terang benderang diatur. Aturan itu hanya lebih berfokus pada penanganan pertambangan.
Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  2014  tentang  Pemerintahan  Daerah  membawa  paradigma  penyelenggaraan  kewenangan  Pemerintahan  terkait  pengelolaan  Sumber  Daya  Alam  (SDA),  termasuk  dibidang  pertambangan. Â
Kewenangan  Pemerintah  Daerah  Kabupaten/  Kota  beralih  ke  Pemerintah  Daerah  Provinsi,  sehingga  Bupati/  Walikota  tidak  lagi  mempunyai  kewenangan  dalam  penyelenggaraan  Urusan  Pemerintahan  bidang  pertambangan.  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.Â
Pada Pasal 14 pada ayat (1) dalam undang-undang yang terbaru, yaitu: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi, "Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah.Â
Oleh  karena  Usaha  pertambangan  terjadi  didaerah  Pemerintahan  Kabupaten/  Kota,  maka  pemerintah  daerah  kabupaten/  kota  harus  tetap  ikut  mengawasi  aktivitas  pertambangan batu bara.
Dalam pemerintah  daerah  kabupaten/  kota  harus  tetap  ikut  mengawasi  aktivitas  pertambangan. UU No 3 Tahun 2020 ini menandai ditariknya kembali  urusan yang menjadi kewenangan daerah yang pada intinya menyangkut isu pengelolaan dan pengawasan. Â
Perubahan krusial terkait pemindahan perizinan dan pengawasan dari pemerintah daerah kepada pusat. Dalam konteks kewenangan atas pertambangan, seperti pula berbagai sektor strategis lain seperti kehutanan dan perikanan, model sentralisasi dan desentralisasi selalu menjadi perdebatan selama ini.
 Secara konseptual pendekatan pola hubungan daerah dan pusat bisa dilihat dari model beberapa pendekatan sehingga model desentralisasi kecenderungan pembentukan kebijakan dilaksanakan oleh aparatur pemerintahan daerah otonom pada jenjang-jenjang organisasi yang lebih rendah dan tersebar secara kewilayahan.Â
Implementasi kebijakan dilaksanakan oleh aparatur pemerintahan daerah otonom pada jenjang organisasi yang lebih rendah dan tersebar secara kewilayahan.
Tujuan desentralisasi adalah menciptakan keanekaragaman dalam penyelenggaraan suatu kebijakan dalam pemerintahan variasi struktur dan politik.Â
Adapun bentuk dari desentralisasi adalah otonomi daerah yang memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan mengatur dan melaksanakan mengurus pertambangan.Â
Sementara terkait dengan hubungan antara daerah otonom dan pemerintah adalah hubungan antar organisasi dan bersifat resiprokal.
Terkait dengan pertambangan sebagai tugas Pembantuan merupakan penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota.
Daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi, mengacu pada Pasal 1 angka 11 UU No. 23 Tahun 2014.Â
Ruang lingkup wewenang pemerintahan daerah tidak wewenang untuk membuat keputusan pemerintahan pusat, tetapi semua wewenang dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan.
Adapun cara memperoleh wewenang diperoleh dari atribusi, delegasi, dan mandat sehingga pemerintah  pusat mampu mengelola proses perizinan dan pengawasan pertambangan di seluruh  Indonesia termasuk batu bara.
UU No 3 Tahun 2020 ini memberikan kepastian hukum bagi perpanjangan/konversi KK/PKP2B menjadi IUPK Operasi Produksi, juga mengatur beberapa hal penting.Â
Kewenangan pengelolaan minerba yang sebelumnya didelegasikan oleh pemerintah ke pemerintah daerah, di dalam UU Minerba baru kewenangan berada ditangan pemerintah pusat.Â
UU No 3 Tahun 2020 ini menetapkan sumber daya mineral dan batubara adalah kekayaan nasional oleh karena itu pengelolaannya dibawah kendali pemerintah pusat.Â
Namun daerah tetap akan mendapatkan manfaat, bahkan diharapkan lebih besar, dari pengelolaan minerba pasca penerbitan UU No 3 Tahun 2020 ini.Â
Peran pemerintah daerah akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP) yang segera akan disusun. Selain itu, UU juga memperkenalkan izin baru yaitu Surat Izin Pertambangan Batuan (SIPB) yang kewenangannya didelegasikan ke pemerintah provinsi.
UU No 3 Tahun 2020 menyeragamkan, kesamaan, dan mengakomodir dari pelaku usaha pertambangan karena bisa sinkron dengan peraturan sektoral lainnya, diyakini UU Minerba yang baru dapat membawa industri pertambangan ke arah yang lebih baik.
Paling tidak, dalam jangka pendek bisa mendorong kegiatan usaha pertambangan lebih maksimal. banyak mengatur ketentuan yang positif bagi pelaku usaha, namun penetapan sanksi pidana dan denda yang lebih berat perlu menjadi perhatian khusus bagi pemegang izin.Â
Terkait konflik horizontal dan dampak  terhadap lingkungan. Adanya sanksi pidana penjara maksimal 5 tahun dan/atau denda uang sampai Rp. 100 miliar tentu diharapkan mendorong kepatuhan dari pelaku usaha terhadap peraturan perundang-undangan.Â
Oleh karena itu, penyusunan rancangan peraturan pelaksanaan (RPP) yang sudah disusun oleh pemerintah perlu mendapat perhatian penting dari seluruh pelaku usaha Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara Usaha Pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah pusat. Pasa 2 Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pemberian:Â
a. nomor induk berusaha;Â
b. sertifikat standar; dan/atauÂ
c. Izin.Â
Dalam Pasal 8 Pendelegasian Perizirnan Berusaha dalam bentuk pemberian sertifikat standar dan izin  diatur lebih lanjut dengan Peraturan presiden.Â
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara memiliki pertimbangan bahwa perkembangan jumlah, penyebaran, skala, maupun efisiensi kegiatan usaha merupakan penentu utama pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan serta ketimpangan antar daerah maupun antar kelompok pendapatan
Perizinan berusaha yang diterbitkan oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk memulai, melaksanakan, dan mengembangkan kegiatan usaha, perlu ditata kembali agar menjadi pendukung dan bukan sebaliknya menjadi hambatan perkembangan kegiatan usaha.
Penataan kembali sebagaimana dimaksud dalam diwujudkan dalam bentuk pelayanan, pengawalan (end to end), dan peran aktif penyelesaian hambatan pelaksanaan berusaha melalui pembentukan Satuan Tugas pada tingkat nasional, kementerian/ lembaga, daerah provinsi, dan daerah kabupaten/kota.
Dalam rangka percepatan pelaksanaan berusaha di kawasan ekonomi khusus, kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, kawasan industri, dan/atau kawasan pariwisata sudah dapat dilaksanakan dalam bentuk pemenuhan persyaratan (checklist).
Pengawasan terhadap Peraturan Daerah
UUD 1945 tidak secara eksplisit mengatur pengawasan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, tetapi ketetapan yang diatur dalam UUD 1945 bahwa Indonesia berbentuk negara kesatuan memberikan konsekuensi lain, yaitu setiap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah harus selaras dan harmonis dengan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Pemerintah daerah tidak boleh mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat atau dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengenai Dimethyl Ether (DME).Â
Tujuan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap peraturan daerah adalah, untuk memastikan bahwa kebijakan-kebijakan yang diatur dalam peraturan daerah di bidang perizinan tidak bertentangan dengan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.Â
Mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap peraturan daerah disebut dengan executive review. Pengawasan pemerintah pusat terhadap peraturan daerah dibedakan menjadi dua, yaitu pengawasan preventif dan pengawasan represif.Â
Pengawasan preventif merupakan upaya untuk menghindari terjadinya kesalahan atau kekeliruan, sedangkan pengawasan represif adalah upaya untuk memperbaiki tindakan pemerintahan apabila telah terjadi kesalahan atau kekeliruan.
Dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, terdapat hubungan pengawasan yang berfungsi untuk mencegah kemungkinan terjadinya penyimpangan tugas pemerintahan sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.Â
Pengawasan dilakukan dalam rangka mewujudkan hubungan yang harmonis, transparan serta selaras antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.Â
Salah satu bentuk pengawasan tersebut adalah pengawasan terhadap produk hukum daerah yang memuat substansi penyelenggaraan perizinan.
Pengawasan terhadap Peraturan daerah Provinsi maupun Peraturan daerah Kabupaten/ Kota merupakan salah satu bentuk upaya pemerintah pusat untuk memastikan bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, khususnya pemerintah daerah sejalan dengan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Terdapat 347 Â peraturan daerah (perda) yang bermasalah dan memiliki potensi menghambat investasi.Â
Terdapat 235 perda yang bermasalah adalah terkait dengan pajak dan retribusi daerah, 63 terkait  dengan perizinan, 7 terkait dengan masalah ketenagakerjaan, dan 42 perda dengan urusan  lain-lain serta banyak di antara perda-perda tersebut bermasalah dalam aspek yuridis, substansi, hingga prinsip.Â
Ribuan perda yang dibatalkan tersebut dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi daerah, memperpanjang jalur birokrasi menghambat proses perizinan dan investasi, menghambat kemudahan berusaha, dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.Â
Hal ini berkaitan dengan rendah legitimasi dan keabsahan tindakan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pelayanan terhadap masyarakat terutama penyedia Dimethyl Ether (DME).
Selain pemerintah daerah memberikan legitimasi kepada pemerintah, peraturan daerah selaku produk hukum memliki fungsi untuk tiak  mengakomodir aspirasi dan kepentingan masyarakat.Â
Suatu Peraturan daerah tidak boleh semata-mata hanya memuat kepentingan dari penguasa daerah yang bertentangan penguasa nasional mengenai Dimethyl Ether (DME).Â
Dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, terdapat hubungan pengawasan yang berfungsi untuk mencegah kemungkinan terjadinya penyimpangan tugas pemerintahan sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pengawasan dilakukan dalam rangka mewujudkan hubungan yang harmonis, transparan serta selaras antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.Â
Salah satu bentuk pengawasan tersebut adalah pengawasan terhadap produk hukum daerah yang memuat substansi penyelenggaraan perizinan mengenai Dimethyl Ether (DME).
Pengawasan terhadap Peraturan daerah Provinsi maupun Peraturan daerah Kabupaten/ Kota merupakan salah satu bentuk upaya pemerintah pusat untuk memastikan bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, khususnya pemerintah daerah sejalan dengan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) telah mengatur tentang prosedur pengawasan preventif dan pengawasan represif peraturan daerah.
Prosedur pengawasan peraturan daerah khususnya peraturan daerah kabupaten/kota mengacu pada ketentuan-ketentuan yang telah diatur didalam Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).Â
Pasal 91 ayat (2) Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) menyebutkan bahwa pengawasan terhadap peraturan daerah kabupaten/kota dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.Â
Pada ayat selajutnya, disebutkan bahwa dalam rangka melakukan pengawasan terhadap peraturan daerah kabupaten/kota, gubernur memiliki wewenang untuk membatalkan peraturan daerah kabupaten/kota serta memberikan persetujuan dan evaluasi terhadap rancangan peraturan daerah kabupaten/kota.Â
Pengawasan secara preventif ditunjukkan dengan frasa "wajib menyampaikan" , "persetujuan", dan "evaluasi".
Sedangkan pengawasan secara represif ditunjukkan dengan frasa "pembatalan". Hal ini senada dengan pendapat dariAbdurrofi Abdullah Azzam yang menyatakan bahwa pengesahan merupakan perwujudan dari pengawasan, dimana sebelum dilakukan pengesahan harus dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu sehingga dapat diintepretasikan bahwa frasa wajib menyampaikan, persetujuan dan evaluasi adalah salah satu bentuk pengawasan berupa pemeriksaan atau checking.Â
Sementara itu, bentuk dari pengawasan represif adalah dengan adanya pembatalan. Prosedur pengawasan preventif menurut dari pengawasan, dimana sebelum dilakukan pengesahan harus dilakukan pemeriksaan terlebih dulu sehingga dapat diintepretasikan bahwa frasa wajib menyampaikan, persetujuan dan evaluasi adalah salah satu bentuk pengawasan berupa pemeriksaan atau checking.Â
Sementara itu, bentuk dari pengawasan represif adalah dengan adanya pembatalan. Prosedur pengawasan preventif menurut UU No.23/2014 dilakukan dalam tahap penetapan. Mekanisme penetapan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota menjadi peraturan daerahdiatur dalam Pasal 242 juncto Pasal 245 UU No.23/2014.Â
Dalam pengawasan represif peraturan daerah kabupaten/ kota telah diatur secara khusus di dalam Pasal 249 sampai dengan Pasal 252 UU No.23/2014. Adapun mekanisme pengawasan represif peraturan daerah kabupaten/kota berdasarkan UU No. 23/2014dilakukan dalam tahap penetapan.
Mekanisme penetapan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota menjadi peraturan daerah diatur dalam Pasal 242 juncto Pasal 245 dari pengawasan, dimana sebelum dilakukan pengesahan harus dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu sehingga dapat diintepretasikan bahwa frasa wajib menyampaikan, persetujuan dan evaluasi adalah salah satu bentuk pengawasan berupa pemeriksaan atau checking.Â
Wewenang Kemendagri membatalkan Peraturan Daerah (Perda) provinsi yang dalam putusan sebelumnya hanya Perda Kabupaten/Kota, sehingga pembatalan Perda sepenuhnya menjadi wewenang Mahkamah Agung (MA).Â
"Menyatakan frasa 'Perda Provinsi dan' dalam Pasal 251 ayat (1) dan ayat (4), dan frasa 'Perda Provinsi dan' dalam Pasal 251 ayat (7), serta Pasal 251 ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sesuai putusan bernomor 56/PUUXIV/2016.Â
 Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 karena termasuk hierarki peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Para Pemohon meminta Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai Mendagri atau Gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan Perda ke MA paling lambat 14 hari setelah ditetapkan.Â
Sedangkan, Pasal 251 ayat (7), ayat (8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 minta dibatalkan. MK ingin tertib hukum ke depannya, makanya pembatalan Perda baik Provinsi atau Kab/Kota dilimpahkan ke MA (semuanya).Â
Jadi, Putusan MK ini sudah tidak boleh lagi eksekutif yang membatalkan perda. Aturan mekanisme pembatalan Perda Kabupaten/Kota oleh gubernur dan mendagri inkonstitusional.Â
Dengan begitu, sesuai dua putusan MK ini, pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan Perda Provinsi hanya bisa ditempuh melalui judicial review ke MA.Â
MK menilai bahwa Perda merupakan produk hukum yang dibuat oleh eksekutif dan legislatif di daerah, yakni Pemerintah Daerah (Pemda) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).Â
Kedudukan Perda, baik Perda Provinsi maupun Perda Kabupaten/Kota, dalam hierarki perundang-undangan adalah di bawah Undang-Undang. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Sebagai produk hukum di bawah UU, Perda seharusnya tidak dapat dibatalkan secara sepihak oleh eksekutif melalui Mendagri. Melainkan harus melalui judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).
Hal ini sesuai dengan kewenangan MA yang diatur dalam ketentuan Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI 1945 yang salah satunya adalah menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mencabut kewenangan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) membatalkan peraturan daerah, baik tingkat Kabupaten maupun Provinsi. Sebab, hal itu akan mempersulit Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menertibkan perda yang dinilai bermasalah.
Tantangan Kemendagri mengajukan uji materi terhadap perda-perda yang dinilai bermasalah. Apabila MA berdasarkan permohonan, berdasarkan gugatan merupakan dampak dari putusan MK.Â
Siap atau tidak itu kan risikonya menyampaikan, permohonan uji materi akan ditanggapi sesuai prosedur yang berlaku. Nantinya, uji materi itu masuk pada kamar Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).Â
Setiap permohonan uji materi yang diajukan akan diproses. Adapun proses uji materi akan memakan waktu selama tiga bulan. Penyelesaian perkara harus putus tiga bulan sejak diajukan Kemendagri.
Kemendagri mengajukan uji materi terhadap perda-perda yang dinilai bermasalah untuk melaksanakan putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015 terkait penghapusan norma wewenang pembatalan peraturan daerah (perda) kabupaten/kota oleh Mendagri.Â
Sebab, putusan itu berpengaruh hilangnya "jalan pintas" Pemerintah ketika melakukan deregulasi terhadap berbagai perda yang dinilai menghambat investasi di daerah.Â
Tantangan bagi Kemendagri perlu melakukan penataan ulang mekanisme pengawasan preventif ini dari sisi regulasi maupun kelembagaan.
 Di sisi lain, putusan MK ini juga berpengaruh bagi Mahkamah Agung (MA). Dengan adanya Putusan MK itu, maka pembatalan perda kabupaten/kota hanya dapat dilakukan melalui judicial review di MA.
Penggalian Harta Karun Dimethyl Ether (DME)Â
Dasar dari transisi ini dirumuskan dalam UU yang disetujui parlemen dan disahkan Presiden Indonesia untuk potensi guncangan ekonomi jika bergantung Liquefied Petroleum Gas (LPG) sehingga reformasi kebijakan menjadi Dimethyl Ether (DME) menjadi tujuan, manfaat, dan langkah-langkah kompensasi potensial untuk jaringan masyarakat hingga kebutuhan energi dalam negeri.
Cadangan Indonesia menyimpan sekitar 2 miliar ton batu bara semacam itu, sebagian besar harta karun tidak terpakai sehingga reformasi untuk memutuskan untuk mewajibkan hilirisasi komoditasbatu bara tidak dijual dalam bentuk 'barang mentah' hasil tambang, namun memiliki nilai tambah lebih besar.
Reformasi Liquefied Petroleum Gas (LPG) ke Dimethyl Ether (DME) memastikan jaminan ketersediaan energi selaras dengan tujuan dan kepentingan nasionalnya melalui implementasi strategis dinamis sesuai dengan tuntutan pemanfaatan harta karun regional dan nasional yang melimpah. Â
Untuk ekspor bukan Dimethyl Ether (DME) tapi batubara (bahan mentah) ke negara India dan Tiongkok harus dihentikan sehingga alokasi Dimethyl Ether (DME) bisa dimanfaatkan masyarakat Indonesia sebagai energi primer dalam kebijakan gabungan stimulant fiskal, moneter, dan kelonggaran regulasi untuk pengguna rumah tangga maupun pendukung lainnya dalam sentra industri baru.Â
Pemerintah harus mengajak masyarakat untuk turut serta dalam upaya konservasi energi Dimethyl Ether (DME) ke melalui sosialisasi yang terarah, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam penjagaan kedaulatan energi Indonesia agar harta karun tidak dinikmati masyarakat Tiongkok dan India mendapatkan penolakan pemerintahnya.
Kedaulatan energi dalam konteks Dimethyl Ether (DME) Â ini intinya adalah mampukah kita menyediakan energi dari dalam negeri sehingga Indonesia bergantung pada impor Liquefied Petroleum Gas (LPG) dengan cara memberikan insentif kepada pengembang energi sumber energi batu bara dan kepada masyarakat untuk melakukan penelitian dan pengembangan energi alternatif.
Dimethyl Ether (DME) adalah bukti Indonesia tak lagi bergantung dari penjualan 'barang mentah' kepada Tiongkok dan India, namun hasil pengolahan dan hilirisasi dengan nilai jual lebih tinggi karena Indonesia rentan akan terjadi krisis energi apabila ada penyokong rantai batu bara yang terganggu di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H