pagi di tanah ini adalah puisi
suara bening yang dinyanyikan beburung dan rona matahari
melimpahi daunan, rumput, jalanan, beranda rumah
tak ada semangat semurni panggilan hari
ketika kabut mengambang di antara batang kenari
barisan pohon asam yang bersemedi
lautan daun keladi, lalu menguap ke udara pagi
dalam iringan aroma rempah bumi,
berapa keturunan kita semai di sini
di tepi sawah, kelokan jalan, rumah yang ditinggalkan?
ada waktu-waktu kosong dimana kita tercenung
menatap ujung jalan, mengenang saat yang dikeramatkan
tapi kejernihan langit, kesyahduan senjakala
dimana kita tunda kebersamaan dengan sawah ladang
selalu lebih dalam dari duka dan kegembiraan
mengatasi kegetiran musim dan harga keringat
yang mengucur sepanjang tahun,
siang adalah saat matahari memulas warna-warni cinta
di tegalan, lopak ikan, bibit tanaman
akar-akar mungil yang mulai mencengkram kedalaman
betapa entah pesonanya!
maka dengan sederhana berikrar kita: inilah doa
kerja keras yang tak pernah sia-sia,
senja adalah anugrah keindahan waktu antara
angin dan goyangan pohonan bersujud memuja kedamaian
anak-anak riang bermain di pematang
wanita menumbuk padi di halaman
lelaki memandang kejauhan, dataran kemilau keemasan
keakraban dan syahdu ketenangan
nyata mengemuka, begitu menyejukkan dada-
adakah sorga lain di sana?
ujung setiap hari adalah lukisan yang terpenggal
kesan dan keajaibannya oleh tangan kerinduan
dimana kita berjanji akan selalu kembali dan kembali
bila azdan bergema menepis pucuk-pucuk kelapa
-ketinggian dimana kita bebas membingkai cerita-
obor-obor kembali dinyalakan
menempa bayang demi bayang masa depan anak cucu
obor kasih sayang, perhatian, kehangatan
rasa hati bergetar bila sebuah tangan mungil
berhasil menggores sebuah kata
hanya haru, kepalan tangan makin dikeraskan
menantang deru musim, panen yang gagal
dan hutang yang tak terhindarkan
kita setia
menata jengkal demi jengkal tanaman
merogoh dan merogoh lebih dalam ke bumi Tuhan
sebab bumi sekutu ketabahan
memancarkan sumber murni
lepas dari incaran dengki dan frustasi
karena bumi adalah jantung
yang memompa kelestarian doa
setiap kali kita kembali menjamahnya
menampung amanah bagi tiap tunas yang kita titipkan
sampai kita kembali terbaring bersisian rumpun-rumpun padi
sampai kehidupan kembali menjadi puisi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H