Mohon tunggu...
Abdurrazzaq Zanky
Abdurrazzaq Zanky Mohon Tunggu... Petani - petani.

Senang membaca segala jenis buku, nulis diary, mengamati lingkungan alam dan sosial, menertawakan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Roman

Gita Puja

16 November 2024   13:30 Diperbarui: 16 November 2024   13:35 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik






Gita Puja


pagi di tanah ini adalah puisi

suara bening yang dinyanyikan beburung dan rona matahari

melimpahi daunan, rumput, jalanan, beranda rumah

tak ada semangat semurni panggilan hari

ketika kabut mengambang di antara batang kenari

barisan pohon asam yang bersemedi

lautan daun keladi, lalu menguap ke udara pagi

dalam iringan aroma rempah bumi,

berapa keturunan kita semai di sini

di tepi sawah, kelokan jalan, rumah yang ditinggalkan?

ada waktu-waktu kosong dimana kita tercenung

menatap ujung jalan, mengenang saat yang dikeramatkan

tapi kejernihan langit, kesyahduan senjakala

dimana kita tunda kebersamaan dengan sawah ladang

selalu lebih dalam dari duka dan kegembiraan

mengatasi kegetiran musim dan harga keringat

yang mengucur sepanjang tahun,

siang adalah saat matahari memulas warna-warni cinta

di tegalan, lopak ikan, bibit tanaman

akar-akar mungil yang mulai mencengkram kedalaman

betapa entah pesonanya!

maka dengan sederhana berikrar kita: inilah doa

kerja keras yang tak pernah sia-sia,

senja adalah anugrah keindahan waktu antara

angin dan goyangan pohonan bersujud memuja kedamaian

anak-anak riang bermain di pematang

wanita menumbuk padi di halaman

lelaki memandang kejauhan, dataran kemilau keemasan

keakraban dan syahdu ketenangan

nyata mengemuka, begitu menyejukkan dada-

adakah sorga lain di sana?

ujung setiap hari adalah lukisan yang terpenggal

kesan dan keajaibannya oleh tangan kerinduan

dimana kita berjanji akan selalu kembali dan kembali


bila azdan bergema menepis pucuk-pucuk kelapa

-ketinggian dimana kita bebas membingkai cerita-

obor-obor kembali dinyalakan

menempa bayang demi bayang masa depan anak cucu

obor kasih sayang, perhatian, kehangatan

rasa hati bergetar bila sebuah tangan mungil

berhasil menggores sebuah kata

hanya haru, kepalan tangan makin dikeraskan

menantang deru musim, panen yang gagal

dan hutang yang tak terhindarkan

kita setia

menata jengkal demi jengkal tanaman

merogoh dan merogoh lebih dalam ke bumi Tuhan

sebab bumi sekutu ketabahan

memancarkan sumber murni

lepas dari incaran dengki dan frustasi

karena bumi adalah jantung

yang memompa kelestarian doa

setiap kali kita kembali menjamahnya

menampung amanah bagi tiap tunas yang kita titipkan

sampai kita kembali terbaring bersisian rumpun-rumpun padi

sampai kehidupan kembali menjadi puisi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun