Mohon tunggu...
Abdurrazzaq Zanky
Abdurrazzaq Zanky Mohon Tunggu... Petani - petani.

Senang membaca segala jenis buku, nulis diary, mengamati lingkungan alam dan sosial, menertawakan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Sepulang Bepergian

24 November 2024   19:06 Diperbarui: 24 November 2024   19:13 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepulang Bepergian

Setelah pulang dari bepergian, biasanya kita akan

mendapatkan semacam pencerahan. Mata kita jadi lebih

awas, perhatian jadi lebih teliti, perhitungan-perhitungan

menjadi lebih rinci. Apa yang sebelumnya tidak mendapat

perhatian, sepulang dari bepergian malah jadi pusat perhatian.

Hal kecil yang sebelumnya luput dari perhitungan, begitu

kembali pulang justru sangat diidam-idamkan.

Ada sudut kecil di rumah yang begitu kita rindukan. Ada

rutinitas harian yang terasa membosankan, tiba-tiba menemukan

konteksnya yang aktual. Ada kebiasaan ngemil, budaya

berlambat-lambat, yang tiba-tiba terasa mahal dan berharga.

Ada seluruh keluarga lengkap dengan kebiasaan dan

kekurangannnya, ternyata adalah orang-orang yang sangat

istimewa. Ada teman dan tetangga, yang suka jahil dan

ingkar janji, ternyata adalah orang-orang terbaik yang bikin

kita nyaman dan kerasan. Rupanya, pada setiap apa yang

kita alami dalam keseharian, tersimpan harta karun, nilai

keakraban, kandungan mistis, yang tidak bisa terbaca dan

terindera kecuali dari suatu jarak. Ada hal-hal sangat penting

yang persis terletak di pelupuk mata, melekat dan tak berjarak,

yang hanya bisa kita rasakan tapi tidak bisa kita diketahui saking

akrabnya. Kadang sering, ketinggian dan kedalaman itu, justru

terletak pada sesuatu yang sekilas nampak sederhana.

Maka perubahan suasana itu sungguh penting. Mengambil jarak

sejenak dari rutinitas itu banyak mengandung manfaat.

Menimbang dan membanding-bandingkan antara keadaan

kita dan mereka, tidak jarang bisa mendatangkan hikmat.

Betapa sering kita disilaukan oleh sesuatu yang ternyata tidak

pernah ada.  Berapa kali kita terkecoh oleh penampakan atau

keadaan yang ternyata adalah ilusi dan fatamorgana. Soal anak

umpama.

Kita sering menghendaki anak-anak kita mirip dan meniru

anak-anak para idola. Kita mengusahakan fasilitas, guru privat,

suasana pendukung yang persis sama. Memberlakukan latihan

dan disiplin yang merubah seluruh rutinitas dan pola kerja

di rumah. Menginvestasikan segenap waktu dan tenaga untuk

mengejar target dan hasil maksimal, sementara tanpa sadar,

kita telah memberikan tekanan yang begitu besar, rasa tidak

nyaman, dan keganjilan psikologis yang justru berbalik menjadi

bumerang, retak kepribadian yang mencederakan. Bukannya

menghasilkan investasi, yang dapat malah devaluasi. Bukannya

menjadikan mereka berprestasi, justru menimbukan efek luka

dan kompleks rendah diri.

Atau juga, kita sering mengeluhkan kondisi kerja dan pendapatan

yang dihasilkannya, yang sejak berpuluh tahun tak kunjung

menjadi mapan dan membawa kecukupan. Sehingga kita

mengabaikan konpensasi yang telah kita nikmati selama ini:

anak-anak yang sehat, tahu adab, menyerikan kesejukan cinta

ke hati dan rumah tangga. Kita menyangka bahwa kebahagian

itu adalah terkabulnya segala keinginan secara keseluruhan.

Sehingga melupakan ukuran dan keseimbangan. Kita sering alpa

bahwa segala sesuatu diciptakan secara berpasangan, yang

satu sama lain adalah merupakan tolak ukur untuk menguji

kedalaman nikmat kebahagian.

Hati yang patah berulang kali, akan melipatgandakan

kekuatan alaminya bila tiba saatnya nanti bangkit kembali.

Usaha yang gagal berpuluh kali, akan terus mengasah skil

dan kematangan emosi. Musibah yang datang bertubi-tubi,

akan membuka kedok tipu daya segala yang fana dan tidak

abadi. Sering, ketidakpuasan terhadap segala apa yang telah

kita miliki bukan bersumber dari kekurangan atau

ketidaklengkapan. Tapi karena mata hati kita gagal menemukan

muatan konpensasi dan neraca keseimbangan yang telah

dibentangkan Tuhan di sebalik tiap nikmat dan cobaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun