Sepulang Bepergian
Setelah pulang dari bepergian, biasanya kita akan
mendapatkan semacam pencerahan. Mata kita jadi lebih
awas, perhatian jadi lebih teliti, perhitungan-perhitungan
menjadi lebih rinci. Apa yang sebelumnya tidak mendapat
perhatian, sepulang dari bepergian malah jadi pusat perhatian.
Hal kecil yang sebelumnya luput dari perhitungan, begitu
kembali pulang justru sangat diidam-idamkan.
Ada sudut kecil di rumah yang begitu kita rindukan. Ada
rutinitas harian yang terasa membosankan, tiba-tiba menemukan
konteksnya yang aktual. Ada kebiasaan ngemil, budaya
berlambat-lambat, yang tiba-tiba terasa mahal dan berharga.
Ada seluruh keluarga lengkap dengan kebiasaan dan
kekurangannnya, ternyata adalah orang-orang yang sangat
istimewa. Ada teman dan tetangga, yang suka jahil dan
ingkar janji, ternyata adalah orang-orang terbaik yang bikin
kita nyaman dan kerasan. Rupanya, pada setiap apa yang
kita alami dalam keseharian, tersimpan harta karun, nilai
keakraban, kandungan mistis, yang tidak bisa terbaca dan
terindera kecuali dari suatu jarak. Ada hal-hal sangat penting
yang persis terletak di pelupuk mata, melekat dan tak berjarak,
yang hanya bisa kita rasakan tapi tidak bisa kita diketahui saking
akrabnya. Kadang sering, ketinggian dan kedalaman itu, justru
terletak pada sesuatu yang sekilas nampak sederhana.
Maka perubahan suasana itu sungguh penting. Mengambil jarak
sejenak dari rutinitas itu banyak mengandung manfaat.
Menimbang dan membanding-bandingkan antara keadaan
kita dan mereka, tidak jarang bisa mendatangkan hikmat.
Betapa sering kita disilaukan oleh sesuatu yang ternyata tidak
pernah ada. Â Berapa kali kita terkecoh oleh penampakan atau
keadaan yang ternyata adalah ilusi dan fatamorgana. Soal anak
umpama.
Kita sering menghendaki anak-anak kita mirip dan meniru
anak-anak para idola. Kita mengusahakan fasilitas, guru privat,
suasana pendukung yang persis sama. Memberlakukan latihan
dan disiplin yang merubah seluruh rutinitas dan pola kerja
di rumah. Menginvestasikan segenap waktu dan tenaga untuk
mengejar target dan hasil maksimal, sementara tanpa sadar,
kita telah memberikan tekanan yang begitu besar, rasa tidak
nyaman, dan keganjilan psikologis yang justru berbalik menjadi
bumerang, retak kepribadian yang mencederakan. Bukannya
menghasilkan investasi, yang dapat malah devaluasi. Bukannya
menjadikan mereka berprestasi, justru menimbukan efek luka
dan kompleks rendah diri.
Atau juga, kita sering mengeluhkan kondisi kerja dan pendapatan
yang dihasilkannya, yang sejak berpuluh tahun tak kunjung
menjadi mapan dan membawa kecukupan. Sehingga kita
mengabaikan konpensasi yang telah kita nikmati selama ini:
anak-anak yang sehat, tahu adab, menyerikan kesejukan cinta
ke hati dan rumah tangga. Kita menyangka bahwa kebahagian
itu adalah terkabulnya segala keinginan secara keseluruhan.
Sehingga melupakan ukuran dan keseimbangan. Kita sering alpa
bahwa segala sesuatu diciptakan secara berpasangan, yang
satu sama lain adalah merupakan tolak ukur untuk menguji
kedalaman nikmat kebahagian.
Hati yang patah berulang kali, akan melipatgandakan
kekuatan alaminya bila tiba saatnya nanti bangkit kembali.
Usaha yang gagal berpuluh kali, akan terus mengasah skil
dan kematangan emosi. Musibah yang datang bertubi-tubi,
akan membuka kedok tipu daya segala yang fana dan tidak
abadi. Sering, ketidakpuasan terhadap segala apa yang telah
kita miliki bukan bersumber dari kekurangan atau
ketidaklengkapan. Tapi karena mata hati kita gagal menemukan
muatan konpensasi dan neraca keseimbangan yang telah
dibentangkan Tuhan di sebalik tiap nikmat dan cobaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H